Pendahuluan
Segala puji hanya bagi Allah semata pengatur semesta alam, shalawat
serta sallam atas Nabi yang mulia dan yang diutus Nabi kami Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarganya, para sahabatnya dan seluruhnya wa ba’du, Allah memudahkan dalam menyusun kitab ini.
Kitab Muqarrar Fit Tauhid (Kurikulum Tauhid) ini di
terbitkan oleh Hay’atul Ifta’ wal Buhuts di Daulah Islamiyah. Syarah
kitab ini diusun dan di transkrip dari isi ceramah al-Ustadz Abu
Sulaiman Arkhabiliy hafizhahulloh, dimana kitab ini adalah
merupakan buku panduan bagi Junud Khilafah dan Anshar Khilafah dalam
memahami perkara Tauhid dan mengenal manhaj Daulah Islamiyah.
Kitab syarah yang kami susun ini adalah sebagai bentuk keseriusan
kami dalam rangka menyebarkan kebenaran dan mengajak kepadanya supaya
tumbuhlah generasi muwahhid yang jujur yang lewat tangan-tangan mereka
Allah Ta’ala mengembalikan kejayaan diin dan Umat ini. Dan risalah ini
adalah ringkasan dalam masalah diin yang telah kami susun untuk Anshar
Khilafah khususnya di Indonesia.
Kitab ini berisi beberapa permasalahan Tauhid yang di Syarah oleh Ustadz Abu Sulaiman Arkhabiliy hafizhahullah
sampai kepada materi tentang Rukun Iman, adapun syarah selanjutnya
yaitu Rukun Islam sampai akhir kitab di lanjutkan oleh penyusun. Dan
jika di dalamnya terdapat kekeliruan dan kesalahan kami memohon ampun
kepada Allah Ta’ala atas hal tersebut, karena manusia adalah tempatnya
salah dan lupa.
Semoga Allah memberikan Taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua dan
kami memohon kepada Allah Ta’ala agar memberikan manfaat kepada kami dan
umumnya kepada kaum muslimin dan mujahidin. Semoga Daulah Islamiyah
tetap eksis dan semakin luas atas idzin Allah.
Wallahu Ta’ala A’lam bishshawab
Penyusun
Hamba Allah yang Faqir
Syaifurrahman Arkhabiliy
***
Muqaddimah
Alhamdulillahi Rabbil’alamin wash-shalatu wasalamu ‘ala Nabiyyina
Muhammadin wa ‘ala alihi wa ashhabihi ajma’in, wattabi’in wa man
tabi’ahum bi ihsani ila yaumiddin..
Amma ba’du :
Sesungguhnya pokok diin ini pondasinya dan dasarnya itu iman kepada
Allah Ta’ala dan kufur kepada Thaghut sebagaimana Allah Ta’ala berkalam :
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Barangsiapa ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya dia telah berpegang (teguh) kepada buhul tali yang sangat
kuat yang tidak akan putus. Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al Baqarah : 256),
Dan seseorang tidak teruntai didalam untaian Islam dan tidak berteduh
dengan naungan Islam dan tidak merasakan ni’matnya hukum Islam kecuali
dengan mengenal dan mengamalkan pokok diin. Karena tauhid itu adalah
pokok diin ini dan sari patinya serta pondasinya yang mana seluruh
hukum-hukum diin ini dibangun di atasnya, dan tidak sah keimanan dan
tidak diterima amalan apapun kecuali dengan merealisasikan tauhid ini
dan berlepas diri dari lawannya yaitu syirik. Makanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengatakan “pokok segala urusan itu adalah Islam” (HR. Tirmidzi) dan juga para ulama menafsirkan ayat Allah Ta’ala :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (Ad-Dzariyat: 56), kata liya’buduun dimaknai dengan liyuwahhiduun yaitu
mentauhidkan-Ku, karena Tauhid adalah pokok dari segala ibadah, dan
ibadah-ibadah yang lain tidak diterima kecuali bila didasari dengan
tauhid, keimanan seseorang tidak sah kecuali ada perealisasian tauhid
dan berlepas diri dari syirik. Balasan setiap amal shalih itu syaratnya
adalah dia seorang mu’min, sebagaimana Allah Ta’ala berkalam :
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan, baik laki laki maupun
perempuan sedang dia itu seorang mu’min maka mereka itu akan masuk surga
dan tidak di zhalimi sedikitpun” (An-Nisa : 124)
Tauhid itu merupakan sumber kejayaan kaum muslimin, kemuliaan, sumber
kekuatan kaum muslimin dan persatuan mereka. Allah Ta’ala tidak akan
memberikan kejayaan kepada orang-orang yang intisab dan
memperjuangkan Islam tanpa didasari tauhid, karena tauhid bukan hanya
sekedar pemahaman tapi juga pengamalan. Tauhid merupakan sumber
persatuan umat Islam, manusia bisa bersatu di atas dasar Tauhid. Maka
dari itu berjama’ah tidak di atas dasar tauhid maka akan rentan dengan
perpecahan, sebagaimana Allah Ta’ala berkalam :
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan (Allah-lah) Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang
beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di
bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi
Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Mulia lagi
Maha Bijaksana.” (al-Anfal : 63)
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercerai berai. Ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika
kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan
hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan
(ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan
kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu,
agar kamu mendapat petunjuk” (Ali Imran : 103)
Dengan tauhid, kaum muslimin mendapatkan ma’iyah (kebersamaan)1[1]
Allah Ta’ala dan dukungan-Nya, disini yang dimaksudkan adalah khusus
bagi orang-orang yang merealisasikan tauhid. Maknanya pertolongan dan
dukungan Allah Ta’ala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam mengatakan kepada Abu Bakar Shiddiq radhiyallahu ‘anhu : “laa tahzan innallaha ma’ana” yang maksudnya adalah “Sesungguhnya pertolongan Allah bersama kita”.
Mereka dimuliakan Allah Ta’ala, dengan pembelaan terhadap orang orang
beriman, kemudian diberikan Tamkin dan ini merupakan janji Allah Ta’ala
kepada orang beriman :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang
beriman dan mengerjakan amal shalih, bahwa Dia sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dibumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka
agama yang telah Dia ridhai (Islam). Dan Dia benar-benar akan
mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman
sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku
dengan sesuatu pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji)
itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” (an-Nur : 55)
Dan Allah Ta’ala akan memenangkan orang beriman terhadap orang-orang kafir :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Wahai orang-orang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (Muhammad : 7)
Orang-orang kafir dan munafiq telah berupaya untuk menghapus
pilar-pilar diin ini dan memalingkan pemahaman-pemahaman diin yang
sebenarnya hingga mereka bisa menjauhkan umat Islam dari sumber kekuatan
dan persatuan mereka (tauhid). Orang-orang kafir telah menugaskan
kepada wakil mereka yaitu para Thaghut tugas untuk
memalingkan umat dari diinul Islam ini dan menjadikan kaum muslimin
hidup bergaya ala Barat. Dimana para thaghut itu mereka menggunakan
kekuasaannya untuk menghalangi suara kebenaran dengan cara memenjarakan
dan dengan cara “membersihkan” ulama-ulama yang jujur, dan para thaghut
itu bekerjasama dengan kaum munafiqin dan ulama-ulama suu’
didalam menyebarkan kesesatan dan penyimpangan manhaj mereka baik itu
dari kalangan Salafi Maz’um dan Sufiyah serta Jahmiyah sampai lenyaplah
pilar-pilar kebenaran.
Maka Allah-pun telah menyiapkan bagi umat Islam ini orang yang
memperbaharui diin mereka dan menghidupkan kembali aqidah mereka yang
sebenarnya, dimana mereka menyuarakan kebenaran menegakkan syari’at
jihad dan memerangi orang-orang kafir dan murtad. Sampai Allah Ta’ala
memberikan tamkin kepada mereka untuk menegakkan Khilafah Islamiyah dan
menegakkan syari’at Allah Ta’ala serta memerintahkan dengan
syari’at-Nya, mereka menghidupkan kembali pilar-pilar Tauhid ini yang
sebelumnya telah lenyap.
Dan kami pada hari ini dengan karunia Allah Ta’ala hidup dibawah
naungan Khilafah Islamiyah yang penuh keberkahan, dan sebagai bentuk
keseriusan kami supaya khilafah ini tetap eksis, maka kami harus
menyebarkan kebenaran dan mengajak kepadanya supaya tumbuhlah generasi
muwahhid yang jujur yang lewat tangan-tangan mereka Allah Ta’ala
mengembalikan kejayaan diin dan umat ini. Dan risalah ini adalah
ringkasan dalam masalah diin yang telah kami susun untuk daurah-daurah
askariyah, dan kami memohon kepada Allah Ta’ala agar memberikan manfaat
kepada kami dan umumnya kepada kaum muslimin dan mujahidin.
***
Definisi Iman Menurut Ahlussunnah wal Jama’ah
Siapakah Ahlussunnah wal Jama’ah yang sebenarnya ? Karena setiap kelompok ahlu bid’ah baik itu bid’ah i’tiqadiyah ataupun bid’ah amaliyah merekapun mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu orang-orang yang berada diatas apa yang dipegang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam
dan juga para sahabatnya, mereka memegang keyakinan, prinsip dan
amalan. Dan mereka itulah orang-orang yang berpegang teguh kepada sunnah
Rasul. Sunnah disini bukanlah definisi sunnah dalam perkara ushul fiqh,
tapi as-sunnah disini yaitu segala tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam,
baik itu keyakinan, ucapan dan amalan. Baik yang kaitannya dengan
tauhid, atau prinsip-prinsip ataupun amalannya. Jadi orang yang
berpegang teguh kepada sunnah Nabi mereka itulah Ahlussunnah, dan mereka
itulah para sahabat,[2]
para tabi’in (generasi setelah sahabat) dan para imam-imam petunjuk
yang mengikuti mereka (generasi setalah tabi’in). Mereka adalah
orang-orang yang istiqamah diatas prinsip ittiba’ dan mereka
menjauhi dari mengada-ada bid’ah dimana saja dan kapan saja. Dan mereka
itu akan tetap eksis dan akan diberikan kemenangan hingga hari kiamat.
Dan mereka disebut sebagai Ahlussunnah dikarenakan mereka menyandarkan
diri kepada tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Maka hendaknya kalian tetap berpegang teguh dengan sunnahku dan
sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah
dengannya. Gigitlah dengan gigi geraham kalian. Berhati-hatilah kalian
dengan perkara-perkara yang baru dalam agama, karena setiap ajaran yang
baru dalam agama Islam adalah termasuk perbuatan bid’ah, dan setiap
bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i).
Dan disebut wal Jama’ah yaitu mereka berkumpul bersepakat diatas prinsip tersebut dan mengambil tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam
secara lahir dan bathin, baik dalam amalan dan keyakinan. Dan orang
bisa disebut sebagai Ahlussunnah Wal Jama’ah meskipun dia seorang diri,
karena yang dimaksud al-ama’ah disini juga bisa bermakna al-Haq. Ibnu Mash’ud radhiyallahu ‘anhu berkata “Jama’ah itu adalah yang sejalan dengan kebenaran walaupun kamu seorang diri.”
Walaupun seorang diri tetapi diatas prinsip yang benar maka dia telah berjama’ah sebagaimana Imam Ahmad rahimahullah,
dimana pada masa beliau Khalifah al-Ma’mun dan aparaturnya serta
ulama-ulama sezamannya mayoritas mereka mengikuti pendapat kebid’ahan
pada masa itu. Imam Ahmad disebut Ahlussunnah wal Jama’ah meskipun
seorang diri karena keberpegang teguhan beliau terhadap al-Haq.
-
Definisi Iman
Iman itu secara bahasa adalah pembenaran dan pengakuan, sebagaimana kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam ketika saudara-saudara Nabi Yusuf ‘alaihisalam memasukkan Nabi Yusuf ‘alaihissalam ke dalam sumur dan membawa baju Nabi Yusuf ‘alaihissallam yang sudah dilumuri darah kambing kemudian mereka berkata kepada Nabi Ya’qub ‘alaihissalam :
وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ
“dan engkau tentu tidak akan mempercayai kami, sekalipun kami berkata benar.” (Yusuf : 17) ini adalah contoh secara bahasa.
Adapun secara syari’at adalah ucapan dengan lisan, keyakinan dengan
hati dan amalan dengan anggota badan, dan iman itu bertambah dengan
ketaatan dan berkurang dengan ma’siat. Orang tidak akan disebut sebagai
seorang mukmin kecuali terkumpul tiga hal tersebut pada dirinya, jika
ada seseorang meyakini kebenaran Islam tetapi tidak mau mengikrarkannya
maka dia belum menjadi seorang muslim sebagaimana Abu Thalib yang
meyakini kebenaran apa yang dibawa Rasulullah tapi tidak mau diucapkan
melalui lisannya. Atau ada orang yang mengucapkan secara lisan dan
secara anggota badan tetapi dia tidak meyakini dengan hati kebenaran
Islam maka dia mati dalam keadaan munafiq dan dihadapan Allah Ta’ala
mereka bukanlah seorang mu’min sebagaimana Allah Ta’ala berkalam
mengenai hal ini
إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka
berkata, “Kami mengakui, bahwa engkau adalah rasul Allah.” Dan Allah
mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah menyaksikan
bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (al Munafiqun :1),
Atau ada orang yang mengucapkan dengan lisan kebenaran Islam dan
meyakini dengan hatinya tapi secara anggota badan mereka menegakkan
hukum buatan manusia atau membela-bela hukum buatan manusia maka dia
bukan seorang mukmin. Iman itu bertambah dengan ketaatan-ketaatan dan
berkurang dengan maksiat yang tidak membatalkan keimanannya. Jika
kemaksiatan itu merupakan pembatal keimanan maka batallah imannya.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan
ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada
Rabb mereka bertawakkal.” (al-Anfal : 2)
Al-Imam al Ajuri rahimahullah mengatakan, “Iman itu
pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan dan amalan dengan anggota
badan dan seseorang tidak menjadi mu’min kecuali pada dirinya terkumpul
tiga hal tersebut.”
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan,
“Tauhid itu mesti dengan hati, lisan dan amal. Kalau salah satu dari
tiga hal ini tidak terpenuhi maka orang itu bukanlah seorang muslim.
Dimana jika dia mengetahui Tauhid tapi tidak mengamalkannya secara
dlahir maka dia itu orang kafir mu’anid.”
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Orang-orang
terdahulu dari generasi salaf mereka tidak membedakan iman dengan amal,
dimana amal itu bagian dari iman dan iman itu bagian dari amal.
Barangsiapa mengucapkan dengan lisannya dan mengetahui dengan hatinya
serta membenarkan dengan amalannya maka itulah buhul tali yang kuat yang
tidak akan pernah putus. Dan barangsiapa mengucapkan dengan lisannya
dan tidak mengenal dengan hatinya dan tidak membenarkan dengan amalannya
maka di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (Kitabul Iman hal. 250)
Disini Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa
generasi salaf tidak membedakan iman dan amal, karena kelompok Murji’ah
mengeluarkan amal yang mana mereka mengatakan amal itu bukan bagian dari
keimanan, amal itu hanyalah kesempurnaan keimanan saja. Sehingga jika
ada orang yang melanggar atau melakukan amalan kekafiran menurut
Murji’ah belum kafir kecuali jika disertai pendustaan atau pengingkaran
dengan hati sebagaimana orang-orang yang membuat undang-undang menurut
Murji’ah mereka tidak kafir, sedangkan pendapat Ahlussunnah jika ada
orang yang melakukan amalan kekafiran dengan anggota badan maka langsung
dikafirkan karena menurut Ahlussunnah amal itu bagian dari iman, Allah
Ta’ala ketika menjelaskan tentang shalat dan pemindahan kiblat
وَ مَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَانَكُمْ
“Dan tidaklah Allah akan menyia-nyiakan iman kamu.” (al-Baqarah 143)
Iman disini adalah shalat kalian (kaum mukminin pada masa itu) ketika
menghadap Baitul Maqdis, disini shalat disebut iman karena shalat
adalah amalan.
Sedangkan menurut kelompok Murji’ah orang yang melakukan amalan
kekafiran apapun tidak boleh dikafirkan kecuali disertai keyakinan hati,
sedangkan menurut Ahlussunnah orang yang melakukan amalan kekafiran
maka dia itu dikafirkan walaupun tidak disertai keyakinan hati.
Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan:
اعلم ـ رحمك الله ـ أنّ الإنسان إذا أظهر للمشركين الموافقة على دينهم خوفاً منهم ومداراة لهم ومداهنة لدفع شرّهم فإنّه كافر مثلهم وإن كان يكره دينَهم ويبغضهم ويحبّ الإسلام والمسلمين
“Ketahuilah semoga Allah Ta’ala merahmati engkau, sesungguhnya jika
orang menampakkan sikap setuju kepada ajaran-ajaran orang musyrik karena
takut kepada mereka atau karena mencari simpati atau basa basi kepada
mereka maka dia kafir sama dengan mereka walaupun dia membenci mereka
dan ajaran mereka dan hatinya mencintai Islam dan kaum muslimin.”
(ad-Dalaail : 1)
Jadi orang beriman itu orang yang mengumpulkan antara iman lisan,
keyakinan hati dan pembenaran dengan anggota badan, adapun orang yang
mengucapkan dengan lisan tapi tidak mengenal dengan hatinya dan tidak
membenarkan dengan amalannya maka dia bukan seorang mukmin. Keimanan itu
harus terkumpul menjadi satu antara keyakinan hati, ucapan lisan dan
amal anggota badan. Akan tetapi orang bisa menjadi kafir hanya dengan
salah satu sebab dari tiga hal saja tanpa harus terkumpulnya semua tiga
hal tersebut. Bisa jadi dia kafir di sebabkan karena hatinya saja atau
karena disebabkan amalannya saja atau karena perkataannya saja, tetapi hukum Takfir (pengkafiran) itu disandarkan pada perkataan dan perbuatan saja karena masalah hati hanya Allah yang mengetahuinya.
- Kewajiban Yang Paling Pertama.
Ketahuilah semoga Allah Ta’ala merahmati engkau, bahwasanya
kewajiban yang paling pertama yang harus dipelajari dan diamalkan oleh
seorang hamba adalah iman kepada Allah Ta’ala dan kufur kepada Thaghut,
sebgaimana Allah Ta’ala berkalam :
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Barangsiapa ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya dia telah berpegang (teguh) kepada buhul tali yang sangat
kuat yang tidak akan putus. Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (al-Baqarah : 256).
Dan didahulukan kufur kepada thaghut terhadap iman kepada Allah
Ta’ala karena kemusyrikan itu adalah najis, kapan saja najis itu
bercampur kedalam hati maka si najis ini mengeluarkan hati dari kesucian
dan fithrahnya. Dan tauhid itu adalah thaharah
(kesucian) yang paling agung dimana tidak mungkin tauhid itu berkumpul
dengan syirik akbar selama-lamanya dalam diri seseorang. Sehingga wajib
mensucikan dan membersihkan hati dari kotoran syirik kemudian
memenuhinya dengan sucinya tauhid, sehingga bila seseorang telah kafir
kepada Thaghut dan berlepas diri darinya maka dia itu telah siap untuk
menerima tauhid. Ketika seseorang ingin menghiasai dirinya dengan ibadah
kepada Allah Ta’ala tapi dalam dirinya masih ada kesyirikan maka
peribadatan kepada Allah Ta’ala yang dia lakukan tidak bermanfaat karena
syirik masih ada pada dirinya.
Tujuan dengan diawalinya kufur kepada Thaghut agar tidak ada orang
yang mengklaim bahwa dirinya sudah mengamalkan kalimat Tauhid namun
belum kafir kepada Thaghut, jadi kufur kepada Thaghut harus didahulukan
supaya orang bisa menghiasi dirinya dengan tauhid.
Adapun tata cara kufur kepada Thaghut itu adalah :
- Kamu meyakini bathilnya segala bentuk peribadatan kepada selain Allah Ta’ala, baik itu kaitannya dengan syirik do’a, syirik qubur maupun syirik dustur (undang-undang).
- Kamu Meninggalkannya, meninggalkan sesuatu yang diyakini bahwa hal itu adalah syirik. Dan kita meyakini itu adalah suatu kebathilan. Allah Ta’ala berkalam :
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya:
“Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu
sembah.” (az-Zukhruf : 26)
وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَأَدْعُو رَبِّي عَسَىٰ أَلَّا أَكُونَ بِدُعَاءِ رَبِّي شَقِيًّا
“Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru
selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku
tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku.” (Maryam : 48)
Syaikh ‘Abdurahman ibnu Hasan ibnu Muhammad rahimahumullah
berkata, “Ulama telah ijma’ baik salaf maupun salaf dari kalangan para
sahabat dan tabi’in, para imam dan semua Ahlussunnah bahwa orang tidak
dianggap muslim, kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar
dan berlepas diri darinya” (Ad Durar As Saniyah. 11/545)
- Kamu membencinya, meninggalkan juga harus disertai dengan kebencian kepada tindakan tersebut dan salah satu bentuk kebencian itu kita tidak menghadiri acara-acara kemusyrikin atau acara-acara kekafiran. Oleh sebab itu orang yang hadir dimajelis kekafiran dan kemusyrikan walaupun dia tidak melakukannya, dia hadir tanpa dipaksa serta tanpa mengingkarinya maka statusnya sama dengan orang yang melakukan kesyirikan dan kekafiran walaupun dia mengklaim perbuatan tersebut disertai kebencian. Allah Ta’ala berkalam
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
“Dan sungguh, Allah telah menurunkan ketentuan kepadamu di dalam
Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk
bersama mereka, sebelum mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena
(kalau kamu tetap duduk dengan mereka), tentulah kamu serupa dengan
mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik
dan orang-orang kafir di neraka Jahanam.” (an-Nisa 140)
- Mengkafirkan pelaku kemusyrikan, Allah Ta’ala berkalam :
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata),
“Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sungguh, Allah
akan memberi putusan diantara mereka tentang apa yang mereka
perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan
orang yang sangat ingkar.” (az-Zumar : 3)
Disini Allah Ta’ala memvonis kafir terhadap orang yang menjadikan
perantara dirinya dengan Allah dimana dia berserah diri dan bertawakkal
kepada perantara tersebut.
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain selain Allah, padahal
tidak ada suatu bukti pun baginya tentang itu, maka perhitungannya hanya
pada Tuhannya. Sungguh, orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.” (al-Mukminuun : 117)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُون
“Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir” (al-Maidah : 44), dalam ayat ini Allah memvonis kafir terhadap orang yang merujuk kepada hukum buatan manusia.
Syaikh ‘Abdurahman ibnu Hasan rahimahullah mengatakan,
“Allah telah mencap pelaku kemusyrikan dengan cap kafir itu dalam banyak
ayat maka kita harus mengkafirkan mereka juga.”
Disini Allah memerintahkan untuk meng-khithabi
orang itu sesuai dengan status orang tersebut. Kalau orang telah
terjatuh kepada kekafiran dan telah kafir maka kita sematkan sebagai
orang kafir.
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
“katakanlah (hai Muhammad) : wahai orang-orang kafir” (al-Kafirun :1).
Mengkafirkan orang yang dikafirkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya
itu adalah prinsip atau aqidah dan barangsiapa yang mengingkari takfir
atau pengkafiran berarti dia mengingkari ajaran Allah. Dan jika ada yang
mengatakan takfir itu adalah fitnah maka dia orang sesat, karena tanpa
adanya takfir kita tidak akan bisa mengamalkan al-Walaa dan Bara’ dengan
benar.
Imam al-Barbahari rahimahullah mengatakan :
ولايجز احد من اهل القبلة من الإسلام حتى يرد أية من كتاب الله أوشبئامن آثارالرسولصلى الله عليه وسلم او يصلي لغيرالله او يذبح لغيره، فمن فعل شيئا من ذلك فقد وجب عليك أن تخرجه من الإسلام
“Seorangpun dari Ahli Kiblat tidak boleh
dikeluarkan dari Islam sampai dia menolak satu ayat dari Kitabullah,
atau menolak satu atsar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam
atau shalat kepada selain Allah atau menyembelih untuk selain Allah,
barangsiapa yang melakukan satu hal dari semua itu maka wajib atas
kalian mengeluarkannya dari Islam.” (Syarh Sunnah, poin 49)
- Memusuhi mereka, Allah Ta’ala berFirman :
إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
“Sesungguhnya orang–orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (an-Nisa : 101), dan ayat yang lain :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia.” (al-Mumtahanah : 1).
Dan juga Allah Ta’ala memerintahkan untuk menjadikan mereka sebagai musuh, baik itu setan jin atau setan manusia :
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah dia sebagai musuh.” (Fathir : 6).
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Iman itu tidak
sempurna kecuali dengan memusuhi tandingan-tandingan ini yang disertai
dengan kebencian yang sangat kepadanya serta disertai kebencian kepada
para pelakunya, dan dengan memusuhi serta memerangi mereka.” (ar-Ruh :
254).
Dalam Islam alasan orang kafir diperangi karena sebab kemusyrikannya atau kekafirannya,
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاَةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَـهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالىَ )رواه البخاري ومسلم (.
Dari Inu ‘Umar radliyallahu ‘anhuma sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda “Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa
tidak ada ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah,
menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal
itu maka darah dan harta mereka akan dilindungi kecuali dengan hak
Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah Ta’ala”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan ini Allah Ta’ala mengutus semua Rasul-Rasul-Nya dan menurunkan
Kitab-Kitab-Nya untuk mengajak kepada Tauhid. Dan Allah Ta’ala
menciptakan neraka untuk para penganut kesyirikan, orang yang masih
memiliki tauhid di hatinya tidak akan dikekalkan di dalam neraka karena
neraka itu tempat yang kotor dan najis, maka merupakan tempat untuk
orang-orang najis sedangkan kaum musyrikin itu najis. Orang muslim yang
dengan sebab dosanya Allah masukkan ke dalam neraka maka dia itu bukan
najis tapi mutanajis yaitu orang yang terkena kotoran. Makanya dia tidak bisa langsung ke dalam surga sebelum dibersihkan kotorannya.
أَنَّ الْجَنَّةَ لا يَدْخُلُهَا إِلا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ
“surga itu tidak akan dimasuki kecuali oleh jiwa yang muslim” (HR. Bukhari, 6047)
- Makna Thaghut dan Macamnya
Thaghut itu dalam bahasa Arab diatas wazan[3] fa’alut yang asalnya thaghawut, dari kalimat thughyan. Dikatakan thaga maknanya adalah telah melampaui batasnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Segala
yang dilampaui batasnya oleh seorang hamba baik yang diibadati, atau
yang diikuti, atau ditaati. Thaghut setiap kaum itu adalah setiap pihak
yang mana mereka merujuk hukum kepada selain hukum Allah dan Rasul-Nya,
atau mereka yang diibadahi selain Allah atau yang diikuti bukan diatas
bashirah atau bukan ketaatan kepada
Allah dan Rasul-Nya, atau yang ditaati dalam hal yang mana mereka tidak
mengetahui bahwa hal itu merupakan ketaatan kepada Allah. Ini adalah
thaghut–thaghut di dunia ini, jika engkau memperhatikannya dan memperhatikan keadaan manusia dalam menyikapi thaghut–thaghut itu tentu engkau melihat mayoritas manusia itu berpaling dari ibadah kepada Allah beribadah kepada thaghut, dan berpaling dari berhukum kepada Allah dan Rosul-Nya kepada hukum Thaghut dan berpaling dari ketaatan kepada Allah dan mutab’ah kepada Rasul-Nya kepada Thaghut dan mengikuti Thaghut.” (I’lam Muwaqiqin 1/50).
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “para thaghut itu banyak dan pentolan–pentolannya ada lima yaitu :
- Setan yang mengajak Ibadah kepada selain Allah. Allah Ta’ala berkalam :
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Bukankah Aku telah memerintahkan kamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Yasin : 60 ).
Ketika orang melakukan kemusyrikan pada hakikatnya dia mengikuti ajakan syaithan dan dia mengibadahi syaithan :
وَقَالَ الشَّيْطَانُ لَمَّا قُضِيَ الأمْرُ إِنَّ اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ وَمَا كَانَ لِي عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ إِلا أَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِي فَلا تَلُومُونِي وَلُومُوا أَنْفُسَكُمْ مَا أَنَا بِمُصْرِخِكُمْ وَمَا أَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّ إِنِّي كَفَرْتُ بِمَا أَشْرَكْتُمُونِي مِنْ قَبْلُ إِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah
diselesaikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang
benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya.
sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar)
aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah
kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali
tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku.
Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku
(dengan Allah) sejak dahulu”. Sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu
mendapat siksaan yang pedih.” (Ibrahim : 22)
- Penguasa dhalim yang merubah ketentuan Hukum Allah Ta’ala (para pembuat undang-undang). Allah Ta’ala berfirman :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa
mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa
yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan
hukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan mengingkari
Thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan
yang sejauh-jauhnya.” (an-Nisa : 60)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Orang dikala
menghalalkan suatu keharaman yang sudah di ijma’kan atau mengharamkan
suatu kehalalan yang sudah di ijma’kan atau mengganti ketentuan hukum
yang sudah di ijma’kan maka dia itu kafir murtad berdasarkan kesepakatan
para fuqaha.” (Majmu’ Fatawa, Juz 3 hal. 267)
- Orang yang memutuskan perkara dengan selain apa yang telah Allah turunkan. Allah Ta’ala berfirman :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (al-Maidah : 44).[4]
Disini yang dimaksud memutuskan (al-hukmu) bermakna tasyri’ (pembuatan hukum). Makna lain dari al-hukmu
juga mengelola urusan atau mengelola tatanan kehidupan. Ketika orang
mengelola tatanan kehidupan rakyatnya atau memerintah tidak memutuskan
berdasarkan hukum Allah maka hal itu termasuk ke dalam ayat ini.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang
meninggalkan syari’at yang telah baku yang diturunkan kepada Muhammad
penutup para Nabi dan merujuk kepada Allah yang telah di-nasakh maka kafir, maka bagaimana dengan orang yang merujuk kepada ilyatsiq[5]
dan lebih mengedepankannya dari pada hukum Allah. Barangsiapa melakukan
hal itu maka dia telah kafir berdasarkan ijma’ kaum muslimin”
(Al-Bidayah wa Nihayah Juz 13 hal, 119).
Adapun yang dimaksud makna kufrun duuna kufrin yaitu
contohnya dalam bentuk tatanan di Negara Islam yang mana tegak hukum
Islam secara menyeluruh di dalamnya dan si hakim selalu memutuskan
dengan hukum Islam dan merujuk kepadanya, tetapi suatu ketika ada kasus
pencurian yang mana pencuri itu merupakan kerabat dari si hakim tersebut
dan setelah diteliti syarat-syaratnya oleh si hakim, ternyata
syarat-syarat untuk potong tangan sesuai syar’i serta berdasarkan bukti
dan fakta terpenuhi pada diri pencuri tersebut, akan tetapi si hakim
memanipulasi fakta dan pembuktian tersebut yaitu dengan mengatakan dan
memutuskan bahwa si pencuri belum terpenuhi syarat-syaratnya untuk di
potong tangan sehingga si hakim memutuskan pencuri tersebut terbebas
dari potong tangan hanya dikenakan hukum cambuk saja. Inilah makna
gambaran kufrun duna kufrin yang mana si hakim ini mengetahui dia
berbuat salah dan masih dalam ruang lingkup memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, akan tetapi memanipulasi bukti dan fakta,
berbeda jauh sekali dengan keadaan para hakim dan pemerintahan sekarang
yang memutuskan sesuai undang-undang buatan manusia dan KUHP.
- Orang yang mengklaim mengetahui yang Ghaib selain Allah. Allah Ta’ala berfirman :
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“Dia mengetahui yang ghaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan
kepada siapa pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang
diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga
(Malaikat) di depan dan di belakangnya.” (al-Jin : 26-27).
Orang yang sekedar datang kepada dukun dan tidak mempercayai apa yang
dikatakan oleh si dukun maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari,[6] tetapi jika dia percaya dengan ucapan dukun maka dia telah kafir terhadap apa yang di bawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.
- Yang di Ibadati selain Allah dan dia ridla dengan peribatan tersebut. Allah Ta’ala berfirman :
وَمَنْ يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِنْ دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ
“Dan barangsiapa di antara mereka berkata, “Sungguh, aku adalah
tuhan selain Allah,” maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahanam.
Demikianlah Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang yang zalim.” (al-Anbiya : 29)
Jika ada yang di ibadati tapi dia tidak ridha maka dia bukan Thaghut seperti Nabi Isa ‘alaihissalam
yang di ibadati kaum Nasrani. sedangkan peribadatan kepada makhluk yang
shalih itu adalah merupakan ibadah kepada setan, yang mana setan
menghiasi ibadah kepada selain Allah tersebut sebagai Ibadah kepada
Allah Ta’ala. Contoh dari hal ini adalah anggota Parlemen, mereka
membuat undang-undang. Ketika hukumnya ditaati mereka itu ridla bahkan
ketika hukumnya tidak diikuti dan ditaati mereka memaksa agar hukumnya
ditaati dan diikuti, jika tidak maka mereka akan menghukum orang yang
tidak mau mentaati hukum mereka. Orang yang memposisikan dirinya untuk
diibadati seperti calon anggota Dewan maka dia telah menjadi thaghut.
Menyandarkan kepada dirinya hak khusus Allah sama juga menyatakan
dirinya adalah ilah (Rabb) seperti ucapan “Saya adalah anggota
parlemen yang membuat aturan undang-undang.” Padahal yang berhak
menetapkan dan membuat aturan itu hanya Allah yang di jelaskan dalam
al-Qur’an dan Sunnah.
Adapun makna iman kepada Allah Ta’ala adalah :
- Engkau meyakini bahwa Allah-lah ilah yang di ibadati dengan haq bukan yang selain-Nya.
- Engkau memurnikan seluruh macam ibadah kepada Allah Ta’ala :
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian itulah agama yang lurus. (al Bayyinah : 5).
Memurnikan ibadah yaitu dengan cara beribadah hanya kepada Allah, sebagaimana Allah Ta’ala berkalam :
بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada
Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi
Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.” (al-Baqarah : 112)
- Engkau menafikannya dari setiap yang di ibadahi tersebut kepada selain Allah
Orang yang beriman kepada Allah tidak mungkin memalingkan satu macam
ibadahpun kepada selain Allah, Dia memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam untuk mengatakan kepada orang-orang kafir :
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah”. (al-Kafirun : 2)
- Engkau mencintai orang-orang yang bertauhid dan loyal kepada mereka.
Orang beriman mereka memiliki ikatan persaudaraan di atas diin ini, mencintai dan loyal satu sama lain. Allah Ta’ala berfirman :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain” (at-Taubah : 71)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara” (al-Hujurat : 10)
- Dan engkau membenci orang musyrik dan memusuhi mereka. Allah Ta’ala berkalam :
وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Muhammad)
dan kepada apa yang diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak akan
menjadikan orang musyrik itu sebagai teman setia. Tetapi banyak di
antara mereka, orang-orang yang fasik.” (al-Maidah : 81)
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُون
“Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang
itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya. Meraka itulah
orang-orang yang dalam hatinya telah ditanamkan Allah keimanan dan Allah
telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Lalu
dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridla
terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan
rahmat)-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan
Allah itulah yang beruntung.” (al-Mujadilah : 22)
Ini semua adalah Millah Ibrahim yang mana orang yang tidak menyukainya telah memperbodoh dirinya sendiri :
وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ
“Dan tidak ada yang membenci agama Ibrahim (Islam), melainkan
orang yang memperbodoh dirinya sendiri. Sungguh, Kami telah memilihnya
di dunia dan sesungguhnya di akhirat dia termasuk orang-orang yang
saleh.” (al-Baqarah : 130)
Dan ini adalah tauladan yang Allah Ta’ala kabarkan di dalam firman-Nya agar kita men-contohnya :
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ لأسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan
orang-orang yang bersama dengannya, ketika mereka berkata kepada
kaumnya, “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang
kamu sembah selain Allah, kami mengingkari (kekafiran)mu dan telah nyata
antara kami dan kamu ada permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya
sampai kamu beriman kepada Allah saja,” kecuali perkataan Ibrahim kepada
ayahnya, “Sungguh, aku akan memohonkan ampunan bagimu, namun aku sama
sekali tidak dapat menolak (siksaan) Allah terhadapmu.” (Ibrahim
berkata), “Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkau kami bertawakkal dan hanya
kepada Engkau kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (al-Mumtahinah : 4).
Faedah kenapa didahulukan keberlepasan diri dari orangnya, karena hal
ini lebih penting disebabkan berlepas diri dari orangnya sudah pasti
berlepas diri dari perbuatannya, sedangkan orang yang berlepas diri dari
perbuatannya tidak mesti berlepas diri dari orangnya. Dan didahulukan
permusuhan dari pada kebencian disini dikarenakan permusuhan lebih
penting sebab didalam permusuhan itu pasti adanya kebencian tetapi
kebencian belum tentu melahirkan permusuhan.
Bersambung……
***
[1] Ma’iyah itu ada dua, yaitu ‘Aamah (umum) dan Kha’shah (khusus). Yang di maksud ma’iyah ‘aamah
(umum) kebersamaan Allah yang bersifat umum bersama dengan seluruh
makhluq-Nya yaitu ma’nanya Ilmu atau pengawasan Allah yang meliputi
seluruh Makhluq-Nya, kalau yang bersifat Khusus yaitu dukungan dan
pertolongan Allah hanya bagi orang-orang mu’min.hanifku
[2]
Sahabat nabi yaitu mereka yang berjumpa dengan nabi dalam keadaan
muslim dan meninggal di atas keIslaman, orang yang berjumpa dengan Rasul
tapi tidak dalam keadaan muslim kemudian setelah Rasulullah wafat dia
masuk Islam maka tidak dinamakan sahabat tapi mukhathab, orang yang
murtad pada zaman nabi setelah masuk Islam tidak dinamakan sahabat
[3] Menimbang kata kata dalam bahasa Arab.
[4]
Asbabun nuzul surat Al-Maidah ayat 44 ini diriwayatkan oleh Ahmad dan
Muslim dan lainnya yang bersumber dari Al-Barra bin Azib : Bahwa di
depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam orang-orang Yahudi membawa seorang hukuman yang dijemur dan dipukuli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam memanggil mereka dan bertanya: “Apakah demikian hukuman terhadap orang berzina yang kalina dapati di dalam kitab kalian?”. Mereka menjawab: “Ya”. Kemudian Rasul memanggil seorang ulama mereka dan bersabda: “Aku
bersumpah atas nama Allah yang telah menurunkan Taurat kepada Musa,
apakah demikian kamu dapati hukuman kepada orang yang berzina di dalam
kitabmu?”. Ia menjawab: “Tidak, demi Allah jika engkau tidak
bersumpah lebih dahulu tidak akan kuterangkan, bahwa hukuman bagi orang
yang berzina di dalam kitab kami adalah dirajam (dilempari batu sampai
mati). Akan tetapi karena banyak pembesar-pembesar kami yang melakukan
zina, maka kami biarkan, dan apabila seorang hina berzina kami tegakkan
hukum sesuai dengan kitab. Kemudian kami berkumpul dan mengubah hukum
tersebut dengan menetapkan hukum yang ringan dilaksanakan, bagi yang
hina ataupun pembesar yaitu menjemur dan memukulinya”. Bersabdalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam : “Ya Allah, sesungguhnya saya yang pertama menghidupkan perintah-Mu setelah dihapuskan oleh mereka”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menetapkan hukum rajam, dan dirajamlah Yahudi pezina itu. Maka turunlah ayat ini (Al-Maidah ayat 41) sampai dengan “In uti’tum hadza fakhudzuh”.
[5] Hukum ilyatsiq
yaitu hukum atau undang-undang yang di buat oleh Jenghis Khan yang di
susun dari hasil pemikirannya di campur dengan Al Qur’an, Taurat, Injil
dan juga aturan adat.
[6]
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Siapa yang mendatangi tukang ramal (dukun) dan bertanya
kepadanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama empat
puluh malam.” (HR. Muslim)