Film dokumenter ini luar biasa, Berkisah tentang tiga bocah usia 10
tahun yang sudah hapal Al Quran (hafidz) lalu ikut kompetisi hafidz di
Kairo. Lomba itu diikuti oleh 100 hafidz dari 100 negara. Tiga bocah itu
berasal dari Senegal, Maldives, dan Tajikistan (negara bekas wilayah
Uni-Sovyet). Walau hapal Al Quran, tidak satu pun dari ketiga bocah itu
yang bisa berbahasa arab.
Selain fokus pada kompetisi di Kairo, film ini juga menceritakan kehidupan ketiga bocah itu di kampungnya. Soal sekolah mereka, cita-cita mereka, atau harapan orang tuanya. Adegan bolak-balik dari Kairo dan di negara mereka masing-masing. Jadi film ini tidak sekadar soal lomba hafidz, tapi juga kehidupan tiga bocah muslim di tiga negara berbeda terseut.
Yang namanya bocah, tingkah mereka kadang bikin geli. Lucu dan polos. Tapi saat mendengar mereka melantunkan Al Quran... masyaallah.. it's simply beautiful and touching. "Seperti burung bernyanyi" kata seorang hafidz lain di Kairo.
Dalam film itu digambarkan bagaimana Djamil diajarkan oleh gurunya di Senegal bahwa islam adalah agama damai dan orang islam harus menganut prinsip tersebut dalam hidupnya, tetapi pemerintah Senegal menutup sekolah yang dikhawatirkan akan mengembangkan ajaran fundamentalis.
Di sisi lain. Nabiollah yang bisa membaca dan bahkan hafal Al Qur'an, buta huruf dalam bahasanya sendiri, sementara Rifdha gadis kecil dari Maladewa bermimpi untuk menjadi peneliti dan mencari tahu apa yang terjadi di laut malam hari, tak hanya sekedar menjadi seorang isteri seperti yang diinginkan ayahnya. Ketiga kisah ini benar-benar memberi gambaran kehidupan keluarga Muslim di berbagai negara di dunia.
Setelah nonton ini saya jadi makin setuju pada anggapan kalau ada bocah yang bisa hapal AL Quran di usia dini (sebelum 13 tahun) adalah bocah jenius. Sangat merekomendasikan film ini.
Selain fokus pada kompetisi di Kairo, film ini juga menceritakan kehidupan ketiga bocah itu di kampungnya. Soal sekolah mereka, cita-cita mereka, atau harapan orang tuanya. Adegan bolak-balik dari Kairo dan di negara mereka masing-masing. Jadi film ini tidak sekadar soal lomba hafidz, tapi juga kehidupan tiga bocah muslim di tiga negara berbeda terseut.
Yang namanya bocah, tingkah mereka kadang bikin geli. Lucu dan polos. Tapi saat mendengar mereka melantunkan Al Quran... masyaallah.. it's simply beautiful and touching. "Seperti burung bernyanyi" kata seorang hafidz lain di Kairo.
Dalam film itu digambarkan bagaimana Djamil diajarkan oleh gurunya di Senegal bahwa islam adalah agama damai dan orang islam harus menganut prinsip tersebut dalam hidupnya, tetapi pemerintah Senegal menutup sekolah yang dikhawatirkan akan mengembangkan ajaran fundamentalis.
Di sisi lain. Nabiollah yang bisa membaca dan bahkan hafal Al Qur'an, buta huruf dalam bahasanya sendiri, sementara Rifdha gadis kecil dari Maladewa bermimpi untuk menjadi peneliti dan mencari tahu apa yang terjadi di laut malam hari, tak hanya sekedar menjadi seorang isteri seperti yang diinginkan ayahnya. Ketiga kisah ini benar-benar memberi gambaran kehidupan keluarga Muslim di berbagai negara di dunia.
Setelah nonton ini saya jadi makin setuju pada anggapan kalau ada bocah yang bisa hapal AL Quran di usia dini (sebelum 13 tahun) adalah bocah jenius. Sangat merekomendasikan film ini.