Salah satu dari prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah cinta
karena Allah dan benci karena Allah, yaitu mencintai dan memberikan
wala’ (loyalitas) kepada kaum Mukminin, membenci kaum musyrikin dan
orang-orang kafir serta berpaling (bara’) dari mereka. [1]
Al-Wala’ dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, antara lain;
mencintai, menolong, mengikuti dan mendekat kepada sesuatu. Selanjutnya,
kata al-muwaalaah (الْمُوَالاَةُ) adalah lawan kata dari
al-mu’aadaah(الْمُعَادَاةُ) atau al-‘adawaah(الْعَدَوَاةُ) yang berarti
permusuhan. Dan kata al-wali (الْوَلِى) adalah lawan kata dari al-‘aduww
(الْعَدُوُّ) yang berarti musuh. Kata ini juga digunakan untuk makna
memantau, mengikuti, dan berpaling. Jadi, ia merupakan kata yang
mengandung dua arti yang saling berlawanan.
Dalam terminologi syari’at Islam, al-Wala’ berarti penyesuaian diri
seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai Allah berupa
perkataan, perbuatan, kepercayaan, dan orang yang melakukannya. Jadi
ciri utama wali Allah adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan
membenci apa yang dibenci Allah, ia condong dan melakukan semua itu
dengan penuh komitmen. Dan mencintai orang yang dicintai Allah, seperti
seorang mukmin, serta membenci orang yang dibenci Allah, seperti orang
kafir.
Sedangkan kata al-bara’ dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti,
antara lain menjauhi, membersihkan diri, melepaskan diri dan memusuhi.
Kata bari-a (بَرِيءَ) berarti membebaskan diri dengan melaksanakan
kewajibannya terhadap orang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
بَرَاءَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya.” [At-Taubah: 1]
Maksudnya, membebaskan diri dengan peringatan tersebut.
Dalam terminologi syari’at Islam, al-bara’ berarti penyesuaian diri
seorang hamba terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allah berupa
perkataan, perbuatan, keyakinan dan kepercayaan serta orang. Jadi, ciri
utama al-Bara’ adalah membenci apa yang di-benci Allah secara
terus-menerus dan penuh komitmen.
Maka, cakupan makna al-wala’ adalah apa yang dicintai Allah, sedangkan cakupan makna al-bara’ adalah apa yang dibenci Allah.
A. Definisi ‘Aqidah al-Wala’ dan al-Bara’
Dari penjelasan terdahulu: ‘aqidah al-wala’ wal-bara’ dapat didefinisikan sebagai penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai Allah serta apa yang dibenci dan dimurkai Allah, dalam hal perkataan, perbuatan, kepercayaan, dan orang. Dari sini kemudian kaitan-kaitan al-wala’ wal bara’ dibagi menjadi empat:
Dari penjelasan terdahulu: ‘aqidah al-wala’ wal-bara’ dapat didefinisikan sebagai penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai Allah serta apa yang dibenci dan dimurkai Allah, dalam hal perkataan, perbuatan, kepercayaan, dan orang. Dari sini kemudian kaitan-kaitan al-wala’ wal bara’ dibagi menjadi empat:
1. Perkataan
Do’a dan dzikir yang sesuai dengan Sunnah adalah dicintai Allah, sedangkan mencela dan memaki dibenci Allah Azza wa Jalla.
Do’a dan dzikir yang sesuai dengan Sunnah adalah dicintai Allah, sedangkan mencela dan memaki dibenci Allah Azza wa Jalla.
2. Perbuatan
Shalat, puasa, zakat, sedekah dan berbuat kebajikan, mengerjakan Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dicintai Allah sedangkan tidak shalat, tidak puasa, bakhil, riba, zina, minum khamr, dan berbuat bid’ah dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Shalat, puasa, zakat, sedekah dan berbuat kebajikan, mengerjakan Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dicintai Allah sedangkan tidak shalat, tidak puasa, bakhil, riba, zina, minum khamr, dan berbuat bid’ah dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Kepercayaan
Iman dan tauhid dicintai Allah, sedangkan kufur dan syirik dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Iman dan tauhid dicintai Allah, sedangkan kufur dan syirik dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Orang
Orang yang Muwahhid (mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala) dicintai Allah sedangkan orang kafir, musyrik, dan munafiq dibenci Allah Azza wa Jalla.
Orang yang Muwahhid (mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala) dicintai Allah sedangkan orang kafir, musyrik, dan munafiq dibenci Allah Azza wa Jalla.
B. Kedudukan ‘Aqidah al-Wala’ wal Bara’ dalam Syari’at Islam
‘Aqidah al-wala’ wal bara’ memiliki kedudukan yang sangat penting dalam keseluruhan muatan syari’at Islam. Berikut penjelasannya:
‘Aqidah al-wala’ wal bara’ memiliki kedudukan yang sangat penting dalam keseluruhan muatan syari’at Islam. Berikut penjelasannya:
Pertama:
Al-Wala’ wal bara’ merupakan bagian penting dari makna syahadat. Maka, ungkapan لاَ إِلَهَ (tiada ilah) dalam syahadat: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah) berarti melepaskan diri dari semua sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Al-Wala’ wal bara’ merupakan bagian penting dari makna syahadat. Maka, ungkapan لاَ إِلَهَ (tiada ilah) dalam syahadat: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah) berarti melepaskan diri dari semua sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh Kami telah mengutus kepada tiap-tiap ummat seorang Rasul
(yang menyerukan): ‘Beribadahlah hanya kepada Allah dan jauhkanlah
thaghut…’” [An-Nahl: 36]
Thaghut adalah semua yang disembah selain Allah Azza wa Jalla.
Kedua:
Al-Wala’ wal bara’ merupakan bagian dari ikatan iman yang paling kuat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Al-Wala’ wal bara’ merupakan bagian dari ikatan iman yang paling kuat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ: الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالْبُغْضُ فِي اللهِ.
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas yang kuat karena Allah
dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena
Allah.” [2]
Ketiga:
Al-Wala’ wal bara’ merupakan faktor utama yang menyebabkan hati dapat merasakan manisnya iman.
Al-Wala’ wal bara’ merupakan faktor utama yang menyebabkan hati dapat merasakan manisnya iman.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…وَ أَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ…
“… Apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allah…” [3]
Keempat:
Pahala yang sangat besar bagi orang yang mencintai karena Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Pahala yang sangat besar bagi orang yang mencintai karena Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ
ظِلُّهُ:.. وَرَجُلاَنِ تَحَاباَّ فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ
وَتَفَرَّقاَ عَلَيْهِ…
“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya
pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya,… dan dua orang
yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul maupun berpisah
juga karena-Nya…” [4]
C. Hukum ‘Aqidah al-Wala’ wal Bara’
Hukum al-wala’ wal bara’ dalam syari’at Islam adalah wajib, bahkan merupakan salah satu konsekuensi syahadat.
Hukum al-wala’ wal bara’ dalam syari’at Islam adalah wajib, bahkan merupakan salah satu konsekuensi syahadat.
Mengenai hukum wajibnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَّا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ
إِلَّا أَن تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً
“Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena
(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka…” [Ali
‘Imran: 28]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ
وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن
يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang
Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin-pemimpinmu, sebagian mereka adalah
pemimpin bagi sebagian yang lainnya. Barangsiapa di antara kamu yang
menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah: 51]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ
أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan
hari Akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang (yang menentang Allah dan
Rasul-Nya) itu adalah bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
atau pun keluarga mereka…” [Al-Mujaadilah: 22]
D. Hak-Hak al-Wala’
Ahlus Sunnah memandang bahwa dalam al-wala’ terdapat hak-hak yang harus dipenuhi, antara lain:
Ahlus Sunnah memandang bahwa dalam al-wala’ terdapat hak-hak yang harus dipenuhi, antara lain:
1. Hijrah
Yaitu hijrah dari negeri kafir ke negeri Muslim, kecuali bagi orang yang lemah, atau tidak dapat berhijrah karena kondisi geografis dan politik kontemporer yang tidak memungkinkan.
Yaitu hijrah dari negeri kafir ke negeri Muslim, kecuali bagi orang yang lemah, atau tidak dapat berhijrah karena kondisi geografis dan politik kontemporer yang tidak memungkinkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ
قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ ۖ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ ۚ
قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا ۚ
فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا إِلَّا
الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا
يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًافَأُولَٰئِكَ عَسَى
اللَّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan
menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya: ‘Dalam
keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Adalah kami orang-orang
yang tertindas di negeri (Makkah).’ Para malaikat berkata: ‘Bukankah
bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’
Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruknya tempat kembali.’ Kecuali mereka yang tertindas baik
laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya
dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan
Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
[An-Nisaa’: 97- 99]
2. Membantu dan menolong kaum Muslimin
Yaitu membantu dan menolong kaum Muslimin dengan lisan, harta dan jiwa di semua belahan bumi dan dalam semua kebutuhan, baik dunia maupun agama.
Yaitu membantu dan menolong kaum Muslimin dengan lisan, harta dan jiwa di semua belahan bumi dan dalam semua kebutuhan, baik dunia maupun agama.
Allah Subhanahu wa Ta’alal berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوا وَّنَصَرُوا
أُولَٰئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ
يُهَاجِرُوا مَا لَكُم مِّن وَلَايَتِهِم مِّن شَيْءٍ حَتَّىٰ يُهَاجِرُوا ۚ
وَإِنِ اسْتَنصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا
عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ ۗ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad
dengan harta dan jiwanya di jalan Allah dan orang-orang yang memberikan
tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka
itu satu sama lain lindung melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang
beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban atasmu
melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi jika mereka
meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu
wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada
perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Mahamelihat apa yang
kamu kerjakan.” [Al-Anfaal: 72]
3. Mencintai kaum Muslimin
Yaitu hendaklah ia mencintai kaum Muslimin sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, baik berupa memberi kebaikan maupun menolak keburukan. Ia wajib menasihati mereka, tidak menyombongkan diri dan tidak dendam kepada mereka. Ahlus Sunnah berusaha untuk berkumpul bersama mereka.
Yaitu hendaklah ia mencintai kaum Muslimin sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, baik berupa memberi kebaikan maupun menolak keburukan. Ia wajib menasihati mereka, tidak menyombongkan diri dan tidak dendam kepada mereka. Ahlus Sunnah berusaha untuk berkumpul bersama mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ
وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ
تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru
Rabb-nya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya, dan
janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan
perhiasan kehidupan dunia ini…” [Al-Kahfi: 28]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (مِنَ الْخَيْرِ).
“Salah seorang di antaramu tidaklah dikatakan beriman sehingga ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (di dalam
perkara kebaikan)” [5]
4. Menjaga kehormatan kaum Muslimin
Yaitu tidak mengejek, melecehkan, mencari aib, dan tidak ghibah serta tidak melakukan namimah (berita yang menyebabkan permusuhan/mengadu domba) terhadap sesama kaum Muslimin. [6]
Yaitu tidak mengejek, melecehkan, mencari aib, dan tidak ghibah serta tidak melakukan namimah (berita yang menyebabkan permusuhan/mengadu domba) terhadap sesama kaum Muslimin. [6]
Melakukan apa yang menjadi hak-hak kaum Muslimin seperti menjenguk
yang sakit atau mengantar jenazah, mendo’akan mereka, memohonkan ampunan
untuk mereka, mengucapkan salam kepada mereka, tidak curang dalam
bergaul dengan mereka, tidak memakan harta mereka dengan cara yang
bathil dan lainnya.
5. Bersatu dalam jama’ah kaum Muslimin
Yaitu bersatu padu ke dalam satu jama’ah kaum Muslimin berdasarkan ‘aqidah dan manhaj yang benar sebagaimana dicontohkan oleh generasi awal terbaik ummat ini (para Sahabat Radhiyallahu anhum). Dan tidak berpecah belah, serta senantiasa tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.
Yaitu bersatu padu ke dalam satu jama’ah kaum Muslimin berdasarkan ‘aqidah dan manhaj yang benar sebagaimana dicontohkan oleh generasi awal terbaik ummat ini (para Sahabat Radhiyallahu anhum). Dan tidak berpecah belah, serta senantiasa tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Berpegang-teguhlah kamu kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai….” [Ali ‘Imran: 103]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box
7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dapat dilihat dalam kitab al-Irsyad ilaa Shahiihil I’tiqaad (hal. 347-361) Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan, al-Madkhal lidiraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 191-203), al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salafish Shaalih (bab al-Muwaalaat wal Mu’aadaah fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah hal. 139-146) dan at-Tauhiid lish Shaffil Awwal al-‘Aliy (hal. 96).
[2]. HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no. 11537), dari Sahabat Ibnu ‘Abbas c, lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 998 dan 1728).
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43), at-Tirmidzi (no. 2624), an-Nasa-i (VII/96) dan Ibnu Majah (no. 4033) dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 660, 1423), Muslim (no. 1031), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 13), Muslim (no. 45 (71)), Ibnu Majah (no. 66), at-Tirmidzi (no. 2515), Ahmad (III/176, 206, 251), an-Nasa-i (VIII/115), ad-Darimy (II/307), Abu ‘Awanah (I/33), dari Sahabat Anas . Tambahan di dalam kurung diri-wayatkan oleh Abu ‘Awanah, Ahmad dan an-Nasa-i. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 73).
[6]. Lihat QS. Al-Hujuurat: 11-12.
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dapat dilihat dalam kitab al-Irsyad ilaa Shahiihil I’tiqaad (hal. 347-361) Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan, al-Madkhal lidiraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 191-203), al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salafish Shaalih (bab al-Muwaalaat wal Mu’aadaah fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah hal. 139-146) dan at-Tauhiid lish Shaffil Awwal al-‘Aliy (hal. 96).
[2]. HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no. 11537), dari Sahabat Ibnu ‘Abbas c, lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 998 dan 1728).
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43), at-Tirmidzi (no. 2624), an-Nasa-i (VII/96) dan Ibnu Majah (no. 4033) dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 660, 1423), Muslim (no. 1031), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 13), Muslim (no. 45 (71)), Ibnu Majah (no. 66), at-Tirmidzi (no. 2515), Ahmad (III/176, 206, 251), an-Nasa-i (VIII/115), ad-Darimy (II/307), Abu ‘Awanah (I/33), dari Sahabat Anas . Tambahan di dalam kurung diri-wayatkan oleh Abu ‘Awanah, Ahmad dan an-Nasa-i. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 73).
[6]. Lihat QS. Al-Hujuurat: 11-12.