Tauhid Syarat Diterima Amal
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Amal shalih apapun, baik itu shalat, shaum, zakat, haji, infaq, birrul walidain(berbakti kepada orang tua) dan sebagainya tidak mungkin diterima Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak ada pahalanya bila tidak dilandasai tauhid yang bersih dari syirik.
Berapapun banyaknya amal kebaikan yang dilakukan seseorang tetap
tidak mungkin ada artinya bila pelakunya tidak kufur kepada thaghut,
sedangkan seseorang tidak dikatakan beriman kepada Allah apabila dia
tidak kufur kepada thaghut.
Anda telah mengetahui makna kufur kepada thaghut beserta
thaghut-thaghut yang mesti kita kafir kepadanya. Kufur kepada thaghut
serta iman kepada Allah adalah dua hal yang dengannya orang bisa
dikatakan mukmin dan dengannya amalan bisa diterima, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Siapa yang melakukan amal shalih, baik laki-laki atau perempuan
sedang dia itu mukmin, maka Kami akan berikan kepadanya penghidupan yang
baik serta Kami akan memberikan kepadanya balasan dengan balasan yang
lebih baik dari apa yang telah mereka amalkan” (QS. An Nahl [16]: 97).
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan pahala
amal shalih hanya bagi orang mukmin, sedang orang yang suka membuat
tumbal, sesajen, meminta kepada orang yang sudah mati atau mengusung
sekulerisme, liberalisme, demokrasi atau nasionalisme dan falsafah
sistem syirik lainya, dia bukanlah orang mukmin, tetapi dia musyrik,
karena tidak kufur kepada thaghut, sehingga shalat, shaum, zakat dan
ibadah lainnya yang dia lakukan tidaklah sah dan tidak ada pahalanya.
Juga Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ سَيِّئَةً فَلا يُجْزَى إِلا مِثْلَهَا وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Siapa yang melakukan amal shalih, baik
laki-laki atau perempuan sedangkan dia mukmin, maka mereka masuk surga
seraya mereka diberi rizqi di dalamnya tanpa perhitungan” (QS. Ghafir/Al Mukmin[40]: 40)
Di dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan
pahala masuk surga bagi orang yang beramal shalih dengan syarat bahwa
dia mukmin, sedangkan para pendukung Pancasila, Demokrasi, dan Undang
Undang Dasar buatan tidaklah dikatakan mukmin, karena tidak kufur kepada
thaghut, tapi justeru dia adalah hamba thaghut.
Juga dalam firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
“Dan siapa yang melakukan amalan-amalan shalih baik laki-laki
atau perempuan, sedang dia itu mukmin, maka mereka masuk surga dan
mereka tidak dizhalimi barang sedikitpun” (QS. An Nisaa’ [4]: 124)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan pahala
surga bagi orang yang beramal shalih, dengan syarat dia mukmin,
sedangkan aparat thaghut, hamba demokrasi, hamba Pancasila, Undang
Undang Dasar buatan dan Pemerintah kafir, maka mereka itu bukan mukmin,
karena tidak kafir terhadap thaghut, bahkan mereka menjadi pelindung dan
benteng thaghut.
Juga firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلا يَخَافُ ظُلْمًا وَلا هَضْمًا
“Dan siapa yang melakukan amal-amal shalih sedang dia itu mukmin,
maka dia tidak takut dizhalimi dan tidak pula takut akan dikurangi” (QS. Thaha [20]: 112)
Ini berbeda dengan orang musyrik dan kafir, dia tidak dapat apapun dari amal shalih yang dia kerjakan.
Juga firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلا كُفْرَانَ لِسَعْيِهِ وَإِنَّا لَهُ كَاتِبُونَ
“Dan siapa yang melakukan amal shalih, sedang dia itu mukmin,
maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya dan sesungguhnya Kami
tuliskan bagi dia apa yang dia lakukan” (QS. Al Anbiya [21]: 94)
Sedangkan para penguasa sistem syirik dan para pejabatnya serta para
anggota parlemennya bukanlah orang mukmin tetapi mereka adalah Thaghut.
Semua ayat mengisyaratkan iman untuk diterimanya amal shalih,
sedangkan para penyembah kuburan atau batu atau pohon keramat atau
pengusung demokrasi atau hukum buatan manusia atau falsafah syirik
(seperti Pancasila, dan Undang Undang Dasar buatan) atau aparat keamanan
penguasa thaghut bukanlah orang yang kafir terhadap thaghut.
Jadi, kemanakah amalan-amalan yang mereka lakukan? Maka jawabannya ; hilang, sirna lagi sia-sia, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Sungguh, bila kamu berbuat syirik maka hapuslah amalanmu, dan sunguh kamu tergolong orang-orang yang rugi” (QS. Az Zumar [39]: 65)
Amalan-amalan yang banyak itu hilang sia-sia dengan satu kali saja
berbuat syirik, maka apa gerangan apabila orang tersebut terus-menerus
berjalan di atas kemusyrikan, padahal ayat ini ancaman kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mungkin berbuat syirik. Dan
begitu juga para nabi semuanya diancam dengan ancaman yang sama. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan bila mereka berbuat syirik, maka lenyaplah dari mereka apa yang pernah mereka amalkan” (QS. Al An’am [6]: 88)
Ya, lenyap bagaikan debu yang disapu angin topan, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ
“Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka (orang-orang musyrik/ kafir) adalah bagaikan debu yang diterpa oleh angin kencang di hari yang penuh badai” (QS. Ibrahim [14]: 18)
Dalam ayat ini Allah serupakan amalan orang-orang kafir dengan debu,
dan kekafiran/kemusyrikan diserupakan dengan angin topan. Apa jadinya
bila debu diterpa angin topan…? tentu lenyaplah debu itu.
Allah juga mengibaratkan amalan orang kafir itu dengan fatamorgana:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ
“Dan orang-orang kafir amalan mereka itu bagaikan fatamorgana di
tanah lapang, yang dikira air oleh orang yang dahaga, sehingga tatkala
dia mendatanginya ternyata dia tidak mendapatkan apa-apa, justeru dia
mendapatkan (ketetapan) Allah disana kemudian Dia menyempurnakan
penghisaban-Nya” (QS. An Nur [24]: 39)
Orang yang musyrik di saat dia melakukan shalat, zakat, shaum, dan
sebagainya, mengira bahwa di sisi Allah pahalanya banyak, tapi ternyata
saat dibangkitkan dia tidak mendapatkan apa-apa melainkan adzab!
Dalam ayat lain amalan-amalan mereka itu bagaikan debu yang bertaburan:
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami hadapkan apa yang telah mereka kerjakan berupa amalan, kemudian Kami jadikannya debu yang bertaburan” (QS. Al Furqan [25]: 23)
Sungguh… sangatlah dia merugi sebagaimana dalam ayat lain:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا (١٠٣) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah, “Apakah kalian mau kami beritahukan kepada kalian
tentang orang-orang yang paling rugi amalannya, yaitu orang-orang yang
sia-sia amalannya dalam kehidupan di dunia ini, sedangkan mereka mengira
bahwa mereka melakukan perbuatan baik?” (QS. Al Kahfi [18]: 103-104)
Ya, memang mereka rugi karena mereka lelah, capek, letih, berusaha
keras, serta berjuang untuk amal kebaikan, tapi ternyata tidak mendapat
apa-apa karena tidak bertauhid. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ (٣) تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً
“Dia beramal lagi lelah, dia masuk neraka yang sangat panas” (QS. Al Ghasyyiah [88]: 3-4).
Ini (tauhid) adalah syarat paling mendasar yang jarang diperhatikan
oleh banyak orang. Masih ada dua syarat lagi yang berkaitan dengan
satuan amalan, yaitu ikhlash dan mutaba’ah. Dan berikut ini adalah penjelasan ringkasnya:
1. Ikhlash
Orang yang melakukan amal shaleh akan tetapi tidak ikhlas, namun
justeru dia ingin dilihat orang atau ingin didengar orang, maka
amalan-amalan itu tidak diterima Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka
hendaklah dia beramal shalih dan tidak menyekutukan sesuatupun dalam
ibadah kepada Tuhannya” (QS. Al Kahfi [18]: 110)
Ayat ini berkenaan dengan ikhlas, jadi orang yang saat melakukan amal
shalih dan dia bertujuan kepada yang lain di samping kepada Allah, maka
ia itu tidak ikhlas.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits qudsiy:
“Bahwa Allah berfirman: “Aku adalah yang paling tidak butuh akan
sekutu, siapa yang melakukan amalan dimana dia menyekutukan yang lain
bersamaKu dalam amalan itu, maka Aku tinggalkan dia dengan
penyekutuannya” (HR. Muslim)
2. Mutaba’ah (sesuai dengan tuntunan Rasul)
Amal ibadah meskipun dilakukan dengan ikhlash akan tetapi jika tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka pasti ditolak.
Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang melakukan amalan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka itu tertolak” (HR. Muslim)
Beliau Shalallahu‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Jauhilah hal-hal yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat” (HR. At Tirmidzi)
Sedikit amal tapi di atas sunnah adalah lebih baik daripada banyak amal dalam bid’ah. Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata: “Ikutilah (tuntunan Rasulullah) dan jangan mengada-ada yang baru”
Jadi, dalam urusan ibadah, antum harus bertanya pada diri sendiri:
“Apa landasan atau dalil yang engkau jadikan dasar? Karena siapa engkau
beramal ?” Apabila tidak mengetahui dasarnya maka tinggalkanlah amalan
itu karena hal itu lebih selamat bagi kita.