Tak dipungkiri, hidup butuh perjuangan mencapai pemenuhan hajat. Laksana
air, ia terus bergerak dari satu tempat ke tempat lain mengisi multi
ruang dan dimensi. Konsekuensinya muncul beda pendapat silang pandang
dan persaingan antar kepentingan. Dampak lebih konkret lagi terjadinya
persinggungan antar individu, kelompok, dan komunitas. Perang acapkali
menjadi penyelesaian paling frontal, lantaran pihak-pihak yang saling bertikai, sama-sama ngotot mempertahankan kepentingannya kukuh ngugemi karep,
seakan tak ada lagi jalan penyelesaian secara damai. Musyawarah
mencapai mufakat dianggap barang yang tak punya nilai hingga otot jadi
pertaruhan akhir.
Padahal, jika mau menyelami lebih dalam lagi, ruang penyelesaian terhadap beda pendapat, kebersinggungan dalam pranataan multidimensi, masih terbuka lebar. Bahkan ruang ini hampir tidak terbatas, saking luasnya apalagi jika kita mau menghayati dan mencari akar persoalan yang sebenarnya. Sumber penyulut angkara yang menyebabkan akal sehat tak lagi berfungsi dan gerak ragawi mengalahkan nilai-nilai pengendalian diri.
Apa itu? Jawabnya adalah nurani, kompas jati diri pengendali arah refleksi jiwa sekaligus raga. Inspirator segala kebijakan yang dijabarkan oleh gerak emosi atau nafsu. Juga, motor penggerak aktivitas indra dan anggota raga.
Di sinilah kadang perlunya Persaudaraan Setia Hati Terate, ditekankan selalu mengasah nurani, mulat sarira hangrasawani. Tujuannya agar setiap tindakan dan pikirannya selalu terkontrol, tidak over acting, selaras dengan proporsinya, bisa empan papan. Karenanya, kesantunan dan kesadaran empan papan ini mutlak harus disikapi dan tidak boleh diabaikan.
Jika setiap warga Persaudaraan Setia Hati Terate ini sudah bisa bertindak dan berpikir dengan konsep empan papan sesuai dengan proporsinya, maka dia akan muncul dengan sosok yang disegani. Sebab dirinya memang sudah sampai pada konsepsi kesadaran makna diri (ngerti). Ibaratnya, ia akan tampil sebagai sosok yang mampu manjing ajur ajer, cendhek datan kaungkulan, dhuwur datan ngungkul-ungkuli.
Tentu, kesadaran makna diri ini tidak akan muncul tanpa proses pembelajaran secara kontinyu. Karena itu, Persaudaraan Setia Hati Terate ini telah meletakkan dasar pembelajaran ngerti empan papan ini sejak dari siswa, melalui pelajaran kesantunan dan konsep penghormatan. Misalnya, begitu datang di tempat latihan, mereka disarankan saling berjabat tangan.
Kemudian setelah berganti pakaian, sebelum memulai latihan harus menghormat pada pelatih. kemudian, bersama-sama pelatih mengawali kegiatan dengan berdoa bersama.
Proses pembelajaran ini, sesungguhnya merupakan awal peletakkan dasar kepada siswa untuk bisa empan papan. Pertama, menghargai nilai-nilai keberadaan orang lain yang diwujudkan lewat berjabat tangan. Kedua, peletakan dasar kesantunan antara yang muda kepada yang lebih tua yang ditunjukkan lewat aktivitas menghormati kepada pelatih. Ketiga, pengenalan dasar pengertian dan kesadaran atas keberadaan Tuhan yang diwujudkan dengan doa bersama sebelum memulai kegiatan.
Konsep pembelajaran ini diteruskan secara berjenjang, selama siswa berproses menjadi warga dari tingkat ke tingkat, melalui pelajaran kerokhanian. Targetnya, setelah siswa menjadi warga , ia akan bisa mengamalkan ajaran itu dalam kehidupan masyarakat.
Contoh sederhana, bagaimana kita bersikap saat berada di lingkungan kerja dan bagaimana pula bersikap saat berada di tengah-tengah lingkungan dan masyarakat.
Untuk menuju ke arah itu terdapat empat tingkat pengertian dan kesadaran harus dipegang teguh, yakni: pertama, mengerti keberadaan diri sendiri (ngerti lungguhing kapribaden); kedua, mengerti keberadaan orang lain (ngerti lungguhing ngaurip); ketiga, mengerti pada keberadaan Tuhan (ngerti punjering manembah); keempat mengerti jalan menuju kematian (ngerti dumunge pati).
Ngerti Lungguhing Kapribaden
Ini adalah tingkat kesadaran pertama, di mana setiap kadang Persaudaraan Setia Hati Terate diwajibkan untuk mengerti dirinya. Ia, sebagai sesosok titah (ciptaan), keberadaanya tidak lebih baik dari titah sakwantah (manusia bisaa). Karenanya ia pun harus bisa memposisiskan dirinya pada proporsi yang paling bersahaja, tidak merasa besar, ora kemlinthi, karena selain dirinya, masih ada titah-titah lain, yang baik hak dan kewajibannya adalah sama - setara.
Sebaliknya, karena dirinya mengerti bahwa kedudukan setiap titah pada dasarnya sama, maka di mana pun berada, ia tidak akan kehilangan kepercayaan diri (dalam lingsem). Pun tidak akan kelewat percaya diri (super ego, tidak sombong). Penampilannya, kendati tampak bersahaja, sederhana tapi tidak berkesan miskin, wibawa tapi tidak angker. Dan, setiap gerak geriknya terpancar sebuah sikap percaya diri (Setia Hati).
Ngerti Lungguhing Urip
Hidup merupakan sebuah proses menuju titik akhir dalam berdharma. Karena keberadaanya berkisar pada proses, maka sangat mustahil jika berjalan sendiri. Ada sebuah sistem yang mempengaruhinya. Bahkan, sistem itu pada kondisi tertentu, mutlak diperlukan keberadaanya , dalam proses pembentukan jati diri. Misalnya sebuah sistem yang mengharuskan seseorang berjalan disisi kiri dalam berlalu lintas. Atau sistem yang mengarahkan seseorang harus patuh pada jadwal rutinitas kerja.
Yang jadi soal barangkali adalah apakah kita selamanya harus larut ke dalam sistem dengan melepas eksistensi yang kita miliki? Apakah kita mesti total mempertaruhkan nilai-nilai privasi masuk ke dalam sebuah sistem demi mempertahankan sistem yang ada? Tentu saja bukan demikian yang kita harapkan. Sebab acapkali tidak semua sistem bisa berjalan berdampingan dalam satu waktu dan ruang yang sama. Misalnya sistem berlalu-lintas di Indonesia mengharuskan kita berjalan di sebelah kiri, karena yang dipakai sistem berlalu-lintas Eropa. Tapi apakah kita menggunakan sistem ini jika kita naik mobil di jalan raya di Benua Amerika, yang notabene, menggunakan sistem kanan?
Contoh lain, dalam sistem militer, bawahan harus memberi hormat pada atasan dengan cara hormat ala militer. Apakah aturan itu juga bisa diberlakukan dalam keluarga? Misalnya, dengan mengharuskan istri dan anak-anak melakukan sikap hormat militer pada suami dan ayahnya? Tentu saja jika ini dilakukan, akan kelihatan lucu, bahkan akan malah jadi bahan tertawaan orang lain.
Persaudaraan Setia Hati Terate, sebagai bagian dari masyarakat majemuk, sudah barang tentu memiliki dasar ajaran berhadapan dengan persoalan ini. Yakni, pada prinsipnya, warga Persaudaraan Setia Hati Terate tidak mengatur dan tidak mau diatur. Tapi warga Persaudaraan Setia Hati Terate akan berusaha semaksimal mungkin menjunjung tinggi, mematuhi, dan melaksanakan aturan yang sudah menjadi kesepakatan bersama.
Apalagi jika sudah berhadapan dengan kebenaran mutlak. Kebenaran samawi (hakiki) sebagai sbuah kebenaran yang diyakini bersumber pada firman Tuhan. Kebenaran yang tidak lagi memiliki nilai tawar, alias wajib hukumnya untuk ditegakkan.
Ngerti Punjering Manembah
Kesadaran terhadap pranatan kepribaden dan makna hidup (ngaurip) ternyata belum cukup jika dijadikan proses dasar pembentukan jati diri. Alasan mendasar, setelah manusia berproses di bumi untuk menyelesaikan tugas dan dharma, pada saat yang telah ditentukan tibalah saat kepastian yang bernama maut atau mati (pati).
Kata lain, bahwa hidup ini sesungguhnya hanya sebuah proses perjalanan menuju kematian. Karena sifatnya hanya proses, maka berlaku hukum ketidakpastian, bersifat sementara, dan tidak kekal atau fana. Terminologi Jawa sering mengatakan, "Urip mono sejatine mung mampir ngombe" (Hidup itu sekadar mampir untuk minum).
Pertanyaan azazi muncul ketika kita berhadapan dengan fenomena ini. Jika hidup ini hanya berlaku sementara, lalu apa sesungguhnya tugas manusia selama berproses di bumi?
Pertanyaan kedua, jika akhirnya bumi ini pun bakal ditinggalkan, bekal apa yang musti dibawa untuk menuju alam lain yang bernama alam keabadian?
Mengisi hidup dengan dharma bhakti, sehingga ketika menjalani proses dalam kehidupan ini mempunyai nilai. Kedua, kepada siapa harus berbakti?
Sebelumnya, SH Terate mengenal tiga tataran bakti dalam kehidupan. Yaitu, berbhakti kepada guru, orfang tua, dan sesama.
Tingkatan bhakti ini sangat erat kaitannya dengan dharma ketika kita berproses dalam kehidupan. Padahal setelah berproses dalam kehidupan di bumi yang bersifat sementara ini, Setia Hati yakin adanya dunia lain yang lebih abadi. Dunia yang bersifat langgeng.
Dus, kepada siapa bhakti tersebut harus dipersembahkan jika sudah merambah fenomena hidup dan mati? Jawabnya, tak ada lain kecuali berbhakti kepada yang menjadikan manusia ada, berada, hidup, menempati ruang di bumi dan mematikannya. Yang menjadikan bumi dan memusnahkannya. Yang Awal dan Yang Akhir. Yang Maha Kekal dan Abadi. Yakni Allah, Tuhan Pencipta Bumi, Manusia dan Seisinya.
Pada tingkat kesadaran ini Setia Hati mempunyai prinsip ajaran yang tegas. Yaitu, mewajibkan kepada setiap warganya berbhakti kepada Allah, sesuai dengan agama dan kepercayaan yang diyakini, serta mewajibkan warganya menjalankan dan mematuhi hukum syariat agama dan kepercayaan yang diyakininya itu pula.
Dengan demikian Setia Hati secara prinsipil wewajibkan warganya untuk be-Tuhan, mengimani dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ajaran ini secara tegas tersurat dalam Mukadimah Setia Hati Terate yang berbunyi, "Maka Setia Hati pada hakikatnya tanpa mengingkari segala martabat-martabat keduniawian, tidak kandas /tenggelam pada pelajaran pencak silat sebagai pendidikan ketubuhan saja, melainkan lebih lanjut menyelami ke dalam pendidikan kejiwaan untuk memiliki sejauh-jauh kepuasan hidup abadi lepas dari pengaruh rangka dan suasana."
Pemahaman makna keberadaan hidup manusia yang setiap saat wajib berbhakti pad Tuhan inilah sesungguhnya yang mendekatkan dan menuntun diri kita pada pengertian hakiki tentang keberadaan Allah sebagai Sang Pencipta (al-KHalik) yang wajib disembah (ngerti punjering manembah).
Jika kesadaran ini benar diamalkan, maka akan tumbuh keasadaran pada diri bahwa kehidupan manusia di bumi ini sesunggunya tidak kekal. Bahwa pada saat yang sudah ditentukan, menusia akan mati. Karenanya, tugas manusia selama hidup di bumi ini tidak ada lain kecuali berbhakti kepada Allah. Sehingga pada akhir perjalanan nanti, bisa memiliki sejauh-jauh kepuasan hidup abadi lepas dari pengaruh rangka dan suasana. Itulah yang oleh leluhur kita sering disebut sebagai "Ngerti marang dununge pati"
Padahal, jika mau menyelami lebih dalam lagi, ruang penyelesaian terhadap beda pendapat, kebersinggungan dalam pranataan multidimensi, masih terbuka lebar. Bahkan ruang ini hampir tidak terbatas, saking luasnya apalagi jika kita mau menghayati dan mencari akar persoalan yang sebenarnya. Sumber penyulut angkara yang menyebabkan akal sehat tak lagi berfungsi dan gerak ragawi mengalahkan nilai-nilai pengendalian diri.
Apa itu? Jawabnya adalah nurani, kompas jati diri pengendali arah refleksi jiwa sekaligus raga. Inspirator segala kebijakan yang dijabarkan oleh gerak emosi atau nafsu. Juga, motor penggerak aktivitas indra dan anggota raga.
Di sinilah kadang perlunya Persaudaraan Setia Hati Terate, ditekankan selalu mengasah nurani, mulat sarira hangrasawani. Tujuannya agar setiap tindakan dan pikirannya selalu terkontrol, tidak over acting, selaras dengan proporsinya, bisa empan papan. Karenanya, kesantunan dan kesadaran empan papan ini mutlak harus disikapi dan tidak boleh diabaikan.
Jika setiap warga Persaudaraan Setia Hati Terate ini sudah bisa bertindak dan berpikir dengan konsep empan papan sesuai dengan proporsinya, maka dia akan muncul dengan sosok yang disegani. Sebab dirinya memang sudah sampai pada konsepsi kesadaran makna diri (ngerti). Ibaratnya, ia akan tampil sebagai sosok yang mampu manjing ajur ajer, cendhek datan kaungkulan, dhuwur datan ngungkul-ungkuli.
Tentu, kesadaran makna diri ini tidak akan muncul tanpa proses pembelajaran secara kontinyu. Karena itu, Persaudaraan Setia Hati Terate ini telah meletakkan dasar pembelajaran ngerti empan papan ini sejak dari siswa, melalui pelajaran kesantunan dan konsep penghormatan. Misalnya, begitu datang di tempat latihan, mereka disarankan saling berjabat tangan.
Kemudian setelah berganti pakaian, sebelum memulai latihan harus menghormat pada pelatih. kemudian, bersama-sama pelatih mengawali kegiatan dengan berdoa bersama.
Proses pembelajaran ini, sesungguhnya merupakan awal peletakkan dasar kepada siswa untuk bisa empan papan. Pertama, menghargai nilai-nilai keberadaan orang lain yang diwujudkan lewat berjabat tangan. Kedua, peletakan dasar kesantunan antara yang muda kepada yang lebih tua yang ditunjukkan lewat aktivitas menghormati kepada pelatih. Ketiga, pengenalan dasar pengertian dan kesadaran atas keberadaan Tuhan yang diwujudkan dengan doa bersama sebelum memulai kegiatan.
Konsep pembelajaran ini diteruskan secara berjenjang, selama siswa berproses menjadi warga dari tingkat ke tingkat, melalui pelajaran kerokhanian. Targetnya, setelah siswa menjadi warga , ia akan bisa mengamalkan ajaran itu dalam kehidupan masyarakat.
Contoh sederhana, bagaimana kita bersikap saat berada di lingkungan kerja dan bagaimana pula bersikap saat berada di tengah-tengah lingkungan dan masyarakat.
Untuk menuju ke arah itu terdapat empat tingkat pengertian dan kesadaran harus dipegang teguh, yakni: pertama, mengerti keberadaan diri sendiri (ngerti lungguhing kapribaden); kedua, mengerti keberadaan orang lain (ngerti lungguhing ngaurip); ketiga, mengerti pada keberadaan Tuhan (ngerti punjering manembah); keempat mengerti jalan menuju kematian (ngerti dumunge pati).
Ngerti Lungguhing Kapribaden
Ini adalah tingkat kesadaran pertama, di mana setiap kadang Persaudaraan Setia Hati Terate diwajibkan untuk mengerti dirinya. Ia, sebagai sesosok titah (ciptaan), keberadaanya tidak lebih baik dari titah sakwantah (manusia bisaa). Karenanya ia pun harus bisa memposisiskan dirinya pada proporsi yang paling bersahaja, tidak merasa besar, ora kemlinthi, karena selain dirinya, masih ada titah-titah lain, yang baik hak dan kewajibannya adalah sama - setara.
Sebaliknya, karena dirinya mengerti bahwa kedudukan setiap titah pada dasarnya sama, maka di mana pun berada, ia tidak akan kehilangan kepercayaan diri (dalam lingsem). Pun tidak akan kelewat percaya diri (super ego, tidak sombong). Penampilannya, kendati tampak bersahaja, sederhana tapi tidak berkesan miskin, wibawa tapi tidak angker. Dan, setiap gerak geriknya terpancar sebuah sikap percaya diri (Setia Hati).
Ngerti Lungguhing Urip
Hidup merupakan sebuah proses menuju titik akhir dalam berdharma. Karena keberadaanya berkisar pada proses, maka sangat mustahil jika berjalan sendiri. Ada sebuah sistem yang mempengaruhinya. Bahkan, sistem itu pada kondisi tertentu, mutlak diperlukan keberadaanya , dalam proses pembentukan jati diri. Misalnya sebuah sistem yang mengharuskan seseorang berjalan disisi kiri dalam berlalu lintas. Atau sistem yang mengarahkan seseorang harus patuh pada jadwal rutinitas kerja.
Yang jadi soal barangkali adalah apakah kita selamanya harus larut ke dalam sistem dengan melepas eksistensi yang kita miliki? Apakah kita mesti total mempertaruhkan nilai-nilai privasi masuk ke dalam sebuah sistem demi mempertahankan sistem yang ada? Tentu saja bukan demikian yang kita harapkan. Sebab acapkali tidak semua sistem bisa berjalan berdampingan dalam satu waktu dan ruang yang sama. Misalnya sistem berlalu-lintas di Indonesia mengharuskan kita berjalan di sebelah kiri, karena yang dipakai sistem berlalu-lintas Eropa. Tapi apakah kita menggunakan sistem ini jika kita naik mobil di jalan raya di Benua Amerika, yang notabene, menggunakan sistem kanan?
Contoh lain, dalam sistem militer, bawahan harus memberi hormat pada atasan dengan cara hormat ala militer. Apakah aturan itu juga bisa diberlakukan dalam keluarga? Misalnya, dengan mengharuskan istri dan anak-anak melakukan sikap hormat militer pada suami dan ayahnya? Tentu saja jika ini dilakukan, akan kelihatan lucu, bahkan akan malah jadi bahan tertawaan orang lain.
Persaudaraan Setia Hati Terate, sebagai bagian dari masyarakat majemuk, sudah barang tentu memiliki dasar ajaran berhadapan dengan persoalan ini. Yakni, pada prinsipnya, warga Persaudaraan Setia Hati Terate tidak mengatur dan tidak mau diatur. Tapi warga Persaudaraan Setia Hati Terate akan berusaha semaksimal mungkin menjunjung tinggi, mematuhi, dan melaksanakan aturan yang sudah menjadi kesepakatan bersama.
Apalagi jika sudah berhadapan dengan kebenaran mutlak. Kebenaran samawi (hakiki) sebagai sbuah kebenaran yang diyakini bersumber pada firman Tuhan. Kebenaran yang tidak lagi memiliki nilai tawar, alias wajib hukumnya untuk ditegakkan.
Ngerti Punjering Manembah
Kesadaran terhadap pranatan kepribaden dan makna hidup (ngaurip) ternyata belum cukup jika dijadikan proses dasar pembentukan jati diri. Alasan mendasar, setelah manusia berproses di bumi untuk menyelesaikan tugas dan dharma, pada saat yang telah ditentukan tibalah saat kepastian yang bernama maut atau mati (pati).
Kata lain, bahwa hidup ini sesungguhnya hanya sebuah proses perjalanan menuju kematian. Karena sifatnya hanya proses, maka berlaku hukum ketidakpastian, bersifat sementara, dan tidak kekal atau fana. Terminologi Jawa sering mengatakan, "Urip mono sejatine mung mampir ngombe" (Hidup itu sekadar mampir untuk minum).
Pertanyaan azazi muncul ketika kita berhadapan dengan fenomena ini. Jika hidup ini hanya berlaku sementara, lalu apa sesungguhnya tugas manusia selama berproses di bumi?
Pertanyaan kedua, jika akhirnya bumi ini pun bakal ditinggalkan, bekal apa yang musti dibawa untuk menuju alam lain yang bernama alam keabadian?
Mengisi hidup dengan dharma bhakti, sehingga ketika menjalani proses dalam kehidupan ini mempunyai nilai. Kedua, kepada siapa harus berbakti?
Sebelumnya, SH Terate mengenal tiga tataran bakti dalam kehidupan. Yaitu, berbhakti kepada guru, orfang tua, dan sesama.
Tingkatan bhakti ini sangat erat kaitannya dengan dharma ketika kita berproses dalam kehidupan. Padahal setelah berproses dalam kehidupan di bumi yang bersifat sementara ini, Setia Hati yakin adanya dunia lain yang lebih abadi. Dunia yang bersifat langgeng.
Dus, kepada siapa bhakti tersebut harus dipersembahkan jika sudah merambah fenomena hidup dan mati? Jawabnya, tak ada lain kecuali berbhakti kepada yang menjadikan manusia ada, berada, hidup, menempati ruang di bumi dan mematikannya. Yang menjadikan bumi dan memusnahkannya. Yang Awal dan Yang Akhir. Yang Maha Kekal dan Abadi. Yakni Allah, Tuhan Pencipta Bumi, Manusia dan Seisinya.
Pada tingkat kesadaran ini Setia Hati mempunyai prinsip ajaran yang tegas. Yaitu, mewajibkan kepada setiap warganya berbhakti kepada Allah, sesuai dengan agama dan kepercayaan yang diyakini, serta mewajibkan warganya menjalankan dan mematuhi hukum syariat agama dan kepercayaan yang diyakininya itu pula.
Dengan demikian Setia Hati secara prinsipil wewajibkan warganya untuk be-Tuhan, mengimani dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ajaran ini secara tegas tersurat dalam Mukadimah Setia Hati Terate yang berbunyi, "Maka Setia Hati pada hakikatnya tanpa mengingkari segala martabat-martabat keduniawian, tidak kandas /tenggelam pada pelajaran pencak silat sebagai pendidikan ketubuhan saja, melainkan lebih lanjut menyelami ke dalam pendidikan kejiwaan untuk memiliki sejauh-jauh kepuasan hidup abadi lepas dari pengaruh rangka dan suasana."
Pemahaman makna keberadaan hidup manusia yang setiap saat wajib berbhakti pad Tuhan inilah sesungguhnya yang mendekatkan dan menuntun diri kita pada pengertian hakiki tentang keberadaan Allah sebagai Sang Pencipta (al-KHalik) yang wajib disembah (ngerti punjering manembah).
Jika kesadaran ini benar diamalkan, maka akan tumbuh keasadaran pada diri bahwa kehidupan manusia di bumi ini sesunggunya tidak kekal. Bahwa pada saat yang sudah ditentukan, menusia akan mati. Karenanya, tugas manusia selama hidup di bumi ini tidak ada lain kecuali berbhakti kepada Allah. Sehingga pada akhir perjalanan nanti, bisa memiliki sejauh-jauh kepuasan hidup abadi lepas dari pengaruh rangka dan suasana. Itulah yang oleh leluhur kita sering disebut sebagai "Ngerti marang dununge pati"