Rukun-rukun iman, yaitu :
- Iman kepada Allah
Dan penjelasan mengenai ini sudah dijelaskan pada bab sebelumnya.
- Iman kepada para Malaikat
Yaitu pembenaran yang pasti dan mantab, bahwa Allah Ta’ala memiliki
para Malaikat yang diciptakan dari cahaya. Dan bahwa para malaikat itu
para hamba-hamba Allah yang dimuliakan dan yang selalu bertasbih
mensucikan Allah siang dan malam, dan bahwa mereka itu tidak pernah
bermaksiat kepada Allah terhadap apa yang di perintahkan kepada mereka
dan selalu mengerjakan setiap apa yang diperintahkan kepada mereka.
Mereka itu tidak seperti manusia dimana mereka tidak makan,[1] tidak
minum, tidak tidur dan tidak berketurunan dan mereka itu mengerjakan
tugas-tugas yang beraneka ragam dimana Allah menugaskan mereka untuk
mengemban tugas-tugas tersebut.
Dan beriman kepada Malaikat itu ada yang secara global dan
terperinci, iman secara global kepada malaikat adalah meyakini bahwa
Allah memiliki para malaikat yang diciptakan dari cahaya yang mana
mereka itu hamba-hamba Allah yang tidak pernah bermaksiat kepada Allah,
mereka senantiasa melakukan ketaatan kepada Allah.
Dan iman kepada malaikat secara rinci itu adalah mengimani tentang
apa-apa dari malaikat itu yang disebutkan secara rinci dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah seperti Allah menyebutkan tugas-tugas mereka, nama-nama
sebagian mereka, dan keistimewaan-keistimewaan yang Allah lebihkan
sebagian dari mereka.Seperti Malaikat jibril yang bertugas membawa
wahyu, Malaikat Mikail yang ditugaskan untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan
dan menurunkan hujan, Malaikat Israfil yang meniup sangkakala, Malaikat
pemikul ‘Arsy,Malaikat pencabut nyawa, Malaikat Malik sebagai penjaga
neraka, Malaikat Munkar dan Nakir, Malaikat Kiraaman Katibin (para
pencatat)[2].
- Iman kepada Kitab–Kitab Samawi
Yang dimaksud adalah kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah kepada
para Rasul-Nya. Iman kepada kitab-kitab samawi ada yang secara global
dan ada yang secara terperinci. Iman secara global yaitu mengimani
secara global bahwa Allah Ta’ala telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada
para Rasul-Nya, di antaranya ada yang disebutkan namanya dalam
al-Qur’an dan ada yang tidak disebutkan. Iman secara terperinci yaitu
apa yang disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah, bahwa kitab tersebut di
wahyukan kepada Rasul tertentu maka kita wajib mengimaninya seperti
Shuhuf Ibrahim, Shuhuf Musa, Zabur, Taurat, Injil, dan al-Qur’an.
Yaitu membenarkan secara pasti bahwa Allah Ta’ala telah mengutus para Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam yang
mana mereka memberikan kabar gembira dan peringatan. Iman kepada Nabi
dan Rasul ada yang secara global dan terperinci. Iman kepada Nabi dan
Rasul secara global yaitu mengimani secara global bahwa Allah mengutus
para Nabi dan Rasul, dan mengimanai baik yang disebutkan namanya maupun
yang tidak disebutkan namanya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Iman secara
terperinci yaitu mengimani kepada para Nabi[4] dan Rasul[5]yang
disebutkan nama mereka dalam al-Qur’an dan as-Sunnah,serta yang
disebutkan sebagian rincian dakwah mereka sehingga wajib mengimani
mereka dan mengimani apa yang Allah kisahkan tentang mereka dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah.
- Iman kepada Hari Akhir
Yaitu mengimani hari kebangkitan setelah kematian untuk penghisaban
makhluk, iman terhadapnya ada yang global dan ada yang terperinci. Iman
secara global yaitu mengimani bahwa setelah kematian ada kebangkitan,
dan bahwa manusia akan dihadapkan kepada Allah untuk dihisab, dan juga
adanya surga dan neraka. Adapun iman secara terperinci yaitu iman kepada
hari kebangkitan dan apa yang terjadi dihari kiamat yaitu
kondisi-kondisi yang mencekam serta keadaan-keadaan dihari kiamat
seperti manusia dikumpulkan dimahsyar, matahari berjarak satu mil dan
seperti yang di sebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.
Iman secara terperinci sebagaimana ada dalam dalil seperti ash-Shirath,[6] Mizan
(timbangan), beterbangannya lembaran-lembaran catatan amal perbuatan,
matahari yang begitu dekat yang jaraknya satu mil dan hal lainnya yang
ada dan dijelaskan dalam al-Kitab dan Sunnah. Demikian juga iman kepada
adzab dan nikmat kubur, karena alam kubur temasuk kedalam hari akhir
sebagaimana Ustman radliyallah ‘anhu meriwayatkan sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengatakan, “bahwasanya kuburan itu awal titian akhirat.” (HR. Ahmad)
- Iman kepada qadar yang baik maupun yang buruk
Iman kepada takdir memiliki empat tahapan yaitu ;
Pertama : Meyakini bahwa Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu.
Allah mengetahui segala sesuatu :
إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (At-Taubah: 115)
Allah mengetahui apa yang telah terjadi, mengetahui apa yang sedang
terjadi, mengetahui yang akan terjadi dan mengetahui apa yang tidak
terjadi dan jika itu terjadi Allah mengetahui bagaimana bentuknya.
Kedua : Meyakini bahwa Allah mencatat segala sesuatu itu.
مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَفِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَافَاتَكُمْ وَلاَتَفْرَحُوا بِمَآ ءَاتَاكُمْ
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul
Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu
jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu
jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu…” (Al Hadiid:22-23)
Dalam Shahih Muslim
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ ( رواه مسلم . 2653
“Allah telah menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.”
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ آللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ اكيُبْ، قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ ؟ قاَلَ: أكتُبْ مَقَا دِيْرَ كُلَّ شَىْءِ حَتَّى تَقُومَ السَّا عَةُ
“Allah berfirman, ‘Tulislah!’ Ia bertanya, ‘Wahai Rabb-ku apa
yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu
sampai terjadinya Kiamat.’“ (HR. Tirmidzi, No. 2155, 3319)
Ketiga : Meyakini bahwa Allah menghendakinya dimana tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan atas kehendak Allah.
Segala sesuatu itu adalah terjadi atas keinginan (iradah)[7] dan
kehendak Allah, kehendak Allah pasti terwujud. Tidak ada suatu yang
terjadi kecuali atas kehendak Allah. Manusia memiliki kehendak tapi
tidak akan terwujud kecuali jiak Allah menghendakinya, dan Allah
menghendaki segala seuatu pasti terjadi meski manusia tidak
menghendakinya
وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.” (at-Takwir : 29)
Keempat : Meyakini bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dan segala sesuatu adalah ciptaan Allah.
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (al-Qamar 49),
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (ash-Shaffat: 96)
Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, Allah melakukan apa yang
diinginkan-Nya. Apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi dan apa yang
tidak dikehendaki-Nya maka tidak akan terjadi. Di Tangan-Nya kerajaan
segala sesuatu, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu. Memberikan hidayah kepada siapa yang di kehendaki dengan
karunia-Nya :
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah
dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Yunus : 58)
Allah berkehendak menyesatkan siapa yang disesatkan-Nya dengan
keadilan-Nya, yaitu Allah akan menyesatkan orang yang berpaling dari
kebenaran dan tidak mau untuk menuntut ilmu syar’i. sebagaimana
Firman-Nya :
وَلَوْ عَلِمَ اللَّهُ فِيهِمْ خَيْرًا لأسْمَعَهُمْ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ
“Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka,
tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah
menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga,
sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu)”. (al-Anfal : 23)
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka” (ash-Shaff : 5)
Tidak ada yang mengkoreksi putusan-Nya
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (al
Anbiya : 23), tidak ada yang bisa menolak keputusan-Nya, Allah
menciptakan makhluk-Nya dan mentaqdirkan amalan mereka, kehidupan dan
kematian mereka. Semua sudah ditetapkan oleh Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ المَلَكُ فَيَنفُخُ فِيْهِ الرٌّوْحَ،وَيَؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ.
“Kemudian diutus kepadanya malaikat untuk meniupkannya ruh, dan
dia diperintahkan mencatat empat kata yang telah ditentukan: rezekinya,
ajalnya, amalnya, kesulitan atau kebahagiannya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Rukun-Rukun Islam
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullahu shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Islam
dibangun di atas lima (tonggak): Syahadat Laa ilaaha illa Allah dan
(syahadat) Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat,
hajji, dan puasa Ramadhan”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Rukun-rukun Islam ada lima, yaitu ;
- Syahadat
Bersaksi bahwasanya tidak ada ilaah yang berhaq disembah kecuali
Allah dan bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah. Mengenai penjelasan hal
ini sudah kami jelaskan pada bab Tiga Landasan Pokok yaitu mengenai
mengenal Allah dan Rasul-Nya.
- Mendirikan Shalat
Shalat merupakan perkara yang termasuk dalam perkara pokok diinul
Islam, yang mana apabila orang tidak mengerjakan shalat maka dia
kafir.Allah Ta’ala berFirman ;
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan
ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (at-Taubah: 11)
Ibnu Taymiyyah rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala mengkaitkan ukhuwah fid diin terhadap
sikap taubat dari syirik, mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
Sedangkan bila suatu hukum dikaitkan dengan syarat, maka hukum itu
menjadi tidak ada jika syaratnya tidak ada. Barangsiapa tidak melakukan
hal itu (tobat dari syirik, mendirikan shalat dan menunaikan zakat) maka
dia bukan akhun fiddin (saudara seagama), dan barangsiap bukan akhun fiddin maka dia kafir dikarenakan orang-orang mukmin itu bersaudara.” (Syarhul Umdah Fil Fiqhi, juz 4 hal 17)
Dan juga telah di riwayatkan dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ
“Pokok urusan (agama) itu adalah Islam (yaitu: dua syahadat), tiangnya adalah shalat, dan puncak ketinggiannya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ
“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” [HR Muslim]
إِنَّ الْعَهْدَ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Janji antara kita dengan mereka adalah ‘Ash-Shalah’, siapa yang meninggalkannya, sungguh dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Timidzi dan selainnya).
Dan para sahabat telah ijma’ bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, Abdullah bin Syaqiq rahimahullah salah seorang tabi’in mengatakan,
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” (HR. Bukhari dan Tirmidzi)
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Ash-Shalah
hal 56, “Tidakkah seseorang itu malu dengan mengingkari pendapat bahwa
orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini telah
dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan
sahabat. Wallahul muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik).”
Adapun Jika ada orang yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan
shalat disebabkan karena adanya nash atau merujuk kepada nash yang
ihtimal, walaupun pendapatnya salah maka dia tidak boleh dikafirkan dan
tidak di anggap bid’ah karena ushulnya sunnah yaitu dengan memberikan
alasan menggunakan dalil. Sebagaimana sudah kami jelaskan sebelumnya
dalam penjelasan Pembatal KeIslaman bab orang yang tidak mengkafirkan
orang kafir.
- Zakat
Zakat adalah salah satu perkara yang sudah diketahui secara pasti dalam Dinul Islam. Allah Ta’ala berfirman :
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku.” (Al Baqarah: 43).
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo`alah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (at-taubah : 103)
Orang yang mengingkari kewajiban zakat atau membenci syari’at zakat
maka dia kafir. Para ulama berselisih tentang kafirnya orang yang
menolak membayar zakat. Para sahabat sepakat bahwa kelompok bersenjata
yang melindungi diri dengan kekuatannya dan mereka menolak membayar
zakat maka mereka divonis murtad dan diperangi, hal ini terjadi pada
masa kekhalifahan Abu Bakar Shiddiq radliyallahu ‘anhu, dimana para sahabat tidak ada yang menentang dan mengingkari pendapat Abu Bakar Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Beliau berkata “Demi Allah sungguh akan saya perangi siapa saja yang
memisahkan antara salat dan zakat. Sebab zakat adalah hak harta”,
Kemudian Umar berkata Umar berkata, “Demi Allah saya melihat bahwa Allah
telah membuka dada Abu Bakar untuk berperang. Maka tahulah saya bahwa
apa yang dikataan itu adalah benar.” (HR. Bukhari Muslim).
Adapun jika individu yang tidak menunaikan zakat, maka hal ini
terjadi perselisihan dikalangan para ulama apakah termasuk kufur akbar
atau kufur Ashghar. Rasulullah shallallah ‘alaihi wa salam :
وَمَنْ منعها فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ ماله عَزْمَةٌ مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا
“barangsiapa yang menolak membayar zakat (individu) maka kami
mengambilnya dengan paksa dan separoh hartanya diambil juga sebagai
sanksi dari sanksi Rabb kami”. (HR. Ahmad, An-Nasai)
Dalam hadits ini seandainya individu ini kafir tentu dibunuh, tapi hadist ini menjelaskan hartanya di ambil secara paksa.
- Shaum (puasa) di bulan Ramadhan.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al Baqarah: 183)
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu.” (Al Baqarah: 185)
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah bahwa orang Arab Badui pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun bertanya,
أَخْبِرْنِى بِمَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَىَّ مِنَ الصِّيَامِ قَالَ شَهْرَ رَمَضَانَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا
“Kabarkanlah padaku mengenai puasa yang Allah wajibkan.” Rasul
menjawab, “Yang wajib adalah puasa Ramadhan. Terserah setelah itu engkau
mau menambah puasa sunnah lainnya.” (HR. Bukhari No. 1891 dan Muslim No. 11).
Kaum muslimin telah sepakat tentang wajibnya puasa ini dan sudah ma’lum minnad dini bidhdharurah yaitu
seseorang menjadi kafir jika dia mengingkari wajibnya hal ini meskipun
dia melakukan puasa. Puasa Ramadhan ini tidak gugur bagi orang yang
telah dibebani syari’at kecuali apabila terdapat ‘udzur (halangan). Di
antara ‘udzur sehingga mendapatkan keringanan dari agama ini untuk tidak
berpuasa adalah orang yang sedang bepergian jauh (safar), sedang sakit,
orang yang sudah berumur lanjut (tua renta) dan khusus bagi wanita
apabila sedang dalam keadaan haidh, nifas, hamil atau menyusui.
Hukuman bagi orang yang tidak berpuasa tanpa udzur maka baginya ancaman di akhirat. Dari Abu Umamah Al Bahili radhiyallahu ‘anhu. Beliau (Abu Umamah) menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
” بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِي رَجُلانِ فَأَخَذَا بِضَبْعَيَّ فَأَخْرَجَانِي ، فَأَتَيَا بِي جَبَلا وَعْرًا ، وَقَالا لِيَ : اصْعَدْ . فَقُلْتُ : إِنِّي لا أُطِيقُهُ . فَقَالا : سَنُسَهِّلُهُ لَكَ . قَالَ : فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا أَنَا بِأَصْوَاتٍ شَدِيدَةٍ . فَقُلْتُ : مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ ؟ فَقَالا : هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ . ثُمَّ انْطَلَقَا بِي ، وَإِذَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٍ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ دَمًا ، فَقُلْتُ : مَنْ هَؤُلاءِ ؟ فَقَالَ : هَؤُلاءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ مَحِلَّةِ إِفْطَارِهِمْ … “
“Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu
keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya
berkata, “Naiklah”. Lalu kukatakan, “Sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata, “Kami
akan memudahkanmu”. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai
di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu aku
bertanya, “Suara apa itu?” Mereka menjawab, “Itu
adalah suara jeritan para penghuni neraka.” Kemudian dibawalah aku
berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada
urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan
itu mengalirlah darah.” Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya, “Siapakah mereka itu?” Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya…” (HR. An Nasa’i dalam Al Kubra, No. 3274, sanadnya shahih).
Adapun para ulama berselisih mengenai orang yang tidak berpuasa
Ramadlan pada satu hari, apakah ada kafarahnya wajib qadla ataukah tidak
wajib qadla dan hanya bertaubat sungguh-sungguh.
- Haji ke Baitullah bagi yang mampu
Allah Ta’ala berfirman,
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Ali Imran: 97).
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di tengah-tengah kami. Beliau bersabda :
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا. فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ
“Wahai sekalian manusia, Allah telah mewajibkan haji bagi kalian, maka berhajilah.” Lantas
ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah setiap tahun (kami mesti
berhaji)?” Beliau lantas diam, sampai orang tadi bertanya hingga tiga
kali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Seandainya aku mengatakan ‘iya’, maka tentu haji akan diwajibkan bagi kalian setiap tahun, dan belum tentu kalian sanggup.” (HR. Muslim)
Para ulama sepakat akan kewajiban Haji dan hal ini termasuk al ma’lum minad diini bidh dharurah (dengan
sendirinya sudah diketahui wajibnya), barangsiapa yang mengingkari
kewajiban Haji meskipun dia mengamalkannya maka dia kafir.
Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anhu dengan tegas mengatakan ancaman terhadap orang yang mampu secara fisik dan materi tetapi tidak berangkat haji ;
ولهذا ثبت عن عمر بن الخطاب أنه قال: لقد هممت أن أبعث رجالاً إلى هذه الأمصار فينظروا كل من له جدة ولم يحج، فيضربوا عليهم الجزية، ما هم بمسلمين، ما هم بمسلمين
“Sesungguhnya saya berkeinginan bisa mengutus sekelompok orang ke
daerah-daerah. Mereka mencari orang yang punya kemampuan tetapi tidak
pergi haji, menjatuhkan jizyah (upeti) kepada mereka. Mereka (Yang
semacam ini) bukanlah muslim, mereka bukanlah muslim.” (Tarikh Khulafa
Imam Suyuti).