Alasan terbesar orang tertarik belajar bela diri pada umumnya adalah
agar bisa mempertahankan diri saat terjadi serangan fisik. Namun tidak sedikit
yang pesimis berpendapat belajar bela diri di jaman sekarang sesungguhnya tidak
lebih dari olah raga aerobik yang dibungkus dalam bentuk combat. Pesimis
menjadi sinis setelah menyaksikan beberapa pertandingan bela diri (terlepas apa
alirannya) yang terlihat sangat tidak realistis dengan segudang peraturan.
Percaya diri mampu mengatasi ancaman fisik setelah mencapai sabuk hitam,
mendapat piala dari berbagai kejuaraan tidak hanya menggelikan bahkan berbahaya
karena teknik-teknik yang digunakan dalam pertandingan dan tempat latihan tidak efektif menghadapi serangan di jalanan. Fenomena ini mirip
dengan murid yang selalu juara kelas, lulus dari universitas ternama dengan IPK
tinggi tapi kesulitan mencetak prestasi di tempat kerja karena tidak tahu cara
menghadapi politik kantor, bekerja sama dengan rekan kerja secara efektif, jeli
melihat peluang karir dan keahlian-keahlian praktis lainnya yang tidak
diajarkan di kelas. Kita menamai fenomena ini School Smart Vs Street Smart.
Mirip halnya dalam dunia bela diri, ada istilah Scoring Punch Vs Knockout Punch
(meninju untuk mendapat nilai dari juri Vs meninju untuk merobohkan
lawan/menetralisir ancaman). Belajar bela diri sebagai murni olah raga sah-sah
saja. Memenangkan piala kejuaraan membawa prestise bagi perguruan dan ajang
promosi aliran bela diri yang ditekuni. Tapi ingat hakikat bela diri adalah
untuk mempertahankan diri. Jago di arena tidak otomatis pasti jago di jalanan.
Instruktur dan murid-murid senior mengawasi jalannya latihan di dojang. Dalam
pertandingan peran ini diwakili oleh wasit untuk memastikan jalannya
pertandingan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kontestan pun dibagi
berdasarkan berat badan, jenis kelamin dan warna sabuk agar lebih adil
seimbang. Saya rasa peraturan-peraturan pertandingan bela diri yang paling
banyak menuai kritik dari mereka yang serius belajar bela diri untuk
mempertahankan diri.
Pernahkah Anda bertanya, diantara sekian banyak aliran
mengapa hanya Judo dan Taekwondo (versi WTF) yang masuk Olimpiade? Kata Tae
kwon do secara harafiah berarti ‘seni tangan dan kaki’ tapi serangan tangan
(tidak ke kepala tentunya) nyaris tidak terlihat dalam pertandingan, malah
sering kali terkesan dibiarkan terluntai disamping badan. Pelindung yang
dikenakan kontestan pun super lengkap dari kepala, gigi hingga tulang kering.
Dugaan saya karena komite Olimpiade tidak ingin ajang olah raga sejagat
tercoreng ‘darah’ bak arena gladiator. Dalam latihan persiapan petandingan,
kontestan juga belajar ‘teknik tipu’ untuk membuka peluang serangan dan
mencetak angka dalam kerangka peraturan pertandingan yang berlaku. Juri
menentukan siapa menang atau kalah. Lokasi dan durasi pertarungan juga sudah
diset. Sebelum pertandingan dimulai, lawan saling berhadapan membungkukkan
badan. Bahkan kontes MMA dan UFC yang konon merupakan puncak dari perhelatan
bela diri saja masih ada aturan-aturan yang mengekang. Seluruh aturan diatas
hanya punya satu tujuan: menciptakan lingkungan belajar/tempat praktek yang
aman.
Ketika masih kuliah, saya belajar keras menjelang ujian agar pada saat
ujian materi pelajaran tinggal mengalir dengan lancar. Tapi dalam belajar bela
diri, kita malah belajar dengan cara ‘aman’ untuk menghadapi ancaman kekerasan
fisik yang tidak mengenal aturan. Jadi benarkah belajar bela diri hanya
buang-buang waktu saja? Saya berani bilang tidak. Unsur belajar murni untuk
mempertahankan diri seperti serangan ke tenggorokan tetap ada dalam hampir
seluruh sekolah bela diri meskipun proporsinya berbeda tergantung kurikulum sekolah
yang bersangkutan (tournament oriented Vs Self Defence) setidaknya menurut
pengamatan pribadi keluar masuk beberapa perguruan Taekwondo selama beberapa
tahun. Buktinya seorang mahasiswi asal Semarang Alfin Nikmatul Maula, dua kali
berhasil meloloskan diri dari usaha penculikan berkat mahir bela diri pencak
silat (sumber: kompas.com). Hal sama juga terjadi di Chicago dimana Anthony
Miranda (24) menjadi korban babak belur akibat salah memilih ‘korban’
perampokan seorang petarung UFC berusia 33 tahun. Tidak hanya babak belur,
Anthony juga menderita luka tembak dari pistolnya sendiri (sumber:
nydailynews.com).
Ijazah dari universitas ternaman tidak menjamin kesuksesan
seseorang di masa depan. Belajar belajar bela diri tidak menjamin Anda pasti
selamat bila ada ancaman fisik, semuanya kembali pada kesungguhan yang belajar.
Bila Anda ingin belajar bela diri untuk mempertahankan diri tapi perguruan yang
sekarang lebih tertarik mengoleksi tropi pertandingan, segera pindah. Kalau ada
teknik, kurikulum yang Anda rasa tidak praktis, bertanyalah pada instruktur
bagaimana mengaplikasi yang Anda pelajari sekarang dalam street fight. Tugas
murid tidak hanya menyerap pelajaran dari instruktur mentah-mentah tapi juga
proaktif menarik benang merah aplikasi antara berantem riil ala preman dengan
berantem terkontrol ala dojang. Akhir kata, selamat belajar bela diri apapun
aliran Anda! Hendra Makgawinata Sydney, 19/08/14
PRAKTISI BELADIRI KALAH DENGAN PREMANISME?
LATIHAN YANG TERKENDALI Sedahsyat apapun teknik yang dikuasai praktisi beladiri,
di dalam latihan pasti dilakukan dengan kontrol. Di dalam kobujutsu, latihan
teknik senjata seperti bo (tongkat), sai (trisula), atau nunchaku (double
stick/ruyung), sehebat apapun teknik yang dilakukan tidak akan benar-benar
dihantamkan ke tubuh partner latihan dengan alasan menghindari cidera. Kuncian
seorang ahli Jiujitsu dalam latihan tidak mungkin sampai benar-benar membnuat
kawan latihan patah tangan. Latihan kenjutsu yang menggunakan katana (pedang)
sungguhan sekalipun tidak akan sampai menebas partner latihhan. Nah, para
preman itu di jalan, apa bila mereka menghajar dengan botol atau kayu, mereka
akan melakukan sampai kepala lawan bocor. Hari-hari, itu yang mereka lakukan.
Latihan mereka adalah "real fight" yang se-real-real-nya. Mereka
tidak akan mengendalikan tonjokan roti kalungnya. TEKNIK YANG DILATIH SUDAH
TERMETODE. Di dalam latihan beladiri, pukulan dan tangkisan yang dilatih sudah
termetode dan terarah. Sebagai contoh, ketika melakukan pukulan, seorang
karateka, dilatih untuk melakukan pukulan ke sasaran yang sudah ditentukan,
kepala atau ulu hati misalnya. Melakukan pukulan pun (choku tsuki atau oi
tsuki) tangan harus lurus. Jadi, tangkisan yang dilatih pun disesuaikan dengan
serangan tersebut, tangkisan atas (jodan uke) untuk pukulan lurus ke atas,
tangkisan tengah (chudan uke) untuk pukulan lurus ke ulu hati. Nah, di jalanan,
apakah preman memukul dengan cara itu? Apakah ia memukul lurus ke kepala?
Tidak! Ia akan memukul membabi buta ke manapun! Di dalam kenjutsu, latihan
suburi (menebas pedang), tebasan yang dilatih somen uchi (membelah kepala) atau
yokomen uchi (tebasan ke arah leher), maka tangkisan yang dilatih adalah
tangkisan untuk serangan itu. Dalam kendo atau latihan ken (pedang) di Aikido
ada latihan kotei-men-do, yaitu latihan tebasan pedang ke arah pergelangan,
kepala, dan rusuk. Tangkisan yang dilatih pun untuk melindungi tiga area itu.
Pertanyaanya, apakah preman ketika menyerang dengan golok akan menyerang di
titik-titik itu? Ia akan menyerang menebas sekenanya, menyabet ke arah-arah
yang tak peduli itu kepala atau pergelang tangan. Mereka akan membabat celurit
ke arah-arah yang mungkin praktisi beladiri tidak pernah berlatih tangkisan
arah serangan itu.
Sensei saya di kobujutsu (seni senjata) melatih saya untuk
menyerang dengan bo (tongkat) dengan teknik nuki tsuki dan maede tsuki (tusukan
lurus) ke arah rahang atau dagu. Ketika saya menusuk ke arah pipi atau bahu,
saya ditegur karena itu bukan sasaran yang tepat. Sehingga ketika berlatih
sparring partner, si A melakukan tusukan bo dengan arah yang sudah ditentukan,
dan pasangan latihan si A akan melakukan tangkisan-tangkisan yang ia sudah
didesain untuk menangkis bagian mana saja. Preman yang menyerang apakah
melakukan pukulan kayu dengan lurus ke arah dagu atau tenggorakan? Dia akan
menyabetkan tongkat di arah atau sasaran yang "tidak tepat", mungkin
bahu atau pipi. Karena praktisi beladiri terbiasa menghindar dan menangkis
serangan yang "tepat sasaran" justru akan kelabakan ketika serangan
yang dilakukan ke arah-arah yang "tidak tepat". Ingat preman
berkelahi tidak pakai teknik dan jurus, mereka hanya memukul, menyabet,
mementung sekenannya, dan sering kali tanpa arah.
LATIHAN YANG TIDAK LENGKAP.
Praktisi beladiri, dengan begitu banyaknya teknik dalam seni beladiri, hanya
berlatih sebagian kecil dari ilmu-ilmu di disiplin beladiri tersebut. Di dalam
dunia karate misalnya, banyak teknik-teknik yang efektif untuk melumpuhkan
lawan, untuk teknik tangan ada puluhan, tetapi karateka yang berlatih hanya
untuk pertandingan paling banter hanya berlatih tiga pukulan (biasanya kizami
tsuki, gyaku tsuki, dan uraken). Tendangan di karate juga ada begitu banyak,
tetapi di dalam pertandingan, hanya dipakai tiga (maegeri chudan, ushiro geri,
dan mawashi geri). Karateka yang hanya berlatih kata (jurus) untuk
pertandingan, ketika melakukan bunkai, lebih banyak menonjolkan keindahan
(entertainment) ala film laga ketimbang keefektifan teknik. Dalam pertarungan
nyata di jalan tidak dibutuhkan keindahan, yang dibutuhkan secepatnya
menghabisi lawan.
JIWA KSATRIA/BUSHIDO Di dalam dunia beladiri, selain teknik yang
ditempa adalah jiwa ksatria. Pertarungan yang dilakukan terhormat, tidak boleh
berbuat curang, sportif, dan fair. Tidak boleh bermain kasar, bertarung kasar
atau kotor, menggigit misalnya, atau mencakar mata. Padahal para preman itu
tidak akan mempedulikan ksatria atau tidak, kalau memang mau keroyokan pun,
merka akan lakukan. Di dalam dunia beladiri, biasanya apabila lawan sudah
mengaku menyerah maka serangan akan dihentikan. Di Hapkido misalnya, atau di
Judo, ketika lawan melakukan tap ke matras tanda menyerah ketika dikunci,
mereka akan menghentikan serangan, itu lah pengendalian diri, jiwa ksatria.
Apakah itu terjadi di pertarungan jalanan, tentu saja tidak. Itu pengamatan
saya mengapa bisa saja praktisi beladiri kalah bertarung di jalanan dengan
preman. Lalu, bagaimana untuk bisa bertarung di jalanan dengan preman? bila tujuan Anda berlatih beladiri agar semata-mata
dapat bertarung di jalan, beberapa hal di bawah ini mungkin bisa menjadi referensi:
BELADIRI ADALAH "DO" Para praktisi beladiri di zaman dulu berlatih
tidak untuk iseng atau olahraga semata, apa lagi untuk mendapatkan medali.
Mereka berlatih sebagai jalan hidup. Miyamoto Musashi, pendekar legendaris
pedang Jepang, menurut sejarah terlibat pertarungan nyata dan membunuh
sedikitnya 60 petarung lainnya. Musashi adalah pendekar yang mengikuti jalan
pedang. Ia berlatih ilmu pedang bukan untuk sekadar iseng, atau mendapat
medali, atau hanya dapat menghafal kata (jurus) pedang dan bunkainya
(aplikasinya). Ia benar-benar berlatih sebagai jalan hidup. Apabila Anda ingin
mejadi petarung, ya tak ada jalan lain mencurahkan hidup Anda untuk berlatih
seni pertarungan. Mengapa para preman menang kalau berkelahi? Lah, setiap hari
makanan mereka bertarung, itu "jalan hidup" mereka. Kalau kita
berlatih hanya sampai tahap hafal kata (jurus) dan bunkai (aplikasi), itu pun
seminggu hanya dua kali, malah sebulan sekali, walau sabuk hitam, mana bisa
menang bertarung melawan mereka?
FOKUS PADA TEKNIK-TEKNIK YANG ANDA YAKIN BISA
DIPAKAI MEMBELADIRI. Banyak teknik di dalam beladiri, tetapi saya pribadi
yakin, di dalam pertarungan nyata saya pasti hanya menggunakan beberapa teknik.
Sebagai contoh, saya pribadi dalam pertarungan nyata tidak akan fasih menggunakan
teknik washite (paruh rajawali), kakuto (ujung punggung tangan), kumade (tangan
beruang), tendangan shito (tendangan ibu jari kaki). Seorang ahli beladiri
mengatakan, lebih baik berlatih satu teknik sepuluh ribu kali, ketimbang
berlatih sepuluh teknik tetapi hanya berlatih sesekali masing-masing tekniknya.
Kalau tujuan Anda SEMATA-MATA latihan teknik bertarung di jalan, lupakan
latihan Kata atau kembangan untuk pertandingan, lupakan latihan pukulan-pukulan
atau tendangan yang hanya mendapatkan score. Latihah teknik-teknik yang memang
untuk membuat lawan K.O. Tendangan yang mematahkan rusuk, pukulan yang
merontokkan gigi dan membuat rahang lepas, tonjokkan yang membuat gegar otak.
Itu kalau tujuan Anda berlatih untuk bertarung di jalan ala preman.
LATIHAN SEMENDEKATI MUNGKIN SITUASI PERTARUNGAN NYATA TANPA ATURAN Latihan mendekati situasi pertarungan nyata seperti awal beladiri diciptakan. Kurang bijak apabila saya sarankan Anda untuk sering-sering menguji teknik beladiri yang Anda miliki di jalanan. Mencoba berkelahi benaran sesering mungkin. Hal itu bisa saja Anda lakukan, tetapi tentu saja ini bukan cara bijak. Anda bisa masuk ke penjara, mendapatkan masalah karena membuat orang masuk rumah sakit, atau Anda sendiri yang masuk rumah sakit, dan tentu saja mencoreng nama perguruan Anda. Karena metode tersebut saya rasa tidak disarankan di perguruan beladiri manapun. Tetapi di Asad Combat Ninjutsu Academy melakukan sparring partner sesering mungkin dengan serangan yang tidak diatur, bebas menyerang mana saja, tanpa teknik, bahkan brutal, dan bagaimana Anda menaklukannya. Awalnya, Anda dengan pasangan bisa menggunakan protector, dan step by step ketika instinct, mental, dan teknik semakin terlatih, protector satu persatu dapat dikurangi. Hingga tanpa protector sekalipun, serangan bebas ke arah mana saja, tetapi tentu saja Anda harus berani menerima risiko cidera fatal.
BERLATIH TEKNIK-TEKNIK YANG MENGHANCURKAN
Berlatih teknik bukan untuk mendapatkan score atau point, tetapi memang untuk
menghancurkan. Tidak banyak praktisi beladiri dewasa ini yang melakukan latihan
tameshiwari. Para praktisi beladiri zaman dahulu benar-benar menempa tubuh
mereka menjadi senjata. Pendiri peguruan beladiri Gojukai, Master Gogen
Yamaguchi, ketika menjadi mahasiswa, memasang papan di sepanjang jalan dari rumah
menuju kampus. Setiap pagi ketika pergi kuliah, dan pulang dari kuliah ia
memukuli papan-papan tersebut. Pencipta beladiri Goju-Ryu, Master Chojun
Miyagi, jari-jarinya mampu merobek daging daging sapi seperti taring macan.
Pencipta Kyokushin, Master Masutatsu Oyama, mennghajar kepala banteng hingga
mati dengan pukulan (tsuki dan shuto). Para biksu Shaolin ahli kungfu, melatih
jari-jari mereka menusuk (nukite) pasir yang dipanaskan. Kalau preman tidak
akan segan menghantam kepala Anda dengan batu bata, dan Anda juga perlu
membeladiri dari pada mati, pukulan yang meretakkan tengkorak memang harus
dilakukan, bukan? "LUPAKAN" TEKNIK DASAR (KIHON). Ketika di jalanan
ada orang yang memukul kepala Anda, apabila Anda seorang karateka, apakah Anda
akan menangkis dengan sanchin dachi joda uke? Apa bila ada yang menyerang ke
ulu hati Anda, apakah Anda melakukan shikodachi gedan uke? Apabila Anda
Aikidoka, apakah Anda akan melakukan teknik hanmi handachi ketika lawan Anda
berdiri dan Anda duduk? Apakah Anda yakin akan melakukan teknik uchi kaiten
nage ketika ada lawan yang menusuk dengan pisau? Saya rasa tidak. Saya tidak
mengatakan teknik dasar (kihon) tidak penting. Di dalam Aikido ada istilah
TAKEMUTSU AIKI, yaitu teknik yang sudah tidak berbentuk. Ketika seseorang
berlatih sebagai pemula, ketika melakukan teknik maka semua teknik harus
terukur sesuai kihon. Kuda-kuda A selebar sekian, serendah sekian. Tangkisan B,
setinggi sekian. Bantingan C, melangkah 45 derajat ke depan, berputar, dan
seterusnya. Di dalam prinsip takemutsu aiki, kihon yang dilatih sudah tidak
berbentuk. Awalnya untuk melakukan bantingan irimi nage misalnya, seorang
Aikidoka memiliki kuda-kuda dengan jarak tertentu, tinggi tertentu, dan gerakan
tangan tertentu, sesuai dengan kihon irimi nage. Tetapi seorang master Aikido,
hanya dengan berdiri biasa tanpa kuda-kuda, dan hanya dengan mengebaskan
tangannya, ia dapat melakukan bantingan irimi nage. Nah, prinsip ini dapat
dijadikan metode latihan apabila ingin berlatih beladiri dengan tujuan bertarung
"ala premanisme". Misalnya saja, di beladiri Goju-Ryu, ketika
melakukan yokusoku kumite, ketika seme (penyerang) melakukan zenkutsu dachi
chudan tsuki dengan tangan kanan, maka uke (pihak yang diserang) menangkis juga
dengan zenkutsu dachi chudan uke dengan tangan kanan. Nah, dalam pertarungan
nyata, kita mungkin tidak melakukan tangkisan serupa, tetapi kita dapat
mengambil PRINSIPNYA, yaitu pukulan kanan, kita menangkis dengan tangan kanan
agar kita di posisi punggung lawan atau titik mati atau titik blind spot,
sehingga memudahkan kita menghajar lawan. Dalam pertarungan nyata, kita dapat
melupakan bentuk bakunya, tetapi tetap lakukan prinsipnya.
UBAH TUJUAN LATIHAN
ANDA Para praktisi beladiri berlatih beladiri memang untuk bisa membela diri,
tetapi pada umumnya sepanjang perjalanan beladiri, justru yang dilatih adalah
menghormati orang lain, mengendalikan emosi dan diri, menahan diri untuk tidak
menyakiti, tidak boleh menggunakan teknik untuk menyakiti, sehingga semakin
lama kita berlatih beladiri semakin kita menahan diri kita untuk tidak terlibat
di dalam pertarungan. Tujuan lain, berlatih beladiri untuk prestasi atau
menjadi atlit, untuk sekadar berolahraga, atau hanya iseng-iseng mengisi waktu.
Nah, apabila tujuan Anda semata-mata
untuk bertarung di jalanan, maka tetapkanlah dipikiran Anda untuk berlatih
beladiri untuk tujuan itu. Hal ini akan mengubah metode latihan Anda. Pukulan
yang Anda latih tidak akan untuk mendapatkan point, tetapi untuk menjatuhkan
atau merusak tubuh lawan. Tendangan, bantingan atau kuncian yang Anda lakukan
bukan untuk keindahan teknik semata seperti di film laga, tetapi untuk
benar-benar membuat lawan tak berdaya. Kalau memang tujuan latihan Anda untuk
bertarung ala preman di jalan. Para praktisi beladiri yang bekerja profesional
sebagai bodyguard, pasukan elit, mereka berlatih dengan satu tujuan: secepat
mungkin melumpuhkan lawan, dan kalau perlu membunuhnya.
LATIHLAH DIRI ANDA UNTUK PERTARUNGAN "JALANAN" ATAU PEPERANGAN Di dalam beladiri banyak
teknik, misalnya mencakar, menjambak,
menggigit, mencolok mata, mencengkeram telinga, memukul kemaluan, dan melempar
pasir ke mata. Semua cara
bertarung tadi sah untuk Anda lakukan. So, just do it. Preman tak segan-segan menendang
kemaluan Anda atau mencolok mata Anda, kalau tujuan kita untuk bertarung dengan
mereka, mengapa kita tidak melakukannya? Para NINJA di zaman dahulu berlatih teknik
beladiri NINJUTSU dengan berbagai macam teknik yang luar biasa. Namun, ada
prinsip yang mereka pegang, lakukan apa saja selama tujuan mereka tercapai.
Sekalipun harus menusuk musuh dari belakang atau musuh dalam keadaan tidak
siap. Prinsip bertarung yang berbeda dengan para samurai. Untuk bertarung
dengan preman, prinsip NINJA tadi sah untuk digunakan.
DIKIUTIP DARI : http://asadcombatbekasi.blogspot.co.id
http://combatotaku.blogspot.co.id/2016/04/street-fighting.html Author, ini saya kasih bocoran mengenai teknik berkelahi yg digunakan preman dan geng berandalan dari berbagai dunia. Mereka berlatih tarung secara otodidak, terinspirasi dari Boxing lalu mereka latih sendiri, anda pasti pernah lihat video2 youtube tentang geng motor dari berbagai negara yg sedang sparring gaya tarung bebas di lapangan. Inilah beladiri yg mereka pelajari. Mereka semua agresif dan berkelahi dengan cepat, saya harap artikel ini dapat membantu anda dalam memahami bagaimana strategi menghadapi penjahat dalam pertarungan asli.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
terimakasih sudah mampir
@west bud