Bid’ah secara bahasa yaitu membuat sesuatu tanpa ada contoh
sebelumnya. Berkata Abul Baqoo’ al-Kufawiy, “Setiap amalan yang tidak
ada contoh sebelumnya, maka itu adalah bid’ah” (al-Kuliyaat), hal ini
sebagaimana firman Allah Ta’ala :
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah Pencipta langit dan bumi” (al-Baqarah : 117), Yaitu
Allah-lah yang menciptakan keduanya (langit dan bumi) tanpa adanya
contoh sebelumnya. Dan juga Allah Ta’ala berFirman ;
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara rasul-rasul.” (Al Ahqaf : 9), maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini.
Bid’ah secara istilah, al Imam asy-Syathibi rahimahullah berkata :
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
“Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan
menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan
(adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu
untuk mendekatkan diri pada Allah).” (Al I’tisham)
Adapun penjelasan mengenai hal ini
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ (suatu jalan dalam agama) yaitu yang keluar
dari perkara-perkara duniawiyah ataupun kebiasaan-kebiasaan (adat
istiadat). Yang dimaksud disini adalah, jika ada perkara-perkara yang
baru dalam perkara duniawiyah atau adat istiadat yang tidak menyelisihi
syari’at maka itu bukanlah bid’ah. Sebagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
“…kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Muslim)
مُخْتَرَعَةٍ (yang dibuat-buat ) yaitu perkara-perkara yang baru dan di ada-adakan.
Ibadah adalah perkara yang haram sampai ada dalil yang menjelaskannya, sebagaimana dalam satu kaedah :
الأصل في العبادات الحظرالا ما ورد عن الشارع تشريعه
Hukum asal suatu ibadah adalah terlarang, sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa ibadah tersebut disyari’atkan.
تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ (menyerupai Syari’at atau ajaran Islam) yaitu menyerupai tata cara syar’iyyah.
يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ (sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah))
yaitu pelakunya menganggap apa yang dilakukannya adalah dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala sebagaiman itu merupakan tata cara
yang di tetapkan oleh syari’at.
Para pelaku bid’ah ini menganggap apa yang dilakukannya adalah satu
ibadah yang dicintai Allah. Padahal Ibadah tidaklah diterima kecuali
dengan dua syarat yaitu ikhlas (mentauhidkan Allah) dan ittiba’ (sesuai dengan tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam). Allah Ta’ala berfirman :
لِيَبْلُوَكُمْأَيُّكُمْأَحْسَنُعَمَلًا
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al Mulk : 2),
Fudlail ibnu ‘Iyadl rahimahullah mengatakan, “Yaitu amalan yang paling ikhlas dan paling shawab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam),” lalu berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam)
Dan juga firman-Nya :
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآَهُ حَسَنًا
“Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik
pekerjaannya yang buruk lalu Dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama
dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)?” (Fathir : 8)
Sufyan ats Tsauri rahimahullah mengatakan, “Bid’ah itu lebih
disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat
itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat”.
Dan bid’ah adalah menciptakan kembali perkara baru dalam diin, sedangkan Allah Ta’ala telah menyempurnakan Dinul Islam
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu.” (al-Maidah : 3)
Bid’ah telah keluar dari jalan orang-orang beriman, yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam sebagaimana Allah Ta’ala berfirman ;
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang
lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya.
Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (al-An’am : 153)
Shirathol mustaqim (jalan yang lurus) yaitu jalan Allah yang telah dijelaskan melalui sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, sedangkan as-subul
(jalan-jalan) yaitu jalan-jalan orang yang menyelisihi dan menyimpang
dari jalan yang lurus, dan mereka adalah ahlul bid’ah. Jalan kebenaran
itu hanya satu, yaitu sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan
jalan kesesatan dan kekafiran itu banyak dan bercabang.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baik (suatu bid’ah) maka berarti dia telah membuat syari’at”. (al-Ibhaj fii syarah al-Minhaj, Juz 2 hal. 448)
Dan bukanlah yang dimaksudkan adalah jalan-jalan kemaksiatan, karena
bahwasanya perbuatan maksiat itu dari manapun dia itu adalah tetap
maksiat yang sama sekali tidak menempatkannya pada jalan yang selalu
menunjukkan penyerupaan terhadap syari’at atau ajaran Islam. Dan ini
(surah al-An’am 153) adalah penjelasan khusus mengenai perkara bid’ah
dan yang di ada-adakan. Dalil atas hal ini sebagaimana yang diriwayatkan
‘Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata :
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ، ثُمَّ قَالَ : “ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ “ ، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ ، وَقَالَ : “ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ “ وَقَرَأَ : “ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ
“Suatu saat Rasulullah (shallallahu ’alaihi wa sallam) menggaris suatu garis lurus dengan tangannya, kemudian bersabda, “Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Kemudian beliau membuat beberapa garis di kanan dan kirinya, lalu bersabda, “Ini adalah jalan-jalan, disetiap jalan ini terdapat syaithan yang menyeru kepadanya.” Kemudian beliau membaca ayat ini (Sesungguhnya ini adalah jalan–Ku yang lurus, maka ikutilah dia).” (HR. Ahmad)
Dan Mujahid berkata mengenai ayat Allah “dan janganlah kalian mengikuti jalan–jalan” yaitu adalah bid’ah dan syubhat.
Dan dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda ;
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini
(urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan dalam riwayat yang lain ;
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)
Dalam Shahih Muslim di jelaskan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berkhutbah dan dalam khutbahnya beliau bersabda ;
وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَة
“Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan,
setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap
bid’ah adalah kesesatan.” Dan dalam riwayat an-Nasa`i ada tambahan ;
وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ
“dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”
Ibnu Mash’ud radhiyallahu ‘anhu berkata :
اَلْإِقْتِصَادُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الْإِجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ
“Sederhana dalam melakukan sunnah lebih baik daripada bersungguh-ungguh dalam melaksanakan bid’ah.”
Pasal
Dan bid’ah ada tiga macam ;
- Bid’ah I’tiqodiyah
Yaitu bid’ah yang kaitannya dengan keyakinan seperti bid’ah ta’thil, bid’ah Qadariyah dan bid’ah Jabariyah serta seluruh kelompok bid’ah lainnya.
Adapun bid’ah ta’thil (mengosongkan dan meninggalkan), yang
dimaksud yaitu mereka mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah yang
telah Allah tetapkan untuk Diri-Nya, baik mengingkari keseluruhan maupun
sebagian, baik dengan men-tahrif (mengubah) maknanya maupun menolaknya.
Sifat Allah itu lebih banyak dari pada Nama-Nya, karena setiap Asma
(nama) Allah memiliki sifat Seperti Allah memiliki nama as-Sami’ (Maha
Mendengar) dan sifatnya as-Sam’u (mendengar), Allah memiliki nama
al-Bashir (Maha Melihat) maka sifatnya al-Bashar (mendengar), Allah
memiliki nama al-Qadiir (Maka Kuasa) sifatnya al-Qudrah. Tapi tidak
setiap sifat Allah itu memiliki asma (nama), karena Allah memiliki
sifat-sifat yang kaitannya dengan sifat khabariyah seperti
Allah memiliki Tangan, Allah Marah, Allah Mela’nat dan Allah Tertawa.
Nama Allah-pun tidak diketahui jumlahnya secara pasti hanya Allah yang
mengetahui jumlahnya. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala :
ﻭَﻟِﻠّﻪِ ﺍﻷَﺳْﻤَﺎﺀ ﺍﻟْﺤُﺴْﻨَﻰ ﻓَﺎﺩْﻋُﻮﻩُ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﺫَﺭُﻭﺍْ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﻠْﺤِﺪُﻭﻥَ ﻓِﻲ ﺃَﺳْﻤَﺂﺋِﻪِ
“Hanya milik Allah nama-nama (asmaul husna), maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut nama-nama (asmaul husna) itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran.” (al- A’raf : 180)
قُلْادْعُوااللَّهَأَوْادْعُواالرَّحْمَنَأَيّاًمَاتَدْعُوافَلَهُالأَسْمَاءُالْحُسْنَى
“Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama
yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaulhusna (nama-nama yang
terbaik)” (al-Isra’ : 110)
Nama Allah tidak dibatasi hanya sembilan puluh sembilan nama saja sebagaimana Rasul bersabda ;
إِنَّلِلهِتَعَالَىتِسْعَةًوَتِسْعِيْنَاسْمًامَنْأَجْصَاهَادَخَلَألْجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, barangsiapa hafal nama-nama (Allah) tersebut akan masuk Surga” (HR. Muslim)
Yang dimaksud hadits ini adalah bahwa sembilan puluh sembilan itu
bukan batasan jumlah Nama-Nya, melainkan Allah memiliki sembilan puluh
sembilan nama yang barangsiapa menghafalnya akan masuk surga. Allah
menjelaskan nama-nama-Nya melalui Kitab-Nya atau melalui utusan-Nya, dan
memiliki nama-nama yang tidak di ketahui oleh manusia dan hanya di
ketahui oleh-Nya saja, dalam hadits yang panjang disebutkan
اللَّهُمَّ إِنَّا عَبِيْدُكَ، بَنُو عَبِيْدِكَ، بَنُو إِمَائِكَ، نَوَاصِيْنَا بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيْنَا حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيْنَا قَضَاؤُكَ، نَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ،
“Ya Allah, kami adalah hamba-hamba-Mu, anak-anak dari
hamba-hamba-Mu, anak-anak dari hamba-hamba wanita-Mu, ubun-ubun kami di
tangan-Mu, hukum-Mu berlaku kepada kami, ketetapanmu berlaku kepada kami
dengan adil, kami memohon kepada-Mu dengan semua nama-nama indah-Mu
yang Engkau menamakan diri-Mu dengannya, atau Engkau turunkan di
Kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada seseorang dari hamba-Mu, atau Engkau menyimpannya di ilmu ghoib di sisi-Mu.”
Mempertanyakan bagaimana sifat Allah adalah satu kebid’ahan, seperti
mempertanyakan tangan Allah. Barangsiapa yang mengingkari sifat-sifat
Allah seperti al-Haya, al-‘ilmu, al-Khalqu, al-Qadru atau yang berkaitan dengan Rububiyah
Allah maka dia telah kafir baik hujjah sudah tegak terhadap dia ataupun
belum. Karena ini termasuk permasalahan yang diketahui secara pasti
dalam diin atau permasalahan dlahirah, yang mana orang yang berakal lagi
mukallaf tidak boleh tidak tahu mengetahui hal ini.
Bid’ah Qadariyah, yaitu mereka ini adalah
orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka
meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas atau kehendak sendiri dan
kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan
Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di
akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat radhiyallahu ‘anhum.
Allah Ta’ala berfirman bahwa Dia-lah yang menciptakan makhluk dan perbuatannya.
وَٱللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (As Shaffat : 96)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “…Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim).
Kelompok Qadariyah ekstreem telah jatuh kepada kekafiran karena
mereka telah mengingkari ilmu Allah, inilah pendapat Imam Syafi’iy dalam
kitab at-Tibyan dan juga pendapat Imam Ahmad. Iman kepada taqdir adalah
salah satu rukun dari rukun-rukun iman, Jibril ‘alaihissalam pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai iman, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنُ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قُلْتُ
“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya,
Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir serta Qadha’ dan Qadar,
yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim (VIII/1, IX/5))
Ahlussunnah meyakini bahwa iman kepada taqdir meliputi empat perkara,[1] yaitu
- Meyakini bahwa Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu.
- Meyakini bahwa Allah mencatat segala sesuatu itu.
- Meyakini bahwa Allah menghendakinya dimana tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan atas kehendak Allah.
- Meyakini bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dan segala sesuatu adalah ciptaan Allah.
Keyakinan kelompok Qadariyah ini sama dengan aqidah agama Majusi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam telah mengabarkan,
لِكُلِّ أُمَّةٍ مَجُوسٌ ومَجُوسُ أُمَّتِي الَّذِينَ يَقُولُونَ: لَا قَدَرَ، إِنْ مَرِضُوا فَلَا تَعُودُوهُمْ ، وَإِنْ مَاتُوا فَلَا تَشْهَدُوهُمْ
“Masing-masing umat mempunyai orang-orang Majusi, dan Majusi
ummatku adalah orang-orang yang berkata, “Tidak ada takdir”. Bila mereka
sakit, janganlah kalian menjenguknya. Bila mereka mati, janganlah
kalian hadiri jenazahnya.” (HR. Ahmad)
Dalam riwayat lain :
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ” لِكُلِّ أُمَّةٍ مَجُوسٌ وَمَجُوسُ هَذِهِ الأُمَّةِ الَّذِينَ يَقُولُونَ لاَ قَدَرَ مَنْ مَاتَ مِنْهُمْ فَلاَ تَشْهَدُوا جَنَازَتَهُ وَمَنْ مَرِضَ مِنْهُمْ فَلاَ تَعُودُوهُمْ وَهُمْ شِيعَةُ الدَّجَّالِ وَحَقٌّ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُلْحِقَهُمْ بِالدَّجَّالِ.”
“Dari Hudzaifah radliyallahu ‘anhu, beliau berkata, berkata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Bagi setiap ummat ada Majusinya. Majusi ummat ini adalah
mereka yang tidak percaya pada taqdir. Kalau mereka mati jangan
dijiarahi, dan jika sakit jangan dijenguk, mereka adalah “partai
dajjal”, memang ada hak bagi tuhan untuk mengaitkan mereka dengan dajjal.” (HR. Abu Daud, No. 4694)
Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarah Muslim, “Sebab
mereka dicap Majusi karena mereka menetapkan adanya dua Khaliq (yang
menjadikan), yang baik dijadikan oleh Allah dan yang buruk dijadikan
oleh manusia, sebab orang Yahudi beranggapan bahwa yang baik dibuat dari
cahaya dan yang buruk terbuat dari kegelapan.”
Bid’ah Jabariyah yaitu berkeyakinan bahwa manusia tidak
mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Faham Jabariyah
dicetuskan pertama kali oleh Ja’ad Ibn Dirham, dan dikembangkan oleh
Jahm bin Safwan. Faham Jabariyah, ketika mereka melakukan pencurian atau
meminum khamr atau bahkan melakukan kesyirikan itu selalu berdalih
bahwa apa yang dilakukannya adalah kehendak Allah karena mereka tidak
mampu berbuat apa-apa.
Khalifah Umar Bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah menagkap
seseorang yang ketahuan mencuri ketika diinterogasi pencuri itu berkata
“Tuhan telah menentukan aku mencuri” mendengar ucapan itu, Umar radhiyallahu ‘anhu
marah dan menganggap orang itu berdusta pada Allah oleh karena itu Umar
memberikan dua hukuman kepada pencuri itu, pertama potong tangan karena
mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Allah. Qadla
dan Qadar itu bukanlah paksaan dari Allah, ada pahala dan siksa sebagai
balasan amal perbuatan manusia. Ada ancaman dan janji Allah terhadap
segala sesuatu yang di lakukan oleh manusia. Allah Ta’ala berkalam :
جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan,” (Al-Waqiah : 24).
يَا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ
“Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan.” (Ash-Shaff : 2.)
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلا
“Sungguh orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan untuk mereka disediakan Surga Firdaus sebagai tempat tinggal.” (Al-Kahfi : 107).
Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Mujabbir secara bahasa
yaitu terjadinya sebuah perbuatan yang tidak diinginkan sama sekali dan
juga bukan tujuan dari pelakunya. Maka dari definisi diatas kita dapat
menarik kesimpulan bahwa mazhab Jabariyah adalah mazhab bathil. Karena
dari bergeraknya, usahanya, tujuannya si pelaku, itu menunjukkan bahwa
perbuatan tersebut bukan perbuataan yang dipaksa, justru perbuatan itu
disebut perbuatan ikhtiyari.” (al-Fashl, 3/24)
Kelompok Jabariyah terpecah menjadi beberapa sekte dan yang ghuluw
lagi ekstrem adalah yang apa yang di bawa oleh Jahm bin Safwan, sehingga
para pengikutnya disebut dengan kelompok Jahmiyah yang di nisbatkan
kepada Jahm.
- Bid’ah ‘Amaliyah
Bid’ah yang berkaitan dengan mu’amalah, yaitu penetapan satu ibadah
dalam agama ini padahal ibadah tersebut tidak disyariatkan oleh Allah
dan Rasul-Nya. Dan perlu diketahui bahwasanya setiap ibadah yang tidak
diperintahkan oleh Penetap syariat (yakni Allah Ta`ala) baik perintah
itu wajib ataupun mustahab (sunnah) maka itu adalah bid`ah amaliyah dan masuk dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak.” (HR. Muslim)
Karena itulah termasuk kaidah yang dipegangi oleh para imam termasuk Imam Ahmad rahimahullah dan selain beliau menyatakan :
الأصل في العبادات التحريم
“Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil)”
Yakni tidak boleh menetapkan satu ibadah kecuali apa yang
disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Seperti kebid’ahan orang yang
menghidupkan malam nisyfu sya’ban, maulid nabi yang mana awal
kemunculannya pada masa dinasti Syi’ah Fathimiyah, Isra’ Mi’raj dan
lainnya yang banyak dilakukan mayoritas kaum muslimin khususnya di
Indonesia yang tidak di contohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.
- Bid’ah Tarkiyah
Bid’ah dengan meninggalkan sesuatu, yaitu setiap orang yang
meninggalkan sesuatu dari perkara agama atau perkara yang mubah (boleh)
dalam rangka beribadah (dengan niat untuk beribadah) seperti
meninggalkan menikah, atau meninggalkan memakan daging dalam rangka
beribadah.
Pasal
Hukum bid’ah ada dua, yaitu Bid’ah Mukaffiroh dan Bid’ah Mufasiqoh.
- Bid’ah Mukaffirah, yaitu kebid’ahan yang jatuh kepada kekafiran atau menyebabkan kekafiran. seperti bid’ah kelompok Syi’ah Rafidhi dan Jahmiyah.
- Kelompok Syi’ah
Pendiri agama Syi’ah ini adalah Abdullah bin Saba’ Abdullah bin
Saba’. Pendiri agama Syi’ah ini adalah seorang agen Yahudi yang penuh
makar lagi buruk. Ia disusupkan di tengah-tengah umat Islam oleh
orang-orang Yahudi untuk merusak tatanan agama dan masyarakat muslim.
Awal kemunculannya adalah pada akhir masa kepemimpinan Khalifah ‘Utsman
bin ‘Affan. Kemudian berlanjut di masa kepemimpinan Khalifah ‘Ali bin
Abi Thalib.[2]
Syi’ah terpecah menjadi lima sekte yang utama yaitu Kaisaniyyah,
Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima
sekte tersebut lahir sekian banyak cabang-cabang sekte lainnya, satu
sama lain tidak lebih baik karena ajaran mereka telah menyimpang dari
ajaran Islam dan sesat.
Kata Rafidlah berawal ketika masa Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali
bin Abu Thalib dan para pengikutnya. Tatkala Zaid bin ‘Ali muncul di
Kufah di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar
dari sebagian mereka mencela Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Ia pun mengingkari mereka hingga akhirnya mereka (para pengikutnya)
meninggalkannya. Maka beliaupun mengatakan kepada mereka:
رَفَضْتُمُوْنِي؟
“Kalian tinggalkan aku?”
Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidlah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadltumuunii.”[3]
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada
ayahku, siapa Rafidlah itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah
orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar.” (ash-Sharimul Maslul, hlm.
567, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah).
Kelompok Syi’ah yang tetap eksis dan berkembang hingga saat ini yaitu
Syi’ah Rafidhi di Iran, Syi’ah Nushayriy di Suriah, Syi’ah Hautsi di
Yaman, dan Syi’ah Shafawiy di Irak serta di Indonesia di bawah payung
IJABI pimpinan Jalaludin Rahmat yang mana mereka mengkiblat ke Iran.
Tidak ada perbedaan sama sekali di antara mereka karena pokok ajaran
mereka sama. Adapun pokok ajaran Syi’ah yaitu :
- Mereka mengatakan bahwa Allah Ta’ala tidak mengetahui bagian tertentu sebelum terjadi. Dan mereka sifatkan Allah Ta’ala dengan al-Bada’ yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala baru mengetahui sesuatu setelah terjadi. (Dinukil dari kitab Syi’ah wa Tahrifu al-Qur’an oleh Syaikh Muhammad Malullah, halaman 17, nukilan dari kitab al-Anwaaru an-Nu’maaniyyah (I/31) salah satu kitab terpenting Syi’ah).
- Al Qur’an yang sekarang sudah tidak asli.
Mereka juga mengatakan bahwa Al-Qur’an yang ada ditangan kaum
Muslimin dari zaman shahabat sampai hari ini tidak asli lagi. Kecuali
Al-Qur’an mereka yang tiga kali lebih besar dari Kitabullah yang mereka
namakan mushaf Fathimah yang akan dibawa oleh Imam Mahdi.
- Menuhankan Ali bin Abi Thalib radliyallahu ‘anhu.
Ketika mengetahui sekte ini, Beliau radhiyallahu ‘anhu membakar mereka dan membuat parit-parit di depan pintu masjid Bani Kandah untuk membakar mereka. Dan ini adalah ijtihad Ali radhiyallahu ‘anhu.
- Bahwa imam-imam mereka lebih tinggi derajatnya daripada para Malaikat dan para Rasul/Nabi.
Lihatlah apa yang dikatakan Khameini laknatullah ‘alaih, pemimpin
besar agama Syi’ah di dalam kitabnya al-Hukuumatu al-Islamiyyah (hal.
52): “Dan sesungguhnya yang terpenting dari madzhab kami, sesungguhya
imam-imam kami mempunyai kedudukan (maqam) yang tidak bisa dicapai oleh
seorang pun Malaikat yang muqarrab (dekat) dan tidak oleh seorangpun Nabi yang pernah diutus.”
Maksudnya, imam-imam mereka itu (laknatullah ‘alaihim) jauh lebih
tinggi daripara Malaikat dan sekalian Nabi yang pernah diutus. Inilah
salah satu penghinaan terbesar Khameini laknatullah ‘alaih kepada seluruh Malaikat dan para Nabi semuanya.
- Percaya kepada Reinkarnasi.
Di antara i’tiqad Syi’ah yang terpenting dan menjadi salah satu asas agama mereka adalah aqidah raj’ah,
yaitu keyakinan hidup kembali di dunia ini sesudah mati, atau
kebangkitan orang-orang yang telah mati di dunia. Peristiwanya terjadi
ketika Imam Mahdi mereka bangkit dan bangun dari tidur panjangnya yang
sampai sekarang telah seribu tahun lebih (karena selama ini ia
bersembunyi di dalam gua). Kemudian dihidupkanlah kembali seluruh imam
mereka dari yang pertama sampai yang terakhir tanpa terkecuali
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa aalihi wasallam dan
putri beliau Fatimah. Kemudian dihidupkan kembali pula musuh-musuh
Syi’ah yang terdepan yakni Abu Bakar, Umar dan Utsman dan seluruh
shahabat dan seterusnya. Mereka semua akan diadili, kemudian disiksa di
depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam karena telah mendzalimi Ahlul Bait, merampas imamah dan seterusnya. (Lihat kitab mereka, Haqqul Yaqin, Hal. 347).
- Taqiyyah (berdusta).
Berkata Mufid dalam kitabnya Tashhiih al-I’tiqaad, menerangkan pengertian taqiyah
dikalangan Syi’ah, “Taqiyah adalah menyembunyikan kebenaran dan
menutupi keyakinannya, serta menyembunyikannya dari orang-orang yang
berbeda dengan mereka dan tidak menampakkannya kepada orang lain karena
dikhawatirkan akan berbahaya terhadap aqidah dan dunianya.”
Ringkasnya, taqiyah adalah berdusta untuk menjaga rahasia. Bahkan
terkadang mereka berpenampilan seolah-olah mencintai Ahlussunnah,
sehingga semua ini menjadikan orang-orang yang polos di kalangan
Ahlussunnah tertipu dan terpedaya oleh mereka. Syi’ah mensyari’atkan
dusta yang merupakan aqidah yang harus dipercayai dan bahkan masuk dalam
rukun iman, sebagaimana disebutkan dalam kitab mereka : “Kulani menukil
dari Abdullah, ia berkata: Taqwalah atas agamamu dan berhijablah dengan
“taqiyah”, maka sesungguhnya tidak sempurna iman seseorang apabila
tidak berdusta (taqiyah). (Ushulul Kaafi, hal. 483. Al Kaafi merupakan
salah satu kitab pegangan pokok mereka dalam hal aqidah dan agama Syi’ah
Imamiah).
Dengan taqiyah, seakan mereka menunjukkan iltizam-nya tehadap hukum
Islam. Saling menolong dengan dasar cinta dan kasih sayang dengan kaum
Muslimin. Padahal kenyataannya mereka berlepas diri dari kaum muslimin.
Mereka menganggap bahwa Ahlussunnah lebih kafir daripada orang-orang
Yahudi, Majusi dan Musyrik. Mereka juga memandang bahwa mereka tidak
mungkin bertemu dengan kaum muslimin dalam masalah agama.
- Mengkafirkan para shahabat Nabi.
Para imam kaum muslimin telah mengungkapkan bahwa hanya sekedar
membenci para sahabat saja telah kafir. Mereka berdalil dengan firman
Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama
dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia
Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari
bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan
tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan
hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati
orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath : 29).
Imam Malik rahimahullah, dari ayat ini mengambil istinbath
hukum akan kekafiran orang yang membenci para sahabat, dikarenakan
mereka menjengkelkan para sahabat, dan siapa yang menjengkelkan para
sahabat maka dia kafir. Imam Syafi’iy dan lainnya pun menyetujuinya.
(As-Shawa’iqul Muhriqah (317), Tafsir Ibnu Katsir (4/204)).
Jika Imam Malik, dan Imam Syafi’i rahimahullah, serta selain
mereka dari para Imam, mengungkapkan bahwa hanya sekedar membenci para
sahabat adalah kekufuran, maka bagaimana pula dengan mengkafirkan
mereka, melaknat, mencaci, serta menuduh mereka dengan perbuatan keji?!!
- Menolak Hadits-hadits walaupun hadits tersebut shahih yang datang dari Muhaddits Ahlussunnah, seperti Imam Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan yang lainnya. Syi’ah hanya menerima hadis yang diriwayatkan oleh perawi Ahli Bait. Menurut Syi’ah, hadis bukan semata-mata dari Nabi tetapi dari Imam Dua Belas yang maksum.
- Meyakini bahwa darah dan harta orang-orang Ahlussunnah adalah Halal.
- Menghalalkan Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam telah melarang nikah Mut’ah, beliau bersabda :
إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ أَلَا وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya dahulu aku telah mengizinkan kalian untuk menikahi
para wanita secara mut’ah. Ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya
hingga Hari Kiamat.” (HR. ad-Darimi dan Ibnu Majah)
- Rukun Iman Agama Syi’ah
Rukun iman Agama Syi’ah berbeda dengan rukum iman Ahli Sunnah wal-Jamaah, karena rukun iman Syi’ah hanya lima perkara, yaitu:
- Beriman kepada keesaan Allah – (التوحيد)
- Beriman kepada Keadilan – (العدل)
- Beriman kepada Kenabian – (النبوة)
- Beriman kepada Imam – (الامانة)
- Beriman kepada Hari Kiamat – (المعاه)
- Menghina Ummul Mukminin ‘Aisyah radliyallahu ‘anha dengan sebutan pelacur.
Serta masih banyak ajaran kekafiran atau kesyirikan Syi’ah yang mana
ajaran tersebut di anut oleh kelompok Syi’ah pada zaman ini, dan
kesyirikan mereka terus berkembang sesuai dengan fatwa para pendeta
mereka.
Adapun ulama Ahlussunnah baik salaf maupun khalaf telah sepakat akan kekafiran Syi’ah Rafidlah dan sekte-sektenya.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ketika ditanya oleh anak beliau Abdullah bin Ahmad perihal orang yang mencela seorang shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka ia berkata, “Aku tidak memandangnya berada diatas Islam.” (Sunnah, al-Khallal, I/493)
Imam Bukhari mengkafirkan Syi’ah Rafidlah dengan perkataannya:
مَا أُبَالِي صَلَّيْتُ خَلْفَ الْجَهْمِيِّ والرَّافِضِيِّ أَمْ صَلَّيْتُ خَلْفَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، وَلَا يُسَلَّمُ عَلَيْهِمْ، وَلَا يُعَادُونَ، وَلَا يُنَاكَحُونَ، وَلَا يَشْهَدُونَ، وَلَا تُؤْكَلُ ذَبَائِحُهُمْ
“Aku tidak berpikir akan shalat dibelakang seorang Jahmiyyah dan
Syi’ah Rofidlah, atau aku shalat dibelakang Yahudi dan Nashrani.
Sesungguhnya mereka tidak ucapkan salam kepadanya, tidak dijenguk ketika
sakit, dan mereka tidak dinikahi dengan kaum muslimin, dan mereka tidak
boleh memberi kesaksian, dan sesembelihan mereka tidak dimakan.”
(Khalqu Af’aal Al Ibaad hal 33, 125)
Imam Syaukani juga mengkafirkan Syi’ah Rafidlah dengan perkataanya:
إن أصل دعوة الروافض كيد الدين ومخالفة الإسلام وبهذا يتبين أن كل رافضي خبيث يصير كافرًا بتكفيره لصحابي واحد فكيف بمن يكفِّر كل الصحابة واستثنى أفرادًا يسيرة
“Sesungguhnya landasan dakwah Syi’ah Rafidlah adalah membuat tipu
daya dalam agama dan menyelisihi Islam. Maka dengan ini jelaslah bagi
kita bahwasanya setiap orang Syi’ah Rafidlah adalah orang buruk yang
menjadi kafir dikarenakan pengkafirannya terhadap salah satu sahabat
Nabi. Lantas bagaimana jika dia mengkafirkan seluruh sahabat Nabi dan
hanya mengecualikan beberapa jumlah yang sedikit saja ??.” (Natsrul
Jauhar Alaa Hadiits Abii Dzarr hal. 106-116)
Ibnu al-Jauziy rahimahullah (W 597) berkata, “Sikap berlebihan orang-orang Rafidlah dalam mencintai Ali radliyallahu ‘anhu telah
membuat mereka mengarang hadits-hadits palsu yang sangat banyak tentang
keutamaan Ali, yang kebanyakannya malah menjelekkan Ali. Mereka juga
memiliki madzhab-madzhab dalam fikih yang dibuat-buat, khurafat-khurafat
yang menyelisihi ijma’ dalam banyak permasalahan … Keburukan-keburukan
Rafidlah tidak terhitung jumlahnya.” (Talbis Iblis, halaman 136-137).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Allah
mengetahui, dan cukuplah Allah yang Maha Mengetahui, tidak ada dalam
seluruh kelompok yang menisbatkan kepada Islam dengan kebid’ahan dan
kesesatan yang lebih parah dari mereka (orang-orang Syi’ah Rafidlah),
tidak ada yang lebih bodoh, lebih pendusta, lebih zhalim, lebih dekat
kepada kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan, serta lebih jauh dari
hakikat iman melebihi mereka (orang-orang Syi’ah Rafidlah)”. (Minhaj
as-Sunnah, I/160).
Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata, “Orang-orang Rafidlah mengeluarkan kekufuran, celaan terhadap para tokoh shahabat, golongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
para pembela dan penolongnya dibalik nama cinta terhadap Ahli Bait,
fanatisme dan loyalitas terhadap mereka.” (Ighastah al-Lahfan: II/75).
Abdul Qadir al-Baghdadiy rahimahullah berkata, “Mengkafirkan
mereka adalah suatu hal yang wajib, sebab mereka menyatakan Allah
bersifat Al Bada.” (Al Farqu Bainal Firaq, halaman 357).
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Salah satu pendapat
golongan Syi’ah Imamiyah, baik yang dahulu maupun sekarang ialah, bahwa
Al-Qur’an sesungguhnya sudah diubah.”
Kemudian beliau berkata, “Orang yang berpendapat bahwa Al-Qur’an yang
ada ini telah diubah adalah benar-benar kafir dan mendustakan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.” (Al Fashl, 5-40).
Imam Ghazaliy rahimahullah berkata, “Seseorang yang dengan terus terang mengkafirkan Abu Bakar dan Umar radliyallah ‘anhuma,
maka berarti ia telah menentang dan membinasakan ijma’ kaum Muslimin.
Padahal tentang diri mereka (para sahabat) ini terdapat ayat-ayat yang
menjanjikan surga kepada mereka dan pujian bagi mereka serta pengukuhan
atas kebenaran kehidupan agama mereka, dan keteguhan aqidah mereka serta
kelebihan mereka dari manusia-manusia lain.”
Kemudian kata beliau : “Bilamana riwayat yang begini banyak telah
sampai kepadanya, namun ia tetap berkeyakinan bahwa para sahabat itu
kafir, maka orang semacam ini adalah kafir. Karena dia telah mendustakan
Rasulullah. Sedangkan orang yang mendustakan satu kata saja dari ucapan
beliau, maka menurut Ijma’ kaum Muslimin, orang tersebut adalah kafir”.
(Fadhaihul Batiniyyah, halaman 149).
Al-Qadliy ‘Iyadl rahimahullah berkata, “Kita telah
menetapkan kekafiran orang-orang Syi’ah yang telah berlebihan dalam
keyakinan mereka, bahwa para Imam mereka lebih mulia dari pada para
Nabi.”
Beliau juga berkata, “Kami juga mengkafirkan siapa saja yang
mengingkari Al-Qur’an, walaupun hanya satu huruf atau menyatakan ada
ayat-ayat yang diubah atau ditambah di dalamnya, sebagaimana golongan
Batiniyah (Syi’ah) dan Syi’ah Ismailiyah.” (Ar Risalah, halaman 325).
Beliau berkata :
وَكَذَلِك نقطع بتكفير غلاة الرافضة فِي قولهم إنّ الْأَئِمَّة أفضل مِن الْأَنْبِيَاء
“Dan begitu pula kami memastikan kafirnya ghullat Rafidlah tentang
perkataan mereka bahwasannya para imam lebih utama dari para Nabi.”
[Asy-Syifaa bi-Ahwaalil-Mushthafaa, 2/174].
Dan pengkafiran tiap individu mereka adalah wajib serta keharusan
memerangi mereka, karena kekafiran dan kesyirikan yang mereka lakukan
merupakan termasuk perkara yang telah diketahui secara umum dari agama
Islam, yang diketahui baik orang yang ‘alim ataupun awamnya dan tidak
ada udzur terhadap para pelaku syirik akbar. Dimana orang-rafidhoh
menyembah imam mereka, serta merubah al-Qur’an dan berdo’a memohon
kepada imam dan kuburan imam mereka.
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata :
أجمع العلماء على أن من صرف شيئا من نوعى الدعاء لغير الله فقد أشرك ولو قال لا إله إلا الله حمد رسول الله وصلى وصام وزعم أنه مسلم،
“Ulama telah berijma’ bahwa barangsiapa memalingkan sesuatu dari dua
macam doa itu kepada selain Allah maka dia telah musyrik walaupun dia
itu mengucapka Laa ilaaha illallah, menunaikan shalat, shaum serta dia
mengaku muslim.” (Ibthal At Tandid : 76 ).
Imam Al Barbahariy rahimahullah berkata saat menjelaskan prinsif-prinsif yang dianut dan diijmakan Ahlussunnah didalam kitab Syarah As Sunnah poin 49 :
ولايجز احد من اهل القبلة من الإسلام حتى يرد أية من كتاب الله أوشبئامن آثارالرسولصلى الله عليه وسلم او يصلي لغيرالله او يذبح لغيره، فمن فعل شيئا من ذلك فقد وجب عليك أن تخرجه من الإسلام
“Dan tidak seorangpun dari kalangan Ahli Kitab dikeluarkan dari Islam
sampai dia menolak satu ayat dari kitabullah atau suatu dari atsar
(hadits) Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam atau shalat untuk selain
Allah atau menyembelih untuk selainnya. Dan barangsiapa melakukan satu
dari hal itu maka wajib atas dirimu untuk mengeluarkan dia dari Islam.”
Syaikh Muhammad rahimahullah berkata juga :
من آخر ما جرى قصة بني عُبيد ملوك مصر وطائفتهم ، وهم يدَّعون أنهم من أهل البيت ويصلون الجمعة والجماعة ونصبوا القُضاة والمفتين ، وأجمع العلماء على كُفرهم وردتهم وقتالهم وأن بلادهم بلاد حرب ، يجب قتالهم ولو كانوا مكرهين مبغضين لهم .
“Diantara kejadian terakhir adalah kisah banu ubaid para penguasa
mesir dan kroni-kroni mereka (mereka adalah syi’ah fathimiyah), dimana
mereka itu mengaku sebagai Ahlul Bait, mereka juga menunaikan shalat
jama’ah dan jum’ at serta mengangkat para qadli dan mufti, namun
demikian para ulama telah ijma atas kekafiran dan kemurtadan mereka dan
atas keharusan memerangi mereka dan bahwa mereka itu adalah negeri harbi
yg wajib di perangi masyarakatnya itu dipaksa lagi membenci mereka.”
(Tarikh Nejd : 346).
Syaikh Abdullah Aba Bithin rahimahullah berkata :
والأمر الذي دل عليه الكتاب والسنة وإجماع العلماء على أن مثل الشرك بعبارة غير الله أنه كفر فمن إرتكب شيئا من هذا النوع أوحسنه فلا شك بكفره ولابأس بمن تحققت منه أشياء من ذلك أن تقو ل كفر فلان بهذا الفعل ، وبيتن هذا أن الفقهاء يذكرون في باب حكم المرتداأشياء كثرة يصيربها المسلم مرتدا ويفتحون هذا الباب بقولهم من اشرك با الله فقد كفر وحكم أنه يستتاب فإن تاب والا قتل ، والا ستتابة إنما تكون مع معين.
“Dan hal yang ditunjukan oleh Al Kitab, As Sunnah dan ijma’ ulama
adalah bahwa semacam syirik dengan peribadatan kepada selain Allah itu
adalah kekafiran, sehingga barangsiapa melakukan sesuatu dari macam ini
atau menganggapnya bagus maka tidak ada keraguan perihal kekafirannya
dan tidak apa-apa bagi orang yang engkau ketahui pasti ada hal itu
padanya, engkau katakan si fulan telah kafir dengan sebab perbuatan ini,
dan ini dibuktikan bahwa para fuqaha menyebutkan di dalam bab hukum
orang murtad banyak hal yang menjadikan murtad orang muslim dengan
sebabnya, dan mereka memulai bab ini dengan ucapan mereka : Barangsiapa
yangg menyekutukan Allah maka dia telah kafir dan hukumnya adalah di-istitabah (disuruh bertaubat), kemudian bila dia taubat (maka dilepas) dan bila tidak maka dibunuh sedangkan istitabah itu hanyalah terhadap orang mu’ayyan.” (Majmu’ah Ar Rasail wal Masail An Najdiyyah. 1/657).
Orang yang menolak pengkafiran Syi’ah atau menganggap Syi’ah sebagai
bagian dari Islam berarti dia tidak faham hakikat tauhid, hakikat dari
diinul Islam. Dan orang yang tidak mau mengkafirkan Syi’ah atau
menganggap Syi’ah bagian dari Islam adalah kemungkinan dia adalah Syi’ah
yang sedang bertaqiyah. Dan barangsiapa yang tidak mengkafirkan mereka
atau ragu akan kekafiran syi’ah maka dia kafir.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata :
و منهم من ثبت على الشهادتين ولكنه أقر بنبوة مسيلمة ظنا منه أنه أشركه في النبوة لأنه أقام شهود زور ثهدوا له بذلك فصدقه كثير من الناس. و مع ذلك أجمع العلماء على انهم مرتدون ولو جهلوا ذلك و من شك في ردتهم فهو كافر.
“Dan diantara mereka itu ada orang yang tetap diatas dua kalimat
syahadat, akan tetapi dia mengakui kenabian Musailamah dengan anggapan
darinya bahwa Rasulullah menyertakan dia (Musailamah) dalam kenabian,
dikarenakan dia itu mendatangkan para saksi palsu yang bersaksi prihal
kenabiannya sehingga dia dipercayai oleh banyak manusia. Namun demikian
para ulama berijma’ bahwa mereka itu murtad walaupun jahil terhadap hal
itu, dan siapa yang meragukan kemurtadan mereka maka dia kafir.” (Syarah
Sittati Mawadli Minas-Sirah, Majmu’ah Tauhid).
Jika saja orang yang meragukan kemurtadan para pengikut Musailamah
atau yang membenarkan kenabian Musailamah itu di hukumi kafir, lalu apa
gerangan orang yang meragukan kemurtadan yang mengatakan bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu adalah Tuhan, dan mengatakan para Imamah Syi’ah itu kedudukannya sama dengan Rasulullah atau bahkan lebih utama.
- Kelompok Jahmiyah
Benih kemunculan kelompok jahmiyah adalah Ja’d bin Dirham, dia juga
merupakan tokoh dari kelompok Jabariyah. Setelah kematiannya muncullah
Jahm bin safwan dari Khurosan, Jahm Bin Safwan merupakan pendiri
kelompok ini hingga kelompok ini di namakan Jahmiyah yang di nisbatkan
kepada Jahm.
Madzhab mereka adalah campuran seluruh madzhab sesat, madzhab mereka
dalam masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham Jabriyah
menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki
pilihan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah
keimanan madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan
bahwa iman itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan
ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat mereka ialah
pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna imannya dan orang
yang melakukan atau mengatakan kekafiran dengan jelas masih di anggap
seorang mukmin. Dan dalam masalah asma dan sifat adalah menganut paham
Ta’thil, yang meniadaan sifat-sifat Allah dan menyangka bahwa Allah
tidak bisa disifati dengan sifat apa pun, karena pemberian sifat bisa
mengakibatkan penyerupaan dengan makhluk-Nya.[4]
Faham Jahmiyah berkembang di masa Imam Ahmad, dimana pada saat itu
tersebar ajaran Jahmiyah yang mengatakan dan memiliki keyakinan bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk atau fitnah Khalqul Qur’an. Faham ini diyakini
oleh Khalifah ‘Abbasiyyah al-Ma’-mun, dan dia membela perkataan ini.
Para tokoh faham ini memprovokasi Khalifah untuk meyakininya, sehingga
para ulama Islam diuji dengannya dipaksa untuk mengakui dan mengatakan
hal ini jika tidak mau maka mereka akan di siksa dan di penjara. Banyak
ulama Ahlussunnah di bawah ancaman pedang mereka bertaqiyah hingga
akhirnya mengakui bahwa al-Qur’an adalah makhluk, dan yang tersiksa dari
ulama Ahlussunnah yang tetap teguh di atas al-Haq yaitu Imam
Ahlussunnah Ahmad bin Hambal dan Muhammad bin Nuh.
Muhammad bin Nuh enggan bertaqiyah dan lebih memilih untuk tetap di
atas al-Haq, beliau mengatakan “Taqiyyah itu dibolehkan hanya kepada
mereka yang lemah, yang dikhawatirkan tidak mampu untuk tetap teguh di
atas kebenaran, dan siapa saja yang tidak dalam posisi panutan (qudwah)
bagi masyarakat luas, maka mereka boleh mengamalkan rukhshah tersebut.
Adapun para ulul azmi dari imam dan ulama, maka mereka seharusnya
mengamalkan ‘azimah dengan menanggung beban (siksaan) dan tetap teguh.
Apa yang mereka katakan adalah dalam rangka fi sabilillah. Jika mereka
bertaqiyyah dan memilih rukhshah maka masyarakat luas setelah mereka
akan tersesat, mereka akan mencontoh para ulama itu tanpa mengetahui
bahwa apa yang dilakukan oleh para ulama yang diikutinya adalah
taqiyah”.
Mengenai fitnah Khalqun Qur’an para ulama sepakat akan kafirnya orang yang mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk.
Ada seorang lelaki yang menemui Anas bin Malik rahimahullah dan bertanya ;
يا أبا عبد الله ما تقول فيمن يقول القرآن مخلوق ؟. فقال مالك : زنديق اقتلوه،
“Wahai Abu ’Abdillah, apa yang engkau katakan tentang orang yang
mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk ?”. Maalik menjawab : “Zindiiq,
bunuhlah ia.” (al_Hilyah Juz 6 hal 235)
Sufyaan bin ’Uyainah rahimahullah.
حدثني غياث بن جعفر قال سمعت سفيان بن عيينة يقول القرآن كلام الله عزوجل من قال مخلوق فهو كافر ومن شك في كفره فهو كافر
“Telah menceritakan kepadaku Ghiyaats bin Ja’far, ia berkata : Aku
mendengar Sufyaan bin ’Uyainah berkata, “Al-Qur’an adalah Kalamullah.
Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia
kafir. Dan barangsiapa yang ragu akan kekafiran orang tersebut, maka ia
juga kafir.” [Diriwayatkan oleh ’Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam
As-Sunnah, 1/112]
Muhammad bin Idris asy-Syafi’iy rahimahullah :
لما كلم الشافعي رضي الله عنه حفص الفرد فقال : القرآن مخلوق، فقال له الشافعي : كفرت بالله العظيم
Ketika Asy-Syaafi’iy radliyallaahu ’anhu berbicara kepada
Hafsh Al-Fard, maka ia (Hafsh) berkata : “Al-Qur’an adalah makhluk”.
Maka Asy-Syaafi’iy berkata kepadanya : “Engkau telah kafir kepada Allah
Yang Maha Agung” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’
wash-Shifaat, 1/613).
’Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah :
سمعتُ أبي رحمه الله يقول من قال القرآن مخلوق فهو عندنا كافر لأن القرآن من علم الله عز وجل وفيه أسماء الله عز وجل
Aku mendengar ayahku (Imam Ahmad bin Hanbal) rahimahullah
berkata, “Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an itu makhluk, maka ia
kafir di sisi kami, karena Al-Qur’an termasuk ilmu Allah ’Azza Wa Jalla,
dan didalamnya terdapat nama-nama Allah ’Azza Wa Jalla” (As-Sunnah,
1/102)
Abu Zur’ah Ar-Raaziy dan Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahumallah.
أبو محمد عبد الرحمن ابن أبي حاتم قال: سألتُ أبي وأبا زرعة عن مذاهب أهل السنه في أصول الدين، وما أدركا عليه علماء في جميع الأمصار، وما يعتقدان من ذلك، فقالا : أدركنا العلماء في جميع الأمصار حجازا وعراقا ومصرا وشاما ويمنا فكان من مذهبهم أن…. القرآن كلام (الله) غير مخلوق بجميع جهاته….. ومن زعم أن القرآن مخلوق فهو كافر بالله كفرا ينقل عن الملة ومن شك في كفره ممن يفهم فهو كافر، ومن شك في كلام الله فوقف فيه شاكا يقول (لا أدري) مخلوق أو غير مخلوق فهو جهمي، ومن وقف في القران جاهلا عُلِّم وبُدِّع ولم يكفر، ومن قال : لفظي بالقران، أو قال : القران بلفظي مخلوق فهو جهمي
Abu Muhammad ’Abdurrahmaan bin Abi Haatim, ia berkata : Aku pernah
bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah tentang madzhab Ahlus-Sunnah dalam
ushuuluddiin (pokok-pokok agama) dan apa yang mereka temui dari para
ulama di seluruh pelosok negeri dan yang mereka berdua yakin tentang hal
itu, maka mereka berdua berkata, “Kami telah bertemu dengan para ulama
di seluruh pelosok negeri, baik di Hijaz, Irak, Mesir, Syaam, dan Yaman,
maka yang termasuk madzhab mereka adalah : “….Al-Qur’an adalah
Kalaamullah, bukan makhluk dengan seluruh sisinya….” Barangsiapa yang
menganggap Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia kafir terhadap Allah dengan
kekafiran yang mengeluarkan dari agama. Barangsiapa yang ragu akan
kekafirannya bagi orang yang memahami, maka ia kafir. Dan barangsiapa
yang ragu terhadap Kalaamullah, lalu ia abstain padanya dalam keadaan
ragu, ia berkata : ‘Aku tidak tahu, apakah makhluk atau bukan makhluk,’
maka ia Jahmiy. Barangsiapa yang abstain tentang Al-Qur’an dalam keadaan
jahil (bodoh), ia diberitahu dan dibid’ahkan, namun tidak dikafirkan.
Dan barangsiapa yang berkata : ‘Lafadhku dengan Al-Qur’an’ atau ia
berkata : ‘Al-Qur’an dengan lafadhku adalah makhluk’, maka ia pun
Jahmiy.” (Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad
Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah, 1/176-179)
Salah satu keyakinan Jahmiyah adalah tentang ‘Arsy Allah Ta’ala,
mereka tidak meyakini Allah berada di atas langit dan berada di atas
‘Arsy. Allah ta’ala telah berfirman :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (Al-A’raaf : 54).
Orang-orang Jahmiyah berkata mengenai ayat ini ‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan mengalahkan, Allah ta’ala berada di setiap tempat’.
Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya,[5] sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Memalingkan (menakwilkan) makna istiwaa’ kepada kekuasaan atau kemampuan (al-qudrah).
Ahlussunnah meyakini bahwa Allah berada di atas langit dan bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, Allah Ta’ala berfirman :
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ .أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit
bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan
tiba-tiba bumi itu berguncang?, atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?” (Al-Mulk : 16-17).
ثُمَّاسْتَوَىعَلَىالْعَرْشِ
“Kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).”
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Yang Maha Penyayang di atas ‘Arsy (singgasana) berada.” (Thaha : 5)
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata :
لَمَّا قَضَى اللَّهُالْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ – فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ- إِنَّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ غَضَبِي
“Ketika Allah menciptakan makhluk (maksudnya
menciptakan jenis makhluk), Dia menuliskan di kitab-Nya (Al-Lauh
Al-Mahfuzh) – dan kitab itu bersama-Nya di atas ‘Arsy (singgasana) – :
“Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، إِنَّ اللهَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرَضِيْ نَوَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ، ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah menciptakan langit dan
bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari, kemudian
Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra)
لَمَّا فَرَغَ اللهُ مِنْ خَلْقِهِ اسْتَوَى عَلَى عَرْشِهِ.
“Ketika Allah selesai mencipta, Dia berada di atas ‘Arsy singgasana-Nya.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam As-Sunnah, dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dan Adz-Dzahabi berkata: Para perawinya tsiqah)
فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ أُرَاهُ فَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ.
“Maka jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Al-Firdaus,
karena sungguh ia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi. Di
atasnya singgasana Sang Maha Pengasih, dan darinya sungai-sungai surga
mengalir.” (HR. Al-Bukhari)
‘Arsy secara bahasa bermakna singgasana raja, sedangkan istawa
adalah hakikat bukan majas. Kita bisa memahaminya dengan bahasa Arab
yang dengannya wahyu diturunkan. Yang tidak kita ketahui adalah kaifiyyah (cara/bentuk) istiwa’ Allah, karena Dia tidak menjelaskannya.
Malik bin Anas ketika di Tanya mengenai surat Thaha ayat 5 mengatakan :
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَاْلكَيْفُ مَجْهُوْلٌ، وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ.
“Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali)
Syaikh ‘Abdurahman ibnu Hasan ibnu Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah
mengatakan, “Ahlussunnah wal Jama’ah yang dulu dan yang sekarang telah
ijma’ bahwa Allah itu tidak boleh disifati dengan sifat-sifat yang tidak
di tetapkan Allah bagi Dzat-Nya dan juga yang tidak ditetapkan oleh
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa salam bagi-Nya. Dan barangsiapa mensifati Allah dengan sifat-sifat yang tidak di tetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa salam maka dia itu orang Jahmiyyah yang sesat lagi menyesatkan yang berkata atas Allah tanpa ‘ilmu… Dan beliau berkata, “Bahwa makna istawaa adalah istaqarra (Menetap) atau irtifa’a (Terangkat) dan atau ‘alaa
(Tinggi) yang semuanya satu makna, tidak ada yang mengingkari hal ini
kecuali Jahmiyyah zindiq yang menta’thilkan Allah, nama-nama-Nya dan
sifat-sifat-Nya semoga Allah membinasakan mereka (Jahmiyyah).” (Kitab
Ar-Raddu ‘alal Jahmiy)
إسحاق بن راهويه قال الله عز و جل الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء أسفل الأرض السابعة
Ishaq bin Rahuwyah berkata, “Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. Para ulama sepakat
(berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap
tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang
terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh.”(Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 194. Imam Adz-Dzahabi)
عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيقٍ ، قَالَ : سَأَلْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكِ ” كَيْفَ نَعْرِفَ رَبَّنَا عَزَّ وَجَلَّ ؟ قَالَ : عَلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ عَلَى عَرْشِهِ ، وَلا نَقُولُ كَمَا تَقُولُ الْجَهْمِيَّةُ إِنَّهُ هَاهُنَا فِي الأَرْضِ ” فقيل هذا لأحمد بن حنبل فقال هكذا هو عندنا
‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, dia berkata, “Aku berkata kepada
Abdullah bin Al Mubarok, bagaimana kita mengenal Rabb kita ‘azza wa
jalla. Ibnul Mubarok menjawab, “Rabb kita berada di atas langit
ketujuh dan di atasnya adalah ‘Arsy. Tidak boleh kita mengatakan
sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Jahmiyah yang mengatakan
bahwa Allah berada di sini yaitu di muka bumi.” Kemudian ada yang menanyakan tentang pendapat Imam Ahmad bin Hambal mengenai hal ini. Ibnul Mubarok menjawab, “Begitulah Imam Ahmad sependapat dengan kami.”(Riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al Hamawiyah dan Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy)
Demikianlah yang diterangkan oleh para ulama. Satu hal yang perlu diingat pula bahwa bersemayamnya Allah tidak sama dengan bersemayamnya makhluk. Sebab Allah berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa persis dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11).
Oleh sebab itu, tidak sama bersemayamnya seorang raja di atas singgasananya dengan bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy-Nya.
Ibnu Taymiyyah rahimahullah berkata :
كان الإمام أحمد -رحمه الله تعالى : وإنما كان يكفر الجهمية المنكرين لأسماء الله وصفاته؛ لأن مناقضة أقوالهم لما جاء به الرسول صلى الله عليه وسلم ظاهرة بينة، ولأن حقيقة قولهم تعطيل الخالق
“Bahwasanya Imam Ahmad rahimahullah Ta’ala
mengkafirkan orang-orang Jahmiyah yang mengingkari nama dan sifat Allah
karena pendapat mereka yang jelas-jelas menyalahi ajaran Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, beliau tidak mengafirkan setiap individu yang berpendapat demikian.” (Al-Fatawa : 12)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga telah memberitakan
vonis kekufuran atas mereka dari lima ratus ulama salaf dalam
untaian bait syair berikut Qashidah Nuniyah :
“Sungguh, status kekufuran mereka telah diusung oleh lima ratus Ulama di banyak negeri
Imam al Lalikai juga telah memberitakan dari mereka, dan sebelumnya telah diberitakan oleh ath-Thabarani.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa Imam Ahmad rahimahullah
mengkafirkan Jahmiyyah secara umum, untuk pengkafiran secara individu
para pengikut Jahmiyah beliau menahan diri. Karena perkara fitnah
Khalqun Qur’an adalah fitnah yang tidak diketahui dan dipahami oleh
kalangan awam kaum muslimin. Dan ini termasuk masalah khafiyah yang mana orang yang jatuh padanya harus dijelaskan hujjah dan dilenyapkan syubhat darinya.
Permasalahan dalam masalah takfir itu ada dua macam, yaitu masalah dlahirah[6] dan khafiyah.[7] Batasan-batasan baku untuk mengetahui masalah dlahirah
ini yaitu suatu permasalahan yang diketahui secara pasti didalam diin
ini (alma’lumah minaddiin bidhdharurah) yang mana mukallaf lagi berakal
tidak boleh tidak mengetahuinya. Atau bisa juga disebut permasalahan
yang dalil di dalamnya adalah muhkam yang tidak ada syubhat dan
tidak menerima penta’wilan, atau bisa juga disebut permasalahan yang di
ijma’kan yang ada secara nash dalam Kitabullah dan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam
yang dinukil oleh kalangan awam muslimin dari kalangan khususnya yang
tidak mungkin ada kekeliruan di dalamnya dan tidak diterima ta’wil atau
pengkaburan di dalamnya.
Orang yang terjatuh dalam permasalahan dlahirah maka dia kafir baik hujjah telah tegak[8]
ataupun belum tegak. Jika hujjah tegak di dunia maka dia kafir di dalam
hukum dunia dan akhirat dan dipastikan penghuni neraka, adapun jika
hujjah belum tegak dia dihukumi di dunia musyrik atau kafir tapi dalam
hukum akhirat dia tidak dipastikan sebagai calon penghuni neraka tapi dia akan di uji oleh Allah di ar-Rashad.
Sedangkan batasan permasalahan khafiyah
adalah permasalahan yang tidak diketahui secara umum dalam diin ini
(ghayra ma’lumah minaddiin bidharurah) karena kesamarannya dan tidak
tersebar dikalangan seluruh awam kaum muslimin dan hanya orang khusus
saja dari kaum muslimin (ulama dan penuntut ilmu) yang mengetahuinya,
atau juga permasalahan yang mana kejahilan terhadapnya muncul dari
syubhat yang di sandarkan dari kitab dan sunnah seperti kekeliruan
ta’wil.
Dan kebid’ahan semuanya apapun macam dan jenisnya adalah perkara yang
diharamkan, dan semua bid’ah adalah sesat sebagaiman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam :
وَشَرَّ الأُمُور مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan,
setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap
bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini jelas disebutkan bahwa semua bid’ah adalah sesat, tidak ada pengecualian di dalamnya.
Syubhat :
Orang yang mengkalim bahwa ada bid’ah hasanah mereka merujuk kepada perkataan ‘Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anhu, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah).” dan juga ucapan imam Syafi’iy rahimahullah.
Bantahan :
Menurut kaidah ushul fiqih, dalam menafsirkan dalil-dalil syar’iy,
terlebih dahulu kita harus membawanya kepada pengertiannya secara
syar’iy, kalau tidak bisa, baru kita membawanya kepada pengertian yang
lain, seperti pengertian bahasa atau adat setempat sesuai dengan qarinah (petunjuk) yang ada.
Ucapan ‘Umar bin Khaththab dan Imam Syafi’i tidak bisa di jadikan
dalil untuk membenarkan perkara yang baru dalam diin ini. Karena setiap
perkara dalam diin sudah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, dan Allah telah menyempurnakan diin-Nya melalui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Maka kita harus mendahulukan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dimana beliau shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda “bahwa setiap bid’ah itu adalaha sesat” dan tidak boleh di benturkan oleh perkataan siapapun.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah
dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Hujurat : 1)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah (secara ringkas) mengatakan, “Ayat
ini mengajarkan kepada kita bagaimana beradab terhadap Allah subhanahu
wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaknya kita
berjalan (berbuat dan beramal) mengikuti perintah Allah subhanahu wa
ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, jangan
mendahului Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam segenap urusan. Inilah tanda-tanda kebahagiaan dunia dan
akhirat.”
Ibnu ‘abbas berkata: “Hampir saja kalian ditimpa hujan batu dari
langit, Karena aku mengatakan Rasulullah shalallhu ‘alahi wa sallam
bersabda, sementara kalian justru mengatakan Abu Bakar dan Umar
berkata.” (dikeluarkan oleh Imam Ahmad)
‘Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan kalimat ini (Sebaik-baik
bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah)) tatkala beliau mengumpulkan kaum
muslimin untuk shalat tarawih berjamaah. Padahal shalat tarawih
berjamaah ini bukanlah suatu bid’ah, dan pada masa kekhilafahannya
beliau melihat tidak adanya alasan[9] lagi (yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam khawatir), maka shalat tarawih ini dihidupkan kembali. Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan khalifah ‘Umar radliyallahu ‘anhu ini mempunyai landasan yang kuat yaitu perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Dan bahwa bid’ah yang dimaksudkan oleh ‘Umar bin al-Khaththab radliyallahu ‘anhu adalah bid’ah dalam pengertian secara bahasa, bukan menurut istilah syariat.
Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhu berkata:
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia memandangnya baik (hasanah).” (Imam Ibnu Baththah, Ibanatul Kubra, No. 213)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
فكلُّ من أحدث شيئاً، ونسبه إلى الدِّين، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه، فهو ضلالةٌ، والدِّينُ بريءٌ منه، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات، أو الأعمال، أو الأقوال الظاهرة والباطنة
“Maka, setiap sesuatu yang baru, dan disandarkan kepada agama,
padahal tidak ada dasarnya dalam agama, maka itu adalah sesat, dan agama
berlepas diri darinya. Sama saja dalam hal ini, apakah masalah aqidah,
amal-amal perbuatan, ucapan yang nampak atau tersembunyi.” (Jami’ al
Ulum wal Hikam, 28/25).
Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
وَمَنْ تَعَبَّدَ بِعِبَادَةِ لَيْسَتْ وَاجِبَةً وَلَا مُسْتَحَبَّةً ؛ وَهُوَ يَعْتَقِدُهَا وَاجِبَةً أَوْ مُسْتَحَبَّةً فَهُوَ ضَالٌّ مُبْتَدِعٌ بِدْعَةً سَيِّئَةً لَا بِدْعَةً حَسَنَةً بِاتِّفَاقِ أَئِمَّةِ الدِّينِ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُعْبَدُ إلَّا بِمَا هُوَ وَاجِبٌ أَوْ مُسْتَحَبٌّ
“Dan barangsiapa yang beribadah, dengan peribadatan yang tidak
diwajibkan, tidak pula disunnahkan, dan dia meyakini itu adalah wajib
atau sunah, maka dia sesat dan mubtadi’ (pelaku bid’ah) dengan
bid’ah yang buruk, tidak ada bid’ah hasanah dengan kesepakatan para imam
agama. Sesungguhnya Allah tidaklah disembah kecuali dengan apa-apa yang
diwajibkan dan disunahkan.” (Majmu’ Fatawa, 1/38)
Pasal
Bid’ah ada dua bentuk, yaitu bid’ah haqiqiyah (hakikat) dan bid’ah idlafiyah (bersandaran).
- Bid’ah haqiqiyah, yaitu yang tidak ada dasarnya dalam syari’at dan tidak ada sandaran dalil yang mu’tabar, atau setiap bid’ah yang tidak ada dasarnya sama sekali baik dari Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ kaum muslimin, dan bukan pula dari penggalian hukum yang benar menurut para ulama baik secara global maupun terperinci. Seperti bid’ah memperingati maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, dan ini merupakan perkara yang di ada-adakan yang tidak ada dasarnya baik secara umum ataupun terperinci atas apa yang di ada-adakan didalamnya oleh para pelaku bid’ah.
- Bid’ah idlafiyah, yaitu bid’ah yang memiliki dasar syar’iy akan tetapi terdapat padanya kesalahan dari sisi yang lain. Bid’ah ini memiliki dua sisi, yaitu dari satu sisi ia memiliki dalil maka dari sisi ini bukanlah bid’ah, dan di sisi lain ia tidak memiliki dalil maka ini sama dengan bid’ah haqiqiyah. Maksudnya di tinjau dari sisi yang tidak memiliki dalil yaitu dilihat dari enam aspek.
Enam aspek tersebut adalah :
- Tata cara (kaifiyah), yaitu seperti dzikir berjama’ah dengan suara bersama- Dizikir merupakan perbuatan yang disyari’atkan akan tetapi terdapat padanya bid’ah dari segi kaifiyahnya (tata caranya).
- Sebab, yaitu seperti mengkhususkan shalat ketika hujan turun.
- Jenis, yaitu seperti kurban ketika ‘Ideul Adha. Batasannya sudah di tetapkan oleh syari’at yang boleh di jadikan kurban unta, sapi dan kambing. Maka barangsiapa menyembelih kurban berupa ayam atau kelinci maka dia telah mendatangkan bid’ah dari arah batasan yang sudah di tetapkan oleh syari’at.
- Jumlah, yaitu seperti mengkhususkan jumlah tertentu dalam dzikir, dengan batasannya tidak ditetapkan secara syar’iy.
- Waktu, yaitu seperti mengkhususkan malam jum’at (saja) dengan shalat malam atau siang harinya puasa.
- Tempat, yaitu seperti i’tikaf di dalam gua dan tempat yang sepi.
Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya serta seluruh sahabatnya.
Wallahu Ta’ala a’lam