Syarat-Syarat Laa Ilaaha Illallah
(Syuruth Laa ilaaha illallah)
Syarat-syarat Laa ilaaha illallah adalah :
- Al-ilmu
Yaitu mengetahui maknanya baik dari sisi penafian dan penetapan,
tidak sah syahadat seseorang jika tidak mengetahui makna Laa ilaaha
illallah. Ilmu itu adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan apa yang
sebenarnya dengan pengetahuan yang pasti. Dalil syarat Laa ilaaha
illallah harus mengilmunya sebagaimana firman Allah Ta’ala :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah
(sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan
bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah
mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (Muhammad : 19)
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang haq (tauhid) dan mereka mengetahui(nya).” (az-Zukhruf : 86).
Al-Haq disini yaitu “Laa ilaaha illallah”, “sedangkan mereka mengetahui” yaitu mereka mengetahui dengan hati mereka makna dan hakikat apa yang mereka ucapkan dengan lisan mereka.
Dan dari as-Sunnah, hadits shahih dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
من مات وهو يعلم ان لا اله الا الله دخل الجنة
“Barangsiapa mati sedangkan dia mengetahui bahwa tidak ada ilaah yang berhaq di ibadati kecuali Allah maka dia masuk surga.” (HR. Muslim)
Seandainya dia mengetahui secara sempurna dan mengamalkan konsekuensi
secara sempurna maka dia otomatis masuk surga. Tapi jika tidak secara
sempurna mengamalkannya dan tidak menggugurkan perkara yang pokoknya,
maka dia masuk surga terakhir, karena banyak kekurangan maka di adzab
dahulu sesuai dengan kadar dosa yang dia lakukan atau sesuai kehendak
Allah Ta’ala.
Kalimat yang Agung iniلا اله الا الله memiliki dua rukun yaitu an-nafyu (penafian) dan itsbat (penetapan). Yang di maksud an-nafyu (لا اله) yaitu menafikan semua yang di ibadati selain Allah atau pengosongaan. Dan al-itsbat (الا الله) yaitu menetapkan seluruh macam ibadah hanya kepada Allah saja tidak ada sekutu baginya.
Penafian murni saja bukanlah tauhid, penetapan murni saja itu pun
bukanlah tauhid, tauhid itu harus menggabungkan antara keduanya. Makna
لا اله الا الله yaitu tidak ada yang berhaq di ibadati kecuali Allah,
atau tidak ada yang berhak terhadap segala peribadatan ini tanpa
disertai lainnya kecuali hanya Allah Ta’ala.
- Al-Yaqin
Yaitu kesempurnaan ilmu terhadapnya yang menafikan keraguan dan
kebimbangan. Orang yang mengatakannya (Laa ilaaha illallah) harus
meyakini terhadap apa yang ditunjukkan oleh kalimat ini dengan keyakinan
yang mantap tanpa keraguan dan tanpa tawakkuf, karena keimanan tidak
bermanfaat di dalamnya kecuali keyakinan bukan keraguan. Maka bagaimana
jika dimasuki syak? kita berlindung kepada Allah dari keraguan[1] dan syak.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang
yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak
ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka
pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (al-Hujurat : 15)
Allah mensyaratkan kebenaran iman mereka kepada Allah dan Rasul-Nya
itu tanpa adanya keraguan, adapun kalau ragu-ragu maka termasuk kedalam
munafiqin.
Dan dari as-Sunnah, dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
“أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ ، لا يُلْقَى بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلا دَخَلَ الْجَنَّةَ ” . أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
“Saya bersaksi bahwa tidak ada ilaah yang berhaq di ibadati
kecuali Allah dan bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah, tidak seorang
hambapun berjumpa dengan Allah dengan membawa dua kalimat ini yang dia
tidak ragu di dalamnya melainkan dia itu masuk surga” (HR. Muslim).
- Al-Ikhlas, yang menafikan kemusyrikan.
Ikhlas secara bahasa yaitu memurnikan sesuatu dan meng-Esakannya
serta menjauhkannya dari segala yang mengotori. Hakikat ikhlas itu
adalah memurnikan maksud mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dari
segala kotoran-kotoran kemusyrikan.
Dalil ikhlas firman Allah Ta’ala :
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (az-Zumar : 3)
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian itulah agama yang lurus.” (al Bayyinah : 5).
Dan dari as-Sunnah dari Abi Hurairah radhiyallah ‘anhu dari Rasulullah bersabda :
إِنَّ أَسْعَدَ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ : لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ
“Orang yang paling bahagia dengan syafa’atku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah murni dari lubuk hatinya”. (HR. Bukhari, No. 199)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Pokok Islam itu adalah saya bersaksi bahwa tidak ada ilaah yang berhaq di ibadati kecuali Allah dan bahwa Muhammad itu Rasulallah, barangsiapa mencari riya’ dan sum’ah didalam peribadatan kepada Allah maka dia tidak merealisasikan syahadat Laa ilaah illallah”
- Ash-Shidqu (Jujur), yang menafikan kebohongan
Jujur itu keselarasan ucapan dengan realita,[2]
harus mengucapkannya. Jujur dari lubuk hatinya. Hatinya selaras dengan
lisannya, adapun kalau dia mengucapkan secara dlahir padahal bathinnya
bohong maka dia munafiq. Nifaq itu menampakkan keimanan dan
menyembunyikan kekafiran. Allah Ta’ala berfirman :
الم . أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ . وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif laam miim. Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan
hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji?
Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah
pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang
yang dusta.” (al-Ankabut : 1-3).
Ujian itu yang akan menampakkan kejujuran dan kebohongan. Dan dalam kitab Shahihain dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ ، إِلَّا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ
“Tidak seorangpun bersyahadat Laa ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah dengan jujur dari lubuk hatinya maka Allah haramkan neraka dari orang tersebut.” (HR. Bukhari)
- Al-Mahabbah (Kecintaan)
Al-mahabbah itu kecenderungan hati kepada sesuatu yang tentram dan
bahagia dengannya, yaitu mencintai kalimat tauhid dan apa yang
ditunjukkannya. Sehingga ketika ada apapun yang menimpanya tetap
komitmen karena adanya ketentraman dengan kalimat tauhid tersebut.
Lawan mahabbah itu al-karahiyah (kebencian) yaitu jauhnya hati dan tidak tenang dengan tauhid ini. Dalil mahabbah, Allah Ta’ala berfirman :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu
mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa
kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat
siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (al-Baqarah : 165), Andad yaitu segala sesuatu yang memalingkan dari AllahTa’ala.
Dan dari sunnah dalam kitab Shahihain dari Anas radliyallahu ‘anhu :
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Tiga perkara jika itu ada pada seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman; orang yang mana Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang yang ia tak mencintainya kecuali karena Allah, dan
benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya
dari kekafiran tersebut sebagaimana ia benci untuk masuk neraka.” (HR. Muslim No. 60).
Imam Bukhari mengambil faedah dari hadits ini bahwa kekafiran itu bandingannya neraka, maka tidak ada rukhshah dalam kekafiran kecuali karena adzab (ikrah/dalam keadaan terpaksa).
- Al-Inqiyad (ketundukan) lawannya at-Tark (meninggalkan)
Secara bahasa yaitu tunduk dan menghinakan diri, saya menundukkannya
dan dia tunduk dan dia menundukkan diri kepadaku hingga dia menyerahkan
ketundukkan. Maknanya tunduk kepada Laa ilaaha illallah dan terhadap apa
yang dituntut olehnya baik dlahir dan bathin dengan ketundukan yang
menafikan sikap meninggalkan. Dan juga berserah diri kepada Allah dengan
tauhid dan dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa salam
dengan ketaatan, yaitu dengan mengamalkan apa yang Allah wajibkan dan
meninggalkan apa yang Allah haramkan serta komitmen dengan hal tersebut,
orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah tidak akan mengambilkan
manfaat kecuali dengan ketundukan seperti ini. Allah Ta’ala berfirman ;
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Dan barangsiapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang
yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada
buhul (tali) yang kokoh” (Luqman : 22)
Berkata Ibnu ‘Abbas dan ibnu Zubair al ‘urwah al wusqa yaitu Laa ilaaha illallah.
- Al-Qabul (menerima) menafikan Rad (penolakan)
Ridla dengan segala sesuatu, yaitu maksudnya menerima Laa ilaaha
illallah dan apa yang dituntutnya dan makna yang ditunjukkan olehnya
yaitu menerima dengan hati lisan dan anggota badan dengan penerimaan
yang menafikan penolakan. Dimana dia tidak menolak kalimat ini dan juga
tidak menolak dari sesuatupun konsekuensi-konsekuensinya, Karena
syahadat itu bisa diucapkan oleh orang yang mengetahui maknanya akan
tetapi dia tidak menerima sebagian konsekuensinya baik karena kibr
(sombong), hasad atau karena hal lainnya maka orang macam initidak
merealisasikan syarat penerimaan Laa ilaaha illallah ini.
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Sesungguhnya demikianlah Kami berbuat terhadap orang-orang yang
berbuat jahat. Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada
mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah
melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: “Apakah
sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena
seorang penyair gila?” (ash-Shaffat: 35-36)
Jadi harus menerima kalimat ini dengan hati dan lisan, barangsiapa
tidak menerimanya dan menolaknya serta menyombongkan diri darinya maka
dia kafir seperti orang-orang kafir quraisy menolaknya karena
pembangkangan dan menyombongkan diri.