(Nawaqhidhul Islam)
Sesungguhnya pembatal-pembatal keIslaman itu banyak sekali, yang mana
para ulama telah menjelaskan dalam kitab-kitab fiqh dalam bab Riddah
(murtad). Akan tetapi Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menuturkan hanya sepuluh dari pembatal-pembatal keislaman itu dikarenakan hal ini yang sering dan paling banyak terjadi.
Nawaqidh itu jama’ dari kata naaqidh dan lawannya ibram yaitu keterjalinan. Sedangkan an-naqdhu itu adalah penguraian,[1] bila mengurainya atau membatalkannya setelah terjalin dan terikat.
Dan pembatal itu bisa sifatnya hissi atau sesuatu yang bisa diindra atau diraba, dan juga sifatnya maknawi atau abstrak.
Yang sifatnya bisa diindra seperti mengurai tali atau mengurai rambut
yang diikat, dan yang sifatnya maknawi seperti menggugurkan perjanjian
atau batalnya wudhu. Di karenakan orang bila melakukan sesuatu yang
diperintahkan dan dia komitmen kepada hal tersebut maka hal itu seperti
mengikat diri dengannya, kemudian bila dia mendatangkan Sesuatu yang
menyelisihinya dari pondasinya maka dia seperti orang yang
menguraikannya dan membatalkannya. Inilah bentuk mendudukan yang
sifatnya maknawi kepada kedudukan yang sifatnya bisadi indra supaya bisa
dipahami dan maknanya bisa dicerna oleh segenap pikiran orang yang
mendengar.
Dan orang bila mengucapkan kalimat tauhid maka pengucapan kalimat
tauhid itu seperti janji, komitmen dengan hak-hak kalimat tauhid
tersebut serta melazimi apa yang mengharuskannya (konsekuensinya) dan
apa yang dituntutnya. Kemudian bila dia melakukan sesuatu dari hal yang
menyelisihi pondasi tersebut maka dia sama juga menggugurkan komitmen
yang telah dia ikrarkan tersebut.
Pasal
Pembatal-pembatal keislaman yaitu :
- Syirik dalam peribadatan kepada selain Allah Ta’ala
Syirik dalam ibadah kepada Allah itu adalah memalingkan macam ibadah
apa saja kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla. Dan syirik akbar ini tidak
diampuni oleh Allah kecuali dengan taubat dari kesyirikan. Orang yang
bertauhid berjumpa dengan Allah dengan membawa dosa-dosa selain syirik
maka itu sesuai dengan kehendak Allah, jika Allah berkehendak
mengadzabnya maka Allah akan mengadzabnya dan jika Allah mengampuninya
disebabkan syafa’at atau amal shalihnya maka Allah akan mengampuninya.
Dan bila berjumpa dengan Allah dengan membawa dosa syirik maka dia kekal
di dalam neraka.
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni dosa yang selain (syirik) itu, bagi siapa yang Dia kehendaki.
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat
dosa yang besar.” (an-Nisa : 48)
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya barangsiapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah,
maka pasti Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah
neraka. Tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu.” (al-Maidah : 71)
Surga tidak mungkin dimasuki oleh orang yang berbuat syirik meskipun
dia banyak melakukan amal kebaikan, dan kesyirikan itu seperti
menyembelih untuk selain Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
وَلَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ
“Allah melaknat orang menyembelih untuk selain Allah.” (HR. Muslim, No.1978)
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Bila orang yang
menyembelih kepada selain Allah ini asalnya muslim maka dia menjadi
murtad karena menyembelih kepada selain Allah.”
Diantara bentuk hal ini yaitu menyembelih untuk jin, seperti orang
yang menyembelih ketika membangun gedung atau rumah lalu kepala hewan
tersebut dikubur dipondasi bangunan tersebut, juga orang yang
menyembelih hewan dikuburan-kuburan yang dikeramatkan sebagai bentuk
pengagungan kepada si mayit. Atau berdo’a (memohon) kepada selain Allah
Ta’ala seperti meminta kepada yang ghaib atau meminta do’a kepada yang
sudah mati. Atau tawaf disekitar kuburan sebagai bentuk pengagungan
kepada si mayit, atau sujud[2] kepada selain Allah.
Syirik dalam ibadah itu bermuara pada empat hal, yaitu ;
- Syirik Da’wah
Yaitu memohon kepada selain Allah dalam suatu yang tidak mampu
dilakukan kecuali oleh Allah, atau memohon apa saja terhadap orang yang
sudah mati, berhala atau patung, kepada pohon-pohon yang dikeramatkan
atau kepada makhluk yang ghaib atau kepada apa saja.
Do’a itu adalah ibadah, barangsiapa memalingkan hal ini kepada selain Allah maka dia telah berbuat syirik.
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allah. Maka janganlah kamu menyembah apa pun di dalamnya selain Allah.” (al-Jin : 18)
Dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda ;
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Sesungguhnya do’a itu adalah ibadah”
(HR. Imam Ahmad dan para penulis kitab Sunan). Sehingga ketika ada orang
berdo’a kepada selain Allah berarti dia telah beribadah kepada selain
Allah
- Syirik dalam niat, keinginan dan Tujuan
Seseorang yang melakukan segala amal ibadah bukan karena Allah tapi karena dunia, Allah Ta’ala berfirman :
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya,
niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia
dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.
Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan
lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Hud : 15-16)
Syirik niat dan keinginan itu adalah dalam ibadah, barangsiapa dengan
ibadahnya itu bertujuan untuk dunia, harta, kedudukan atau yang lainnya
dan tidak dimaksudkan melaksanakan perintah-perintah Allah Ta’ala atau tidak dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
- Syirik Tha’ah (ketaatan)
Dalilnya Firman Allah Ta’ala :
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai tuhan Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera
Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan.” (at-Taubah : 31)
Ayat ini berkaitan dengan syirik tha’ah, dimana ayat ini
dijelaskan oleh hadits yang di riwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan yang
lainnya, bahwa ia mendengar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam membaca surat at Taubah ayat 31[3] Kemudian beliau berkata : “Wahai Rasulullah, kami tidaklah beribadah kepada mereka”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
” أَلَيْسَ كَانُوا يُحِلُّونَ لَكُمُ الْحَرَامَ فَتُحِلُّونَهُ , وَيُحَرِّمُونَ عَلَيْكُمُ الْحَلالَ فَتُحَرِّمُونَهُ ؟” قَالَ : قُلْتُ : بَلَى ،
“Bukankah mereka menghalalkan untuk kalian apa yang Allah
haramkan sehingga kalianpun menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa
yang Allah halalkan sehingga kalian mengharamkannya?.” Beliau (Adi bin Hatim) berkata : “Benar”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ : “فَذَلِكَ عِبَادَتُهُمْ “
“Itulah (yang dimaksud) beribadah kepada mereka”.
Yang dimaksud dalam ayat ini adalah syirku bil hukmi (syirik
hukum), penyandaran hukum kepada selain Allah itu adalah bentuk
kemusyrikan, kerena kewenangan pembuatan hukum itu hanya haq Allah
Ta’ala
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
“Hak hukum (putusan) hanyalah milik Allah. Dia memerintahkan agar
kalian tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Itulah agama yang lurus”. (Yusuf : 40)
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam”. (Al A’raaf : 54).
Sebagaimana Allah tidak meyertakan seorang makhlukpun didalam
penciptaan maka Allah-pun tidak memperkenankan satu makhlukpun ikut
campur dalam pembuatan hukum yang diberlakukan kepada makhluk-Nya,
sebagaimana firman-Nya :
وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
“Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu bagi-Nya dalam menetapkan hukum.” (Al-Kahfi : 26)
Ketika ada orang yang meyakini bahwa ada pembuat hukum selain Allah
maka dia telah mempertuhankan selain Allah tersebut seperti dalam sistem
Demokrasi. Karena dalam sistem Demokrasi penyandaran hukum itu kepada
selain Allah, dimana yang berhak membuat hukum dalam sistem Demokrasi
itu adalah manusia yaitu wakil rakyat di Parlemen, baik itu Legislatif
ataupun Yudikatif. Sehingga ini adalah bentuk kesyirikan dalam hukum.
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya meriwayatkan dari jalur Abi al-Bukhturi dari Hudzaifah ibnu Yaman radhiyallahu ‘anhu tentang
firman Allah Ta’ala surat at-Taubah ayat 31 “Mereka tidak mengibadati
‘alim ulama dan pendeta mereka, tetapi mereka mentaati ‘alim ulama dan
pendeta dalam maksiat.”[4]
Dalam satu riwayat berkata : ‘‘Alim ulama dan pendeta itu bila
menghalalkan bagi orang-orang Nasrani sesuatu, maka orang-orang Nasrani
pun menganggapnya halal, dan jika mengharamkan sesuatu atas mereka maka
merekapun menganggapnya haram.”
Seperti realita para thaghut ketika menetapkan undang-undang atau
penetapan sanksi, maka para aparat penegak hukum thaghut ini mereka
menangkap orang-orang yang melanggar hukum yang dibuat oleh arbab-arbab
mereka di dalam sistem tersebut. Jadi dalam sistem Demokrasi ini
orang-orang musyriknya adalah para penegak hukum yang mana mereka
menganggap boleh apa yang dibolehkan undang-undang dan melarang apa yang
dilarang oleh undang-undang, sedangkan tuhan mereka adalah para pembuat
undang-undang tersebut. Itulah bentuk peribadatan mereka terhadap para
pembuat hukum.
Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan dalam tafsir
‘Adhwa’ul Bayan hal. 55, “Sesungguhnya setiap orang yang mengikuti
hukum, aturan, undang-undang yang menyelisihi apa yang Allah turunkan
lewat lisan Rasul-Nya maka orang tersebut musyrik kafir menjadikan yang
di ikuti sebagai Rabb”
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah mengatakan,
“orang-orang yang menjadikan ‘alim ulama dan pendeta sebagai arbab
dimana mereka mentaatinya dalam penghalalan apa yang Allah haramkan dan
mengharamkan apa yang Allah halalkan, mereka itu ada dua macam ;
- Mereka mengetahui bahwa ‘alim ulama dan pendeta itu merubah hukum Allah lalu mengikuti mereka dalam hukum selain Allah, sehingga mereka meyakini penghalalan apa yang Allah haramkan dan pengharaman apa yang Allah halalkan dalam rangka mengikuti para pemimpin mereka padahal mereka mengetahui bahwa mereka itu menyelisihi ajaran para Rasul. Allah dan Rasul-Nya telah menjadikan hal itu sebagai kesyirikan walaupun mereka tidak shalat dan sujud kepada pembuat aturan tersebut (anggota Legistaltif). Sehingga orang yang mengikuti selain Allah dalam penyelisihan diin ini maka orang tersebut musyrik seperti Yahudi dan Nasrani.
- Keyakinan dan keimanan dia perihal pengharaman yang halal dan penghalalan yang haram itu tetap,[5] akan tetapi mentaati mereka dalam maksiat kepada Allah sebagaimana apa yang dilakukan oleh orang muslim berupa maksiat yang dia yakini bahwa itu adalah maksiat. Maka mereka itu statusnya adalah status para pelaku dosa.[6] (Majmu’ Fatawa Juz 7 hal 77)
- Syirik Mahabbah (kecintaan)
Yaitu mencintai Allah disertai kecintaan kepada yang lain seperti
kecintaannya kepada Allah atau lebih mencintai yang lain dari pada
kecintaan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu
mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa
kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat
siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (al-Baqarah : 165)
Seperti orang lebih mencintai jabatannya sehingga dia berani meninggalkan Tauhid demi harta dan jabatan.[7]
Ayat ini memiliki makna :
- Di antara manusia ada orang yang menjadikan tandingan selain Allah dan mereka mencintai tandingan itu seperti kecintaan mereka kepada Allah.[8]
- Mereka mencintai tandingan-tandingan itu seperti kecintaan orang orang mukmin kepada Allah.
Ibnul Qayyim mengatakan, [Mencintai bersama Allah itu ada dua macam : Pertama, yang menggugurkan pokok Tauhid, dan ini adalah syirik Akbar. Kedua,
yang mencoreng kesempurnaan keikhlasan dan kecintaan kepada Allah tapi
tidak mengeluarkan dari Islam hanya mengurangi kesempurnaan tauhid.
Maka macam yang pertama seperti kecintaan orang-orang musyrik kepada
berhala dan tandingan-tandingan mereka, Allah Ta’ala berfirman :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu
mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa
kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat
siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (al-Baqarah : 165).
Kaum musyrikin itu mereka mencintai berhala-berhala, patung-patung
dan tuhan-tuhan mereka itu seperti kecintaan mereka kepada Allah. Ini
adalah kecintaan penghambaan diri dan loyalitas, yang disertai dengan
rasa takut, harapan, ibadah dan do’a. Kecintaan macam ini adalah murni
kemusyrikan yang tidak mungkin diampuni oleh Allah ta’ala, dan iman
tidak terealisasi kecuali dengan memusuhi tandingan-tandingan ini sangat
membencinya, membenci para penganutnya, memusuhi mereka dan memerangi
mereka. Karena inilah Allah Ta’ala mengutus para Rasul-Nya dan
menurunkan Kitab-Kitab-Nya dan Allah menciptakan neraka bagi para
penganut kesyirikan ini (syirik mahabbah), dan Allah menciptakan surga
bagi orang yang memerangi para penganut syirik mahabbah ini dan bagi
orang yang memusuhi mereka karena Allah dan karena meraih ridla Allah
Ta’ala.[9]
Dan macam yang kedua, yaitu mencintai apa apa yang Allah jadikan jiwa
mencintainya yang Allah hiasi dihadapan jiwa. Seperti mencintai wanita,
anak laki laki, emas dan perak, kuda dan binatang ternak dan tanaman :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang
ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran : 14).
Dimana orang mencintai hal-hal ini karena kecintaan syahwat, seperti
kesukaan orang yang lapar kepada makanan dan kesukaan orang yang haus
kepada air. Ini adalah kecintaan yang sifatnya thabi’iyah atau naluriyah.
Bila dia mencintai hal-hal itu sebagai sarana untuk mendekatkan diri
kepada Allah dan membantu untuk mendapatkan ridla Allah dalam meraih
ketaatan-Nya maka dia mendapatkan pahala atas hal itu, maka mahabbah ini
masuk dalam kecintaan kepada Allah dalam rangka meraih ridla Allah.
Inilah keadaan makhluk paling mulia (Rasulullah) yang mana beliau
mencintai wanita dan wangi-wangian,[10]
dan kecintaan beliau terhadap wanita dan wangi-wangian itu menjadi
penopang beliau dalam mencapai kecintaan Allah dan dalam menyampaikan
risalah-Nya dan dalam menegakkan perintah Allah.
Kalau orang mencintai hal-hal tersebut dikarenakan secara nalurinya,
dan dia tidak mengedepankan hal tersebut terhadap apa yang mendatangkan
kecintaan atau keridlaan Allah. Yaitu tidak melalaikan kewajiban dia,
tapi dia mendapatkan hal itu karena sifatnya naluriyah maka ini sifatnya
mubah dan tidak dikenakan sanksi atas hal itu akan tetapi mengurangi
kesempurnaan kecintaan dia kepada Allah dan kesempurnan kecintaan karena
Allah.
Dan bila dunia tadi merupakan tujuan dan target dia, dan dia berupaya
untuk meraih dan mencapainya, dan dia lebih mengedepankannya dari pada
apa yang mendatangkan kecintaan dan keridloan Allah berarti dia orang
yang dzalim kepada dirinya sendiri dan pengikut hawa nafsu maka dia
mendapatkan sanksi atas hal ini selagi tidak terjerumus kepada
kekafiran.
Jenis kecintaan yang pertama itu adalah termasuk kecintaan
orang-orang yang terdepan dalam kebaikan, dan yang kedua itu termasuk
kecintaan orang orang yang pertengahan, dan yang ketiga itu termasuk
kedalam kecintaan orang orang dzalim”.] (Ar-Ruh, juz 1 hal. 254)
- Barangsiapa menjadikan antara dirinya dengan Allah para perantara dimana dia meminta kepada perantara itu dan memohon kepada mereka syafa’at maka dan dia bertawakkal terhadap mereka maka telah kafir berdasarkan ijma’.
Seperti orang yang meminta kepada orang yang sudah mati dan tidak
meminta langsung kepada Allah. Orang tidak mungkin meminta kepada
sesuatu kecuali dia memiliki keyakinan.
Pembatal ini termasuk yang paling sering terjadi dan paling
berbahaya, karena banyak orang yang mengaku muslim sedangkan dia itu
tidak mengenal Islam dan tidak mengenal hakikatnya menjadikan antara
dirinya dengan Allah perantara-perantara yang mana meminta kepada
perantara tersebut untuk menghilangkan segala kesulitan dan menolongnya.
Mereka itu kafir berdasarkan ijma’ kaum muslimin karena Allah Jalla wa
‘Ala tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah hanya
kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu” (adz-Dzariat : 56)
Barangsiapa menjadikan antara diriya dengan Allah para perantara
tersebut maka dia telah menyekutukan Allah, dan tidak ada perbedaan
antara orang-orangtadi (yang menjadikan perantara) dengan kaum musyrikin
(mekah) yang mana Rasulullah diutus kepada mereka
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
“Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sungguh, Allah
akan memberi putusan diantara mereka tentang apa yang mereka
perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan
orang yang sangat ingkar” (az-Zumar : 3).
Mereka menganggap perbuatan syirik mereka sebagai ibadah kepada
Allah. Sebagaimana orang-orang yang ingin menegakkan Islam dengan cara
masuk ke dalam Demokrasi yang menganggap sebagai sarana bahkan termasuk
ibadah dalam memperjuangkan syari’at. Allah tidak membutuhkan perantara
karena Allah berkalam :
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri
dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (Ghaafir : 60)
- Orang yang tidak mengkafirkan kaum musyrikin atau ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan ajaran atau madzhab mereka.
Permasalahan orang yang tidak mengkafirkan mereka atau ragu akan kekafiran mereka[11]
mesti diberikan batasan-batasan sebelum menerapkan hukum kepada orang
yang memiliki sifat ini. Dan ini dengan cara mengenal macam-macam
kekafiran (membutuhkan rincian) dan siapa orang-orang kafir yang mana
orang yang tidak mengkafirkan orang-orang kafir atau ragu perihal
kekafiran itu maka dia menjadi kafir.
Para ulama telah menjelaskan bahwa barangsiapa tidak mengkafirkan
orang kafir atau ragu akan kekafirannya maka dia itu kafir. Dan mereka
menjelaskan bahwa hal ini bukan secara mutlaq akan tetapi ada
perinciannya, orang yang tidak memahami batasan pembatal macam ini maka
ketidakpahaman dia itu akan menghantarkan dia pada beruntun atau
sembarang dalam mengkafirkan dengan seolah menjadikan kaedah ini menjadi
dalil. Padahal kaedah ini bukan dalil tapi kesimpulan dari dalil dengan
batasan-batasan atau rincian tertentu.
Orang yang tidak mengkafirkan orang kafir itu bisa jadi dia memang
tidak mengetahui keadaan orang kafir itu. Seperti orang yang tidak
mengetahui bahwa si fulan itu mengucapkan ucapan kekafiran atau
melakukan perbuatan kekafiran maka orang semacam ini di udzur dan inilah
yang disebut dengan jahlul hal.[12]
Adapun orang kalau mengetahui keadaan si fulan ini melakukan
kekafiran, maka orang yang tidak mengkafirkan ini ditinjau keadaannya
sesuai dengan keadaan orang kafir yang dia tidak kafirkan itu atau yang
dia ragu akan kekafiran tersebut atau membenarkan madzhabnya.[13]
Orang–orang kafir itu secara umum ada dua macam ;
- Orang kafir asli.
Mereka adalah setiap orang yang tidak mengaku sebagai muslim dan
tidak mengucapkan dua kalimat syahadat seperti Yahudi, Nasrani, Majusi,
Hindu, Budha, Konghuchu dan Shinto. Barangsiapa yang tidak mengkafirkan
individu-indidvidu mereka (orang kafir asli) atau ragu perihal kekafiran
individu-individu mereka maka dia telah kafir tanpa butuh rincian.
Karena kekafiran mereka itu (kafir asli) langsung ditegaskan oleh
al-Qur’an dan Sunnah, dan juga diketahui dari diin ini secara umum dan
pasti. Sehingga orang yang tidak mengkafirkan mereka itu hanya ada dua
kemungkinan pertama orang yang mendustakan al-Kitab dan as-Sunnah,
kemungkinan kedua orang tersebut tidak mengetahui pokok Islam dan
hakikatnya (tauhid) dan orang macam ini tidak sah keislamanya karena dia
meninggalkan satu rukun dari rukun rukun Laa ilaaha illallah yaitu
kafir kepada thaghut serta meninggalkan satu syarat dari syarat-syarat
Laa ilaaha illallah yaitu al-iilmu (mengetahui).
Al-’Alamah ‘Abdullah Aba Bithin rahimahullah mengatakan :
“Para ulama telah ijma’ atas orang yang tidak mengkafirkan Yahudi dan
Nasrani atau ragu atas kekafiran mereka sedangkan kita meyakini bahwa
mayoritas orang-orang Yahudi dan Nasrani itu orang-orang yang jahil”
(Risalah al Intishar).
- Orang kafir yang mengaku Islam.
Yaitu orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat akan tetapi dia
melakukan pembatal keislaman yang mengeluarkannya dari Islam. Kekafiran
mereka itu beragam atau bertingkat-tingkat dari sisi kejelasan dan
kesamaran mereka, yaitu ;
- Orang yang kekafirannya telah nyata dan jelas yang ditunjukkan oleh al-Kitab dan Sunnah seperti orang orang musyrik, maka amalan mereka itu bertentangan dengan inti tauhid dan berlawanan dari segala sisinya. Orang yang tidak mengkafirkan mereka tidak lepas dari dua keadaan yaitu ;
- Orang yang memandang bahwa perbuatan kaum musyrikin dan kafirin itu benar dan dia mengakui (membenarkan) perbuatan mereka itu, maka orang ini kafir sama dengan mereka. Seperti orang yang mengetahui hakikat Demokrasi tapi mengatakan Demokrasi itu bagus walaupun dia tidak ikut nyoblos, tetapi dengan anggapan itu dia menjadi kafir karena dia membenarkan dan mengakui perbuatan syirik, dan ini adalah kekafiran. Wal’iyadzubillah
- Orang yang mengatakan atau meyakini memang perbuatan mereka (orang musyrik atau kafir) itu adalah kekafiran dan kesyirikan, akan tetapi dia tidak mengkafirkan mereka dengan alasan mereka di udzur dengan sebab kebodohan. Maka orang semacam ini tidak kafir karena dia tidak membenarkan atau mengakui perbuatan mereka, akan tetapi muncul di hadapan dia syubhat pengudzuran mereka dengan sebab kebodohan maka dia tidak dikafirkan karena ada syubhat yang muncul pada dirinya. Bila saja hudud itu tidak jadi dilakukan karena adanya syubhat maka apalagi di dalam kekafiran. Orang yang keislamannya terbukti secara meyakinkan maka tidak boleh dikeluarkan dari Islam kecuali dengan dalil yang meyakinkan pula. Ta’wil ini (mengudzur jahil) menghalangi dari mengkafirkan dia secara langsung sampai dijelaskan nash-nash dan sampai dilenyapkan syubhat darinya,[14] kalau dia tidak mengkafirkan setelah dijelaskan hujjah dan dilenyapkan syubhat setelahnya maka dia kafir.
Syaikh Sulaiman ibnu ‘Abdullah rahimahullah berkata perihal orang yang tawakkuf,
atau orang yang ragu atau orang yang tidak mengetahui kekafiran
orang-orang Quburiyyin (para penyembah kubur) : “Bila dia masih
meragukan kekafiran mereka atau jahil perihal kekafiran mereka maka
dijelaskan padanya dalil-dalil dari al-Kitab dan Sunnah yang menunjukkan
kekafiran orang-orang yang melakukan kesyirikan itu, setelah itu jika
masih ragu perihal kekafiran Quburiyyin itu maka dia itu kafir
berdasarkan kesepakatan para ulama bahwa barangsiapa meragukan kekafiran
orang kafir maka dia kafir”. (Majmu’at Tauhid, Juz 1 hal. 160).
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Latif rahimahullah berkata,
“Orang yang mengkhususkan sebagian tempat untuk ibadah, atau orang
meyakini bahwa wukuf ditempat itu lebih utama sehingga hajinya di Mekkah
menjadi gugur, maka kekafirannya tidak diragukan lagi oleh orang yang
mengenal Islam. Dan barangsiapa meragukan kekafirannya maka mesti
ditegakkan hujjah terhadapnya bahwa ini adalah kafir dan syirik, dan
bahwa mempertuhankan bebatuan itu bertentangan dengan ajaran Allah yang
mana Allah telah menjadikan wukuf itu ditempatnya (Mekah) sebagai tempat
ibadah kepada-Nya, kemudian bila ditegakkan hujjah kepadanya dan dia
tetap bersikukuh maka tidak diragukan lagi kekafirannya.” (ad-Durar
as-Saniyah, juz 10 hal. 443)
- Pengkafirannya masih ada ihtimal (kemungkinan) karena adanya syubhat, seperti para penguasa yang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan, mereka itu walaupun kekafirannya qath’iy bagi orang yang telah men-tahqiq (meneliti) masalah ini, akan tetapi munculnya syubhat mungkin saja ada sehingga orang yang tidak mengkafirkannya tidak dikafirkan kecuali kalau sudah ditegakkan hujjah serta dilenyapkan syubhat dan dia mengetahui bahwa hukum Allah pada mereka adalah pengkafiran.
- Pengkafirannya itu masalah ijtihadiyah ada perselisihan di antara kaum muslimin, seperti hukum orang yang meninggalkan shalat, meninggal zakat. Orang yang tidak mengakfirkan orang yang meninggalkan shalat maka dia tidak dikafirkan bahkan tidak dianggap sebagai ahli bid’ah selama ushulnya ushul Ahlussunnah wal Jama’ah.[15]
- Barangsiapa meyakini bahwa selain tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam adalah lebih sempura dari pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, atau orang yang meyakini bahwa hukum selain hukum Nabi shallallahu ‘alaihi wa salamatau putusan selain putusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam lebih baik dari pada hukumnya atau putusannya, maka orang semacam itu kafir.
Orang yang menerapkan undang-undang buatan manusia secara otomatis
dia lebih meyakini bahwa undang-undang ini lebih utama dari pada hukum
Islam karena tidak mungkin orang itu berpaling kepada yang lebih rendah,
maka dia kafir meski hatinya mengingkari disebabkan karena perbuatannya
yang menerapkan undang-undang tersebut. Nabi shallallahu ‘alaih wa salam dalam khutbah jumu’ah mengatakan “..adapun
setelah ucapan ini.. maka sebaik baik ucapan adalah Kitabulloh dan
sebaik baik petunjuk adalah tuntunan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
salam.”
Dan sudah maklum bahwa diinul Islam ini dibangun dia atas dua pondasi
yaitu al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan tuntunan Nabi merupakan
pengukuhan bagi diin ini dan pengamalan serta penafsirannya. Sehingga
barangsiapa mengklaim bahwa selain tuntunan Nabi lebih sempurna dari
pada tuntunan-Nya maka dia itu telah mengklaim bahwa selain diinul Islam
itu lebih sempurna dari pada diinul Islam dan ini merupakan kekafiran
berdasarkan ijma’ kaum muslimin.
Allah Ta’ala telah memberikan karunia terhadap umat ini dengan
menyempurnakan diin ini untuk mereka dan telah menyempurnakan nikmat
untuk mereka dengan disempurnakannya diinul Islam.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتي وَ رَضيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ ديناً
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridlai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah : 3).
Sehingga apa yang Allah ridlai untuk kita itu adalah diin yang paling sempurna, paling utama dan paling mudah. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam
telah menyampaikan diin ini, menjelaskannya dan mengamalkannya,
sehingga tuntunan beliau ini adalah ad-diin. Dan diin sudah sempurna,
tidak ada diin atau tuntunan yang lebih sempurna daripada diinul Islam
dan daripada tuntunan nabi.
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridlai) disisi Allah hanyalah Islam” (Ali Imran : 19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran : 85)
Dan ucapan diatas yaitu barangsiapa meyakini bahwa selain hukum Nabi
lebih sempurna dari pada hukumnya, ini adalah masalah berhukum kepada
selain apa yang Allah turunkan. Orang yang memutuskan dengan selain apa
yang Allah turunkan itu ada dua keadaan ;
- Orang yang asal rujukannya adalah syari’at dan dia tidak memiliki rujukan dan sumber kecuali syari’at, kemudian dia menyelisihinya dimana dia memutuskan dengan apa yang menyelisihi syari’at[16] pada suatu kali.
- Dia mengganti hukum syari’at yang shahih sharih dengan hukum yang lainnya, dan menjadikan hukum yang lain sebagai pengganti hukum syari’at. Dimana dia menggugurkan hukum syari’at dan menjadikan hukum lain sebagai penggantinya. Nanti akan datang perincian dua hal tersebut.
Syaikh Muhammad ibnu Ibrahim rahimahullah mengatakan,
“Pemberlakuan syari’at Allah saja dengan meninggalkan lainnya itu adalah
Syaqiq. Karena kandungan daripada syahadatain itu adalah Allah-lah
satu-satunya Dzat yang diibadati tidak ada sekutu bagi-Nya, adalah
Rasulullah yang diikuti dan yang menjadi rujukan hukum tidak ada
selainnya. Dan pedang-pedang jihad tidak dihunus kecuali demi hal
tersebut, dan menegakkannya secara perbuatan dan meninggalkan kehakiman
dan meninggalkan saat terjadi perselisihan.”
Maksudnya pemberlakuan syari’at itu adalah kandungan kalimat Tauhid.
Al Imam Asy-Syinqithiy rahimahullah mengatakan, “Penyekutuan
Allah dalam putusan-Nya dan penyekutuan Allah dalam ibadahnya itu satu
makna tidak ada perbedaan diantara keduanya sama sekali. Sehingga orang
yang mengikuti aturan selain aturan Allah dan orang yang mengikuti hukum
atau undang-undang selain hukum Allah itu statusnya sama seperti orang
yang mengibadati patung dan sujud berhala, tidak ada perbedaan diantara
keduanya sama sekali, kedua-keduanya satu dan status keduanya sama yaitu
musyrik.” (Adlwa’ul Bayan, Juz 7 hal. 162).
Sesungguhnya berhukum kepada selain apa yang Allah turunkan ada yang
merupakan kafir akbar yang mengeluarkan dari millah dan ada juga yang
tidak mengeluarkan dari millah. Dan hakim yang memutuskan dengan selain
apa yang telah Allah turunkan tidak lepas dari keadaan-keadaan berikut ;
- Memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan dalam kasus tertentu karena dorongan suap, atau hawa nafsu atau hal lainnya dengan tetap dia komitmen kepada hukum Allah pada pokoknya.[17]
- Dia mendatangkan undang-undang dari dirinya sendiri dan memutuskan dengannya tanpa dipaksa.
- Dia mengutip atau mengambil undang-undang atau aturan-aturan dari undang-undang dasar lain dan dia memutuskan dengannya tanpa dipaksa.
- Memutuskan dengan undang-undang hakim sebelumnya atau meneruskan undang-undang sebelumnya tanpa dipaksa.
- Memutuskan dengan undang-undang yang menyelisihi syari’at karena terpaksa.
- Memutuskan dengan undang-undang yang menyelisihi syari’at secara jahil.
- Keadaan yang pertama barangsiapa memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan dalam kasus tertentu padahal dia mengetahui dan mengakui kewajiban memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, tapi karena dorongan suap atau hawa nafsu dia berpaling dari putusan syari’at dengan disertai pengakuan dalam dirinya bahwa dirinya salah dan dia tidak menjadikan putusan yang menyelisihi syari’at itu sebagai pengganti syari’at atau tidak menjadikan hukum yang baku maka orang ini kekafirannya termasuk kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari millah. Dan terhadap makna inilah ucapan ibnu ‘Abbas kufrun duna kufrin dibawa, karena ibnu ‘Abbas mengatakan itu pada zaman Bani Umayyah sedangkan Bani Umayyah memutuskan dengan syari’at Islam akan tetapi terjadi pada sebagian mereka kedzaliman dalam putusan. Dan mereka tidak membuat undang-undang yang menyelisihi hukum Allah sebagai pengganti hukum Allah, dan mereka tidak memaksa manusia dengannya. Pemutusan dengan undang-undang buatan itu tidak dikenal kecuali pada zaman Tartar.
Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh rahimahullah mengatakan,
“Adapun macam kedua dari dua macam kekafiran hakim yang memutuskan
dengan selain apa yang Allah turunkan yaitu yang tidak mengeluarkan dari
millah, maka telah lalu penafsiran ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
terhadap firman Allah “Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir” (al-Maidah : 44) telah mencakup macam ini. Dimana pada ucapan beliau ketika menjelaskan kufrun dunaa kufrin dan juga ucapannya bukan kekafiran yang kalian maksudkan tetapi kufurn duuna kufrin. Yaitu hawa nafsunya mendorong dia untuk memutuskan dalam kasus tertentu dengan selain apa yang Allah turunkan dengan disertai keyakinan dia bahwa pemutusan Allah dan Rasul-Nya adalah yang benar.[18] Dan pengakuan dia terhadap dirinya bahwa dirinya salah dan menyelisihinya”. (ada-Durrar as-Saniyah, juz 16 hal. 218)
Dan Beliau rahimahullah berkata, “Adapun yang dikatakan
kufrun duna kufrin itu bila dia memutuskan kepada selain apa yang Allah
turunkan dengan disertai keyakinan bahwa dirinya maksiat dan bahwa
keputusan Allah-lah yang benar. Itu yang muncul darinya satu kali,
adapun yang menjadikannya undang-undang dengan tersusun maka dia kafir walaupun mereka mengatakan kami salah dan hukum Allah lebih adil.” (Fatawa Muhammad bin Ibrahim, Juz 12 hal. 280)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya
pemutusan dengan selain apa yang Allah turunkan itu mencakup dua kufur
yaitu kufur akbar dan kufur Ashghar sesuai dengan keadaan
si hakim. Sesungguhnya bila dia meyakini wajibnya memutuskan dengan apa
yang Allah turunkan dalam kasus tertentu dan bahwa dia berhak
mendapatkan hukuman dan sanksi maka ini adalah termasuk kufur asghar.”
(Madarijus Salikin, Juz 1 hal. 336).
Perhatikan ucapan syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah (kasus tertentu) dalam Qadhiyah Mu’ayyanah (kasus tertentu) dan ucapannya “sekali”, Serta ucapan Ibnu Qayyim rahimahullah dalam “keadaannya”.
Sesungguhnya ini menunjukkan bila dia menjadikan putusan yang
menyelisihi putusan Allah itu hukum yang baku maka tidak masuk dalam
pembahasan ini yaitu kufur ashghar, akan tetapi masuk dalam kufur akbar.
- Keadaan yang kedua, orang yang mendatangkan hukum atau undang-undang buatan dirinya sendiri dan memutuskan dengannya tanpa dipaksa adalah kufur akbar yang mengeluarkan dari millah. Yang demikian itu dikarenakan bila dia mendatangkan undang-undang dari dirinya sendiri sedangan dia mengetahui bahwa Allah telah menetapkan hukum dan merinci setiap permasalahan akan tetapi dia dengan pengetahuannya itu tetap merubah dan mengganti, dan justru mengharuskan manusia untuk tunduk kepadanya maka dia itu berarti musyarri’ (membuat hikum) menandingi Allah atau menyaingi Allah dalam Rububiyah-Nya dalam Hukum-Nya. Dan dia memposisikan akalnya dan pikirannya yang rusak lagi terbatas setingkat pada ‘ilmu Allah dan hikmah-Nya, dan ini termasuk pengguguran kalimat syahadat yang paling besar.
- Keadaan yang ketiga, orang yang mengambil undang-undang itu dari undang-undang dasar lain dan dia memutuskannya tanpa dipaksa[19] hukumnya adalah kufur akbar. Dikarenakan dengan tindakannya ini dia mengganti hukum Allah dengan hukum lain serta dia menolak hukum Allah, mengedepankan hukum selain Allah terhadap hukum Allah. Status vonis ini sama tidak ada perbedaan yaitu kufur akbar, baik dia mendatangkan hukum itu dari dirinya sendiri atau mengambil dari kitab-kitab Allah yang telah di nasakh (Taurat dan Injil) atau mengambil dari undang-undang dasar dari negara lain. semuanya itu sama bahwa dengan tindakannya itu berarti dia mengganti hukum Allah dengan hukum yang dia ambil dan memposisikan hukum selain Allah sebagai pemutusan dalam permasalahan.
- Keadaan yang ke-empat, memutuskan dengan undang-undang yang sudah ada sebelumnya tanpa dipaksa ini adalah kufur akbar. Karena kekafiran ini terletak pada pemberlakuan undang-undang itu sebagai pengganti hukum Allah baik dia yang membuatnya atau orang lain yang membuatnya.
- Keadaan yang kelima, meutuskan dengan undang-undang selain Allah karena dipaksa. Penguasa yang memutuskan dengan selain syari’at bila dia mengklaim dipaksa maka tidak di anggap dengan beberapa hal berikut :
- Karena dia tidak dipaksa untuk menjadi hakim atau penguasa terhadap kaum muslimin, jika dia dipaksa maka dia wajib mengundurkan diri. Kalau dia mengklaim dipaksa dan tidak bisa menghindar dari memutuskannya maka dia harus memilih kematian dari pada melakukan kekafiran yang mudlaratnya kepada orang lain. Karena mafsadat dia dibunuh itu lebih ringan daripada mafsadat dia memutuskan di antara manusia dengan selain syari’at. Mafsadat dia dibunuh itu lebih ringan dari pada menundukkan manusia kepada hukum thaghut.
Syaikh Sulaiman ibnu Sahman rahimahullah mengatakan,
“Seandainya penduduk desa dan kota saling membunuh sampai terbunuh semua
tentu itu lebih ringan di sisi Allah daripada mereka mengangkat thaghut
di atas muka bumi ini yang memutuskan hukum selain syari’at Islam yang
mana Allah telah mengutus Rasulullah dengan syari’at tersebut.”
- Dibawah tekanan dan tidak memiliki kelayakan.
- Putusan dia dengan selain syari’at itu menjadi jalan untuk menjatuhkan manusia kepada kekafiran, yaitu dengan tugasnya dia membuat manusia ridla dengan putusan selain syari’at dan tahakum kepada thaghut sehingga mereka jatuh kepada kekafiran. Dan fitnah dalam diin ini lebih besar (alfitnatu asaddu minal qatl).
- Memutuskan dengan syari’at itu ibadah dan tahakum kepada syari’at itu ibadah, dan tidak boleh memaksa manusia untuk ibadah kepada selain Allah dan untuk tunduk berserah diri kepada putusan selain putusan Allah.
Dengan hal-hal ini dan realita sekarang berarti tidak ada hakim yang mukrah.
- Keadaan yang ke-enam, memutuskan dengan undang-undang yang menyelisihi syari’at dikarenakan jahil (tidak tahu). Sebelum memutuskan perlu engkau ketahui bahwa kejahilan termasuk penghalang kekafiran, akan tetapi tidak begitu saja segala kejahilan itu diudzur. Kebodohan yang pelakunya diudzur itu bila dia tidak mampu melenyapkan kebodohan dari dirinya, seperti orang yang hidup jauh dipedalaman yang mana jauh dari ilmu dan ulama atau baru masuk Islam dan tidak mengetahui hukum yang dia jatuh kepada kekafiran di dalamnya. Adapun jika dia bisa melenyapkan kebodohan (adanya tamakkun) dari dirinya dan dia teledor atau malas maka dia tidak di udzur kebodohannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah
mengatakan, “Hujjah Allah dengan Rasul-Rasul-Nya itu telah tegak dengan
adanya kesempatan untuk mengetahui. Bukan termasuk syarat tegak hujjah
Allah itu tahunya orang yang di dakwahi terhadap hujjah itu. Oleh sebab
itu keberpalingan orang-orang kafir dari mendengarkan al-Qur’an dan dari
mentadaburinya tidaklah menjadikan penghalang dari tegaknya hujjah
Allah terhadap mereka. Begitu juga keberpalingan mereka dari
riwayat-riwayat dan ajaran-ajaran para Nabi terdahulu hal itu tidak
menghalangi tegaknya hujjah. Orang tidak tahu tetapi ada kesempatan
berarti hujjah tetap tegak, karena kesempatan itu sudah terbukti.”
(Majmu’ Fatawa Juz 1, hal 112-113).
Catatan :
Tidak disyaratkan dalam penyematan vonis kafir pada pelakunya itu dia
mengetahui bahwa perbuatannya itu kekafiran, akan tetapi cukup dia
mengetahui bahwa Allah melarangnya.
Bila orang mengetahui bahwa Allah mengharamkan suatu hal dan dia
tidak mengetahui bahwa itu suatu kekafiran maka dia kafir dengan
melakukannya walaupun tidak tahu bahwa perbuatannya kekafiran. Dan
dalil-dalil mengenai hal ini yaitu orang-orang yang memperolok-olok
sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka mengetahui bahwa perbuatan
itu haram akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa perbuatan itu
merupakan kekafiran, namun demikian Allah Ta’ala memvonis mereka kafir
dalam firman-Nya :
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُم
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka
lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah
bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan
Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah
kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (At-Taubah 9 : 65-66).
Dari Salamah ibnu Shakhr al-Bayadhi mengetahui bahwa jima’ di bulan
Ramadlan itu haram akan tetapi dia tidak mengetahui bahwa perbuatan itu
mendatangkan kafarah, tatkala menggauli istrinya dia datang kepada Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wa salam dan mengkhabarkannya perbuatannya itu. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengharuskan dia membayar kafarah, dan tidak menggugurkan kafaroh itu karena ketidaktahuan akan hal itu.[20]
- Barangsiapa membenci sesuatu dari apa yang dibawa Rasulullahu shalallahu ‘alaihi wa salam walaupun dia mengamalkannya maka dia kafir.
Ini adalah berdasarkan kesepakatan para ulama sebagaimana yang
dinukil oleh kitab Al-Iqna dan selainnya. Allah Ta’ala berfirman seraya
memvonis kafir orang yang membenci apa yang diturunkan kepada Rasul-Nya.
وَالَّذِينَ كَفَرُوا فَتَعْسًا لَهُمْ وَأَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Dan orang-orang yang kafir, maka celakalah mereka, dan Allah
menghapus segala amalnya. Yang demikian itu karena mereka membenci apa
yang diturunkan Allah (Al Qur’an), maka Allah menghapus segala amal
mereka.” (Muhammad : 8-9)
Membenci sebagian apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam baik berupa ucapan dan amalan termasuk macam dari macam kemunafiqan i’tiqadhi[21] dan ini termasuk kekafiran yang mana berada di neraka yang paling dasar. Membenci dari sesuatu diin ini ada dua bentuk, yaitu;
- Membenci sesuatu dari diin dari sisi ajarannya[22] maka dia kafir.
- Membencinya bukan karena dari sisi syari’atnya, tapi dia tidak menyukai dari sisi tabi’at. Padahal dia mengakui dan mengetahui bahwa itu adalah kebenaran seperti Jihad dari sisi beratnya jihad, jika dia meninggalkannya dia berdosa.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah
sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia
amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal
ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (al-Baqarah : 216).
Karena jihad (perang) ini tidak disukai dari sisi didalamnya ada
kebinasaan bagi jiwa, seperti orang yang tidak mau mengeluarkan zakat
karena kepelitannya bukan karena ajarannya maka ini tidak kafir, tapi
jika membenci syari’at jihad di karenakan dari ajarannya maka dia kafir
atau enggan membayar zakat karena dari membenci ajarannya maka dia
kafir.
- Orang yang memperolok-olokan sesuatu dari ajaran Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wa salam ataupun pahalanya ataupun siksanya.
Dalilnya adalah Allah Ta’ala berFirman
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka
lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah
bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan
Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah
kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (At-Taubah 9 : 65-66).
Memperolok-olok sesuatu dari ajaran Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wa salam itu merupakan kekafiran berdasarkan ijma’ kaum muslimin, Walaupun tidak bermaksud kepada hakikat perolok-olokan.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Jarir dan ibnu Abi Hatim dan Abul Syaikh dan dan selain mereka dari ‘Abdullah ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhuma
berkata, seorang pria dalam perang Tabuk dia mengatakan, “Kami tidak
melihat seperti para Qura’ kami ini, dimana mereka ini orang yang paling
buncit perutnya, paling dusta lisannya dan paling pengecut ketika
bertemu musuh”. Seorang pria dalam majelis tersebut berkata “kamu dusta!
akan tetapi kamu ini orang munafiq. Saya benar-benar akan melaporkan
ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam,” maka hal itu sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan Al-Qur’an turun. ‘Abdullah ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhuma
mengatakan “maka saya melihat dia bergelantungan di tali pelana unta
Rasulullah sedangkan kakinya tersandung-sandung bebatuan sambil
mengatakan “wahai Rasulullah sesungguhnya kami ini bercanda dan
main-main”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya (dengan membacakan Firman Allah):
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (At-Taubah 9 : 65-66).
Ucapan mereka “kami hanyalah bercanda dan bermain main”
yaitu kami tidak bermaksud kepada hakikat perolok-olokan, namun yang
kami maksud adalah bermain, bercanda dan bersenda gurau saja yang
dengannya kami memutus kepenatan perjalanan saja sebagaimana dalam
sebagian riwayat hadits, namun demikian Allah tetap mengkafirkan mereka.[23]
Karena permasalahan ini (diin) tidak dimasuki oleh senda gurau dan main-main atau menjadi bahan lelucon.[24]
Mereka ini menjadi kafir karena ucapan ini, padahal sebelumnya mereka
adalah orang-orang mukmin. Dan memperolok-olokan itu ada dua bentuk ;
- Memperolok-olokan sebagian ajaran diin, seperti orang yang melecehkan shalat, adzan dan semisalnya yang itu merupakan syi’ar-syi’ar diin murni maka itu adalah kekafiran.
- Memperolok-olokan kepada orang yang mengamalkan sunnah atau mengamalkan syari’at, maka ini ada dua keadaan ;
- Dia memperolok-olokan itu karena dia menerapkan sunnah dan mengamalkan syari’at. Dan ini adalah perolokan terhadap diin maka ini merupakan kekafiran.
- Memperolok kepada pribadi orangnya bukan karena Sunnah dan diinnya yang dia amalkan maka ini adalah kefasiqan bukan kekafiran.
Dan termasuk memperolok terhadap diin adalah melantunkan ayat
al-Qur’an ditabuhi bedug atau alat musik sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik”. (HR. Bukhariy)
Rasulullahu shallahu ‘alaihi wa salam telah mengharamkan
alat musik bahkan para ulama mengharamkan mendengarkan dan memainkan
alat musik, lalu apa gerangan orang yang memainkan alat musik yang
diharamkan tersebut dengan ayat Al-Qur’an sambil di nyanyikan. Termasuk
perolok diin adalah orang yang melakukan maksiat (minum khamr, berzina
atau lainnya) dengan membaca bismillah maka dia kafir karena dia melecehkan Asma Allah.
Hendaknya jika kita bercanda, bergurau atau bermain-main jangan
menggunakan kalimat syar’iy atau muatannya dengan hal-hal yang kaitannya
diin syari’at.
Catatan penting :
Wajib atas setiap muslim untuk memberantas orang-orang yang memperolok-olok Dinullah dan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam
walaupun dia karib kerabat. Dan tidak boleh duduk-duduk bersama mereka
agar tidak menjadi atau tidak termasuk golongan mereka. Sebagaimana
Allah Ta’ala berfirman :
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam
Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk
beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena
sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan
mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik
dan orang-orang kafir di dalam Jahannam.” (an-Nisa : 140)
Barangsiapa yang mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokan sedang dia duduk bersama mereka dan tidak meninggalkan
mereka maka dia sama kafirnya dengan mereka dan dia telah keluar dari
Islam. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :
احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ
“(kepada Malaikat diperintahkan): “Kumpulkanlah orang-orang yang dzalim beserta teman sejawat mereka” (ash-shaffat : 22)
Para ulama mengistilahkan Perolok-olok diin ini bagaikan lautan tak bertepi.
- Sihir
Di antaranya Sharfu[25] dan al-’Athfu,[26] barangsiapa yang melakukannya dan yang ridla dengannya maka dia kafir. Dalilnya Firman Allah Ta’ala
وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan
kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang
keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum
mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu
janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu
apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang
(suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi
mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah.
Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan
tidak memberi manfaat.” (al-Baqarah : 102)
Sihir itu digunakan secara bahasa kepada segala sesuatu yang samar
dan lembut sebabnya. Dan secara syari’at sihir itu buhul-buhul dan
jampi-jampi yang dengannya si tukang sihir berupaya mencapai untuk bisa
menggunakan setan-setan supaya memadharatkan orang yang disihir itu. Dan
ada pula yang mendefinisikan lain.
Syaikh asy-Syinqithiy rahimahullah berkata, “Ketahuilah
bahwa sihir itu tidak mungkin dibatasi didefinisikan dengan definisi
yang mencakup seluruh macamnya dan menghalangi dari yang bukan masuk
kedalamnya, karena banyaknya ragam dan macam yang masuk dalam kategori
sihir. Tidak tercapai kadar yang sama diantara hal-hal yang beraneka
ragam ini yang bisa menyatukan dan yang bisa menghalangi lainnya yang
bisa masuk kedalam definisi ini. Dan dari sinilah ungkapan-ungkapan para
ulama beraneka ragam dalam mendefinisikan sihir tersebut.”
Sihir itu memiliki hakikat, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah berbeda dengan Mu’tazilah mengenai hal ini.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dan ini (Mu’tazilah) menyelisihi apa yang telah mutawatir
dari para sahabat dan salaf, dan menyelisihi apa yang telah disepakati
oleh fuqaha, ahlu tafsir, ahlu hadits, dan para ahli pengkajian hati
(tazkiyatun nafs) dari kalangan tasawuf, dan apa yang diketahui oleh
seluruh oleh orang-orang yang berakal. Dan sihir yang memiliki pengaruh
seperti sakit, cinta jadi benci dan pengaruh lainnya itu ada dan
diketahui secara nyata yang tidak bisa diingkari dan diketahui oleh
banyak manusia.” (Bada-i’u Fawaid Juz 2, hal 227)
Dan termasuk sihir itu ash-sharfu dan ‘athfu, ash-sharfu yaitu memalingkan seseorang dari yang dia cintai seperti memalingkannya hingga menjadi benci. sedangkan al-’athfu yaitu praktek sihir seperti sharfu akan tetapi menjadikan seorang pria mencintai apa yang tidak dia cintai dengan cara-cara setan.
- Hukum tukang sihir.
Para ulama berselisih tentang tukang sihir apakah dia kafir atau tidak,[27] dlahir ucapan penulis (Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab) sihir itu kafir sebagaimana firman-Nya :
إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ
“Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. (al-Baqarah :102).
Dan ini adalah madzhab imam Ahmad, Malik, Hanafi dan jumhur ulama.
Imam Syafi’iy berpendapat bahwa apabila orang belajar sihir maka diminta
untuk menerangkan atau menjelaskan sihirnya, jika yang dilakukannya itu
mensifati bentuk-bentuk yang merupakan kekafiran maka kafir. Kalau yang
dilakukannya itu tidak sampai kekafiran maka tidak kafir.
Imam asy-Syinqithiy rahimahullah berkata : “Yang benar dalam
masalah ini ada perincian, kalau dalam sihir itu ada pengagungan
terhadap selain Allah seperti kepada bintang, jin dan lainnya yang
menghantarkan kepada kekafiran maka ini kafir tanpa ada perselisihan.
Dan termasuk macam ini sihirnya Harut dan Marut dalam surat al-Baqarah: “Padahal
Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan
lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada
manusia,” dan juga firman-Nya, “Sedang
keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum
mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu
janganlah kamu kafir”, dan firman-Nya, “Dan sungguh, mereka
sudah tahu, barangsiapa yang menukar (Kitab Allah) dengan sihir itu,
niscaya tidak akan mendapat keuntungan di akhirat,” dan juga firman-Nya, “Dan tidak akan menang pesihir itu, dari mana pun ia datang” (Thaha : 69).
Kalau sihir itu tidak menyebabkan kekafiran seperti menggunakan
ramuan-ramuan, minyak-minyak dan lainnya itu merupakan keharaman dan
pelakunya tidak kafir.” (Tafsir Adlwa’ul Bayan, Juz 1)
Ketahuilah bahwa tukang sihir dengan dua keadaannya tadi, baik yang
menggunakan setan maupun ramuan itu wajib dibunuh menurut pendapat yang
shahih karena dia membuat kerusakan dibumi, memisahkan seseorang dari
istrinya. Dan membiarkannya ada dimuka bumi mengandung bahaya besar dan
kerusakan yang besar baik itu individu dan masyarakat, sehingga dengan
membunuhnya itu memutus kerusakannya dan menenangkan manusia dari
keburukannya.
Dari Bajalah ibnu ‘Abdah rahimahullah berkata “Saya penulis bagi Jaz’i bin Mu’awiyah, kemudian datang kepada kami surat dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu kepada
kami yang memerintahkan kami untuk membunuh semua tukang sihir
laki-laki dan perempuan maka kamipun membunuh tiga orang sihir.”
Tidak ada perselisihan diantara sahabat radhiyallahu ‘anhum tentang keharusan membunuh tukang sihir.
- Hukum Nushrah
Yaitu melepaskan sihir dari orang yang disihir. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Melepaskan sihir dari orang yang di sihir ada dua macam ;
- Mengobati sihir dengan sihir juga, dan inilah yang termasuk perbuatan setan. Dan ucapan Hasan di bawa ke makna ini “Tidak ada yang melepaskan sihir kecuali tukang sihir.” Dimana orang yang mengobatinya dan yang minta diobatinya taqarrub kepada setan dengan apa yang diminta setan itu, maka setan itu melepaskan pengaruhnya kepada orang yang kena sihir dan ini tidak boleh.
- Mengobati sihir dengan ruqyah, obat-obatan seperti memakai daun bidara dan do’a-do’a ini hal yang mubah.
Pergi ke tukang sihir, ke dukun, ke ahli nujum ke orang pintar untuk
sekedar bertanya tanpa membenarkan perkataannya itu termasuk dosa besar
dan shalatnya tidak di terima selama 40 hari
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima.” (HR. Muslim)
Adapun jika bertanya terus mempercayainya maka dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam berdasarkan hadits riwayat hakim dan Ahmad dengan sanad yang shahih :
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia
membenarkannya, maka ia berarti telah kufur pada Al Qur’an yang telah
diturunkan pada Muhammad.” (HR. Ahmad)
- Membantu orang-orang musyrik dan menolong mereka dalam memerangi kaum Muslimin.
Dalilnya firman Allah Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka
adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang lalim” (Al Maidah: 51)
Imam ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya firman
Allah itu sesuai dengan dlahirnya bahwa orang yang tawalliy adalah
kafir, termasuk barisan orang-orang kafir dan ini adalah kebenaran yang
tidak diperselisihkan oleh kaum muslimin.” (al-Muhalla Juz 11 hal, 71).
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Setelah menyebutkan firman Allah Ta’ala (Janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu;
sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain.) hingga ayat (Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya). Orang-orang yang di-khithabi dengan larangan dari tawalliy
kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani ini mereka itu adalah mereka yang
dikhithabi dengan ayat riddah ini. Dan sudah maklum bahwa ini mencakup
seluruh generasi umat, yaitu bahwa Allah tatkala melarang dari muwallah
kepada orang-orang kafir dan Allah menjelaskan bahwa orang yang
tawalliy kepada orang-orang kafir itu bahwa dia termasuk bagian dari
mereka. Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang tawalliy kepada Yahudi,
Nasrani, orang kafir dan murtad dari Islam sama sekali tidak merugikan
Islam. Akan tetapi Allah akan mendatangkan kaum yang Allah mencintai
mereka dan mereka mencintai Allah dimana mereka itu tawallinya kepada
orang-orang mukmin bukan kepada orang-orang kafir dan mereka berjihad
dijalan Allah dan mereka tidak takut terhadap orang-orang yang mencela.
Sebagaimana yang Allah jelaskan (Jika orang-orang itu mengingkarinya, maka kami akan menyerahkannya kepada kaum yang tidak mengingkarinya
(al-An’am : 89)). Mereka itu adalah orang-orang yang dulu tidak masuk
Islam (orang kafir Arab) dan mereka itu adalah orang-orang yang sudah
keluar dari Islam setelah mereka masuk Islam, kedua macam ini mereka itu
tidak merugikan dan tidak membahayakan Islam sedikitpun. Akan tetapi
Allah pasti akan menegakkan dan menyiapkan orang yang beriman apa yang
dibawa Rasul dan membela diinya sampai hari kiamat” (Majmu’ Fatawa, Juz
18, hal 300).
Dan Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah
mengatakan, “Sesungguhnya dalil-dalil yang menunjukkan pengkafiran orang
muslim bila menyekutukan Allah atau dia bergabung dengan musyrikin
dalam memerangi kaum muslimin. Dalil penjelasan ini sangat banyak sekali
dalam al-Qur’an, Sunnah dan perkataan para ‘ulama.” (ar-Rosail
asy-Syakhsiyah, hal. 272).
Syaikh ‘Abdullah bin Latif alu Syaikh rahimahullah
mengatakan, “Barangsiapa mengundang mereka (orang-orang musyrik) dan
membantu mereka dalam memerangi kaum muslimin maka itu bentuk dengan
bentuk bantuan apa saja maka itu sama saja kemurtadan yang jelas.”
(ad-Durar as-Saniyah, juz 10 hal. 429).
- Barangsiapa meyakini bahwa sebagian orang boleh keluar dari syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam sebagaimana bolehnya Nabi Khidr keluar dari syari’at Nabi Musa maka dia kafir
Itu dikarenakan mengandung pendustaan Allah Ta’ala
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ
“Sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus, maka
ikutilah ia! Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain,
karena hal itu akan memecah-belah kalian dari jalan-Nya.” (al-An’am: 153).
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran : 85)
Hadits Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wa salam :
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ نَصْرَنِيٌ وَلاَ يَهُوْدِيٌ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi dzat yang jiwa Muhammad ditangan-Nya. Tiada seorang-pun dari umat ini yang mendengar seruanku, baik Yahudi maupun Nasrani, tetapi ia tidak beriman kepada seruan yang aku sampaikan, kemudian ia mati, pasti ia termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam itu ajarannya menghapus
ajaran-ajaran Nabi sebelumnya dan kitabnya menghapus seluruh kitab-kitab
sebelumnya. Allah telah mengutus kepada seluruh umat manusia.
النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً ، وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Setiap Nabi hanya diutus kepada umatnya, sedangkan aku diutus kepada seluruh umat manusia.” (HR. al-Bukhari)
Barangsiapa yang tidak beriman kepadanya dan tidak mengikutinya maka
dia termasuk orang-orang sesat di dunia dan di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi. Seperti halnya Demokrasi yang mana ajaran
Demokrasi ini tidak membolehkan orang untuk mengikuti ajaran Islam dalam
tatanan kehidupan.
Dan di riwayatkan oleh an-Nasa’i dan yang lainnya meriwayatkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam melihat di tangan ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ada lembaran Taurat, maka Rasul mengatakan, “Apakah engkau tidak cukup wahai ibnu Khaththab aku telah datang kepada kalian dengan ajaran ini yang putih lagi bersih. Demi Dzat yang jiwa berada ditangan-Nya seandainya Musa hari ini hidup maka tidak ada jalan lain baginya kecuali mengikutiku.” (HR. Ahmad dan al-Baihaqiy)
- Berpaling dari diin Allah Ta’ala tidak mempelajarinya dan tidak mengamalkannya.
Dalilnya Firman Allah Ta’ala
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ
“Dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang
yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian dia
berpaling darinya? Sungguh, Kami akan memberikan balasan kepada
orang-orang yang berdosa.” (as-Sajadah : 22)
Dan yang dimaksud dengan keberpalingan yang membatalkan keislaman itu
adalah keberpalingan dari mempelajari ashlu diin (tauhid) yang
dengannya seorang menjadi seorang muslim. Seandainya dia jahil terhadap
urusan-urusan rincian dalam perkara diin maka dia masih muslim dan hal
ini tidak di ketahui kecuali oleh para ulama dan para penuntut ilmu.
Kadar minimal untuk menjadi seorang muslim adalah mempelajari tentang tauhid dan melaksanakan shalat.
Syaikh Sulaiman ibnu Sahman rahimahullah mengatakan, “Orang
tidak menjadi kafir kecuali dengan berpaling dari mempelajari pokok yang
dengannya seorang masuk ke dalam Islam bukan dengan meninggalkan
kewajiban dan hal-hal yang mustahab.”
Dan maksud perkataan Syaikh Sulaiman “bukan dengan meninggalkan kewajiban dan hal-hal yang mustahab”
yaitu meninggalkan sebagian kewajiban yang mana meninggalkannya itu
kemaksiatan bukan merupakan kekafiran dan bukan meninggalkannya secara
total atau yang sehukum dengannya. Karena hal yang baku dikalangan
Ahlussunnah bahwa meninggalkan jenis amal (tidak beramal sama sekali
cukup syahadat) maka ini kafir,Seperti orang yang meninggalkan shalat
menurut jumhur shahabat radliyallahu ‘anhum.”
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan “Kufur akbar itu ada
lima, maka beliau menyebutkannya… Kemudian berkata, “Adapun kufur
keberpalingan maka dia itu berpaling dengan pendengarannya, dengan
hatinya dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam, dia tidak
membenarkannya dan tidak mendustakannya, dan tidak loyal padanya serta
tidak memusuhinya, dan tidak mau memperhatikan atau mendengarkan sama
sekali apa yang dibawa.” (Madarijus Salikin)
Dari penjelasan terhadap makna keberpalingan ini jelaslah dihadapanmu status hukum banyak orang-orang penyembah kubur[28] di zaman kita ini dan zaman sebelumnya sesungguhnya mereka itu berpaling dari apa yang dibawa Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam.
Mereka secara total berpaling dengan pendengaran dan hatinya, tidak mau
memperhatikan nasihat orang yang tulus, arahan orang yang memberikan
arahan. Orang-orang semacam itu kafir karena keberpalingan mereka
وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُون
“Namun orang-orang yang kafir berpaling dari peringatan yang diberikan kepada mereka.” (al-Ahqaf : 3)
Pasal
Tidak ada perbedaan di antara pembatal-pembatal keislaman ini antara yang bersenda gurau,[29] yang serius,[30] yang takut[31] kecuali orang yang di paksa. Dalilnya :
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi
orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah
menimpanya dan baginya azab yang besar. Yang demikian itu disebabkan
karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan didunia lebih dari
akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang
kafir.” (an-Nahl : 106-107)
Allah tidak mengudzur dari mereka itu kecuali orang yang di paksa
(ikrah) dengan syarat hatinya tetap teguh dengan keimanan. adapun selain
ini (ikrah) maka dia telah kafir setelah dia beriman, sama saja dia
melakukannya karena takut, atau karena dunia (jabatan), atau mencari
simpati orang atau berat dengan tanah airnya, atau berat dengan
keluarganya, atau dengan marganya, atau berat dengan hartanya, atau dia
melakukannya dalam rangka bercanda atau untuk tujuan-tujuan lainnya kecuali Mukrah (orang yang dipaksa).
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada
perselisihan diantara kaum muslimin bahwa tidak boleh mengidzinkan atau
memerintahkan ucapan kekafiran untuk tujuan apapun, barangsiapa yang
mengucapkannya maka dia kafir kecuali mukrah dia mengucapkannya dengan lisannya dan hatinya tetap dalam keimanan.” (Fatawa al Kubra juz 6, hal 86)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tidak ada
perselisihan diantara umat ini bahwa tidak boleh mengizinkan mengucapkan
untuk tujuan apapun kecuali orang yang dipaksa dan hatinya tetap teguh
dalam keimanan.” (I’lamul muwaqi’in juz 3 hal 145)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Diantara hal-hal
yang diharamkan itu ada dua, diantaranya ada yang dipastikan bahwa
syari’at tidak pernah membolehkannya sesuatupun darinya baik dalam
kondisi dlarurat maupun tidak seperti syirik, dusta atas nama Allah,
fawahisy dan kedhaliman” (Majmu’ Fatwa)
Ayat diatas menunjukkan terhadap hal ini dari dua sisi :
- Firman-Nya “Kecuali orang yang di paksa.”
Allah tidak mengecualikan orang yang di paksa, dan sudah maklum bahwa
orang itu tidak bisa di paksa kecuali terhadap perkataan dan perbuatan.
Adapun keyakinan hati maka tidak seorangpun yang bisa terhadapnya.
- Firman-Nya “Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat”
Bahwa kekafiran dan adzab ini bukan dengan sebab keyakinan atau sebab
kebodohan, akan tetapi yang menjadi sebab vonis kafir dan ‘adzab ini
karena dia memiliki bagian dari dunia ini terus dia lebih mementingkan
dunia daripada akhirat. WAllahu Ta’ala A’lam
Pasal
Kekufuran itu ada dua macam : Kekafiran yang mengeluarkan dari millah dan kekafiran yang tidak mengeluarkan dari millah.
Pertama, Kufur yang mengeluarkan dari millah
Kufur ini ada lima macam ;
- Kufur Takdzib. Dalilnya :
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْكَافِرِينَ
“Dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang haq tatkala yang haq itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir?” (al-‘Ankabut : 68)
Ayat ini menjelaskan tentang vonis kafir bagi dua macam orang, yaitu
orang yang dusta atas nama Allah dan orang yang mendustakan kebenaran.
Kebenaran disini masuk di dalamnya satuan ajaran atau nash seperti orang
yang mengingkari kewajiban shalat berarti dia mendustakan nash yang
mewajibkannya, orang yang menghalalkan zina dan khamr berarti dia
mendustakan nash mengenai hal tersebut. Dalam kufur takdziib ini ada yang masuk dalam dlahirah dan masuk dalam khafiyyah, disini orang yang mendustakan hal-hal yang masuk dalam permasalahan khafiyyah tidak langsung dikafirkan karena dibutuhkan penegakkan hujjah dan pelenyapan syubhat.
Sehingga mendustakan al-Qur’an atau mendustakan sebagian dari
al-Qur’an atau satu ayat dari al-Qur’an atau bahkan mendustakan satu
huruf al-Qur’an atau mendustakan Sunnah shahihah[32] yang datang dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam itu kekafiran akbar yang mengeluarkan dari millah.
Imam al-Barbahari rahimahullah mengatakan, “Tidak
seorangpun dari kalangan Ahli Kitab dikeluarkan dari Islam sampai ia
menolak satu ayat dari Kitabullah dan satu hadits dari Rasulullah” (Syarhus Sunnah, point ke 14)
- Kufur ibaa’ (menolak larangan), istikbar (menolak perintah) dan disertai dengan pembenaran. Dalilnya Firman Allah Ta’ala
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:
“Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia
enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang
kafir.” (al-Baqarah : 35)
Contohnya Thaghut, mereka tahu bahwa khamr itu haram dan membenarkan.
Tapi ketika membuat undang-undang mereka menghalalkan dengan membuat
aturan tentang tempat-tempat penjualan khamr, atau tempat-tempat
pelacuran dan perjudian (melokalisasikan) ini adalah bentuk menolak
(ibaa’ atau imtina’).
Orang yang menolak ibadah kepada Allah atau dari mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam
maka dia kafir keluar dari millah. Dan salah satu bentuk kekafiran
thaghut itu adalah menolak tunduk kepada hukum Allah atau syari’at-Nya
untuk diterapkan dalam tatanan kehidupan atau menolak untuk mengikuti
kepada tuntunan Rasulullah.
- Kufur Syak (Ragu). Dalilnya Firman Allah Ta’ala :
دَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي لأجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلا لَكِنَّا هُوَ اللَّهُ رَبِّي وَلا أُشْرِكُ بِرَبِّي أَحَدًا
“Dan dia memasuki kebunnya dengan sikap merugikan dirinya
sendiri; dia berkata, “Aku kira kebun ini tidak akan binasa
selama-lamanya”, Dan aku kira hari kiamat itu tidak akan datang, dan
jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat
tempat kembali yang lebih baik daripada ini.” Kawannya (yang
beriman) berkata kepadanya sambil bercakap-cakap dengannya, “Apakah
engkau ingkar kepada (Tuhan) yang menciptakan engkau dari tanah,
kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan engkau seorang
laki-laki yang sempurna? Tetapi aku (percaya bahwa), Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun” (al-Kahfi : 35-38)
Jika ada hal-hal yang sifatnya prinsip maka syak itu merupakan
kekafiran, seperti orang yang ragu adanya surga dan neraka, ragu tentang
ke-Nabian shallallahu ‘alaihi wa salam, ragu adanya malaikat itu ada atau tidak.
Barangsiapa meragukan sesuatu dari diinul Islam dari hal-hal yang
sudah di ketahui dari diin ini maka dia kafir, kecuali orang yang baru
masuk Islam yang berkaitan dengan syari’at dan juga orang yang hidup
jauh dari ilmu serta ulama dimana dia tidak memiliki kesempatan untuk
belajar dan melenyapkan kebodohan dari dirinya.
- Kufur i’radh (keberpalingan). Dalilnya firman Allah Ta’ala :
وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ
“Namun orang-orang yang kafir berpaling dari peringatan yang diberikan kepada mereka.” (al Ahqaf : 3)
Telah lalu penjelasan mengenai kufur I’rodh ini dalam penjelasan mengenai bab pembatal-pembatal keIslaman.
- Kufur Nifaq, Dalilnya Firman Allah Ta’ala
إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ .اتَّخَذُوا أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً فَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّهُمْ سَاءَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ .ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لا يَفْقَهُونَ
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka
berkata, “Kami mengakui, bahwa engkau adalah rasul Allah.” Dan Allah
mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah menyaksikan
bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta. Mereka menjadikan
sumpah-sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalang-halangi
(manusia) dari jalan Allah. Sungguh, betapa buruknya apa yang telah
mereka kerjakan. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka
telah beriman, kemudian menjadi kafir, maka hati mereka dikunci,
sehingga mereka tidak dapat mengerti.” (al-Munafiqun : 1-3)
Nifaq itu menampakkan iman dan menyembunyikan kekafiran. Seperti membenci Rasul shallallah ‘alaihi wa salam atau sebagian ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam,
atau senang dengan kekalahan kaum muslimin. Kufur nifaq ini menjadikan
orang mencari-cari mana yang dominan, jika kaum muslimin menang mereka
bersama kaum muslimin dan begitupun sebaliknya.
قال تعالى: وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ ءَامَنُوا قَالُوا ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوْ إِلىَ شَيَاطِيْنِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِءُوْنَ
“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka
mengatakan: ‘Kami telah beriman’. Dan bila mereka kembali kepada
syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: ’Sesungguhnya kami bersama
kamu.” (al-Baqarah : 13)
Kedua, Kufur Ashghar yang tidak mengeluarkannya dari millah.
Setiap segala sesuatu yang telah datang dalam syari’at bahwa itu
adalah kekafiran tapi tidak sampai kepada kufur akbar, seperti kufur
ni’mah sebagaimana Firman Allah Ta’ala
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri
yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah
ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat
Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan
ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (an-Nahl : 112).
Seperti orang yang meratapi mayit, mencela keturunan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “dua hal pada umatku yang merupakan kekufuran yaitu mencela keturunan dan meratapi mayit” (al-Hadits), orang yang membunuh orang muslim sebagaimana hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam,
لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
“Janganlah kalian kembali kepada kekafiran sepeninggalku dengan saling memerangi antara sesama kalian.” [HR. Ibnu Majah, No.3932].
Dan juga hadits yang lain
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela orang muslim itu adalah kefusukan dan membunuhnya merupakan kekafiran” (HR. Bukhari)
Pasal
Macam–macam Nifaq
Nifaq ada dua macam, yaitu nifaq akbar dan nifaq ashghar. Nifaq makna
asalnya adalah berbedanya dlahir dengan bathin, atau menampakkan
sesuatu dan menyembunyikan kebalikannya. Dan nifaq dalam definisi syar’i
yaitu menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran.
- Nifaq Akbar
Nifaq akbar pelakunya termasuk penghuni neraka yang paling dasar
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada
tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan
mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (an-Nisaa : 145)
Nifaq akbar bermacam-macam, ada yang sifatnya i’tiqadh (keyakinan) dan ada juga yang bersifat amalan yang semua itu ditunjukkan oleh al-Qur’an dan sunnah.
Di antaranya yang paling penting yang berkaitan dengan i’tiqadh adalah ;
- Mendustakan Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam atau mendustakan sebagian ajarannya,
- Membenci Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam atau membenci sebagian ajarannya.
- Bahagia dengan mundurnya diin Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam atau tidak suka kemenangan ajaran Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wa salam.
- Tidak meyakini kewajiban membenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam terhadap apa yang Beliau shallallahu ‘alaihi wa salam
- Tidak meyakini kewajiban mentaati perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam.
Yang berkaitan dengan amalan adalah :
- Menyakiti Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam atau mencercanya atau menghinanya atau mengumpatnya.
- Membantu orang-orang kafir dalam memerangi kaum muk
- Memperolok-olok dan mencemooh kaum mukminin karena keimanan mereka dan ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
- Berpaling dari putusan Allah dan Rasul-Nya.
- Nifaq Ashghar
Nifaq Ashghar ada lima macam yaitu sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.
مِنْ عَلاَمَاتِ الْمُنَافِقِ ثَلاَثَةٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Di antara tanda munafik ada tiga: jika berbicara, dusta; jika berjanji, tidak menepati; jika diberi amanat, ia khianat.” (HR. Muslim no. 59)
Dalam riwayat lain
وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Jika membuat perjanjian tidak dipenuhi, jika berselisih dia akan berbuat zalim.” (HR. Muslim No. 58)”
Perbedaan antara nifaq akbar dengan nifaq ashghar ;
- Nifaq akbar mengeluarkan dari Islam, nifaq ashghar tidak mengeluarkan dari Islam.
- Nifaq akbar ini tidak muncul dari orang mu`min, sedangkan nifaq Ashghar bisa muncul dari orang muslim.
Pelaku nifaq akbar inilah yang pantas disematkan nama munafiq, adapun
orang yang melakukan sesuatu dari nifaq Ashghar maka dia tidak boleh
disematkan dia munafiq secara mutlaq tetapi dikatakan dalam dirinya
terdapat salah satu cabang dari kemunafiqan.
***
————————
[1] Nawaqhidul Islam itu berarti hal-hal yang mengurai atau melepaskan keislaman.
[2] Sujud ada sujud tahiyah (penghormatan) dan sujud ibadah, sujud tahiyah
itu adalah dilarang. Sujud tahiyah ini ada dalam syari’at Nabi
terdahulu dan di bolehkan tapi ketika Rasulullah datang maka sujud ini
di larang atau di nasakh menjadi haram. Adapun sujud ibadah
kepada selain Allah itu syirik, bisa seperti realita sekarang yang
datang kepada kuburan keramat atau sujud kepada syaikh-syaikh Sufiyah
yang di kultuskannya.
[3] Ayat ini mengandung beberapa point, yaitu
- Orang-orang Nasrani telah mempertuhankan alim ulama dan pendeta.
- Mereka mengibadati ‘alim ulama dan pendeta
- Alim ulama dan pendeta mereka telah telah memposisikan diri sebagai Rabb
- Mereka telah melakukan kesyirikan.
[4]Mereka menta’ati ‘alim ulama dan pendeta terhadap penyelisihan hukum Allah Ta’ala.
[5]
Dalam arti orang tersebut tetap meyakini apa yang Allah haramkan itu
haram dan yang halal itu halal. Dan tidak merujuk juga pada hukum buatan
manusia.
[6]
Contohnya si alim ulama memfatwakan bahwa khamr itu haram, terus datang
si fulan meminta fatwa kepada ulama tersebut, dan ulama tersebut
mengatakan kepada fulan bahwa khamr itu halal. Terus si fulan tetap
meyakini bahwa pernyataan ‘alim ulama tersebut bathil lalu si fulan
meminum khamr bukan karena pernyataan ‘alim ulama tersebut melainkan
karena hawa nafsunya. Dan orang ‘alim tersebut ketika merubah hukum
Allah kafir sedangkan bagi si fulan telah berdosa karena minum khamr
mengikuti hawa nafsu bukan karena fatwa ulama tersebut.
[7] Dan kebanyakan orang menjadi murtad di sebabkan karena kehidupan dunia. Allah Ta’ala berfirman
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka
mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah
tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir”. (an-Nahl : 107)
[8]
Dalam neraka ketika di kumpulkan dengan sembahan sembahan mereka, lalu
berkata “demi Allah sesungguhnya kami dulu dalam kesesatan yang nyata
karena kami menyamakan kaian dengan Rabbul ‘alamiin”. Disini menyamakan
dalam hal kecintaan mereka.
[9]
Para penyembah kubur, mereka itu lebih mencintai berhala berhala mereka
dari pada Allah dimana ketika mereka berada atau ibadah di kuburan
tampak lebih khusyu’ dan ketundukkan dari pada ketika mereka ibadah di
masjid.
[10] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda : “Aku diberi kesenangan di dunia ini, yaitu wanita, harum-haruman, dan kesejukan mata dalam sembahyang” (HR. an-Nasa’i)
[11] Jika yang membenarkan madzhab atau ajaran orang kafir maka tidak perlu lagi rincian dia menjadi kafir.
[12]
Contohnya misal si A melakukan kekafiran, si C tau bahwa si A telah
melakukan kekafiran sedang si B tidak mengetahui bahwa si A telah
melakukan kekafiran dan si A ini rajin ibadah. Maka ketika si B tidak
mengkafirkan si A maka ia di udzur dan ini jahlul hal, karena mengkafirkan itu harus berdasarkan ilmu.
[13]
Contohnya si A tau bahwa si B ini melakukan kekafiran trus si A tidak
mengkafirkan si B, maka si B-nya harus diperhatikan apakah si B ini
kafir asli atau kafir murtad. Ketika si A tidak mengkafirkan si B ini
bisa di sebabkan adanya perihal lain atau syubhat syubhat dan ini ada
rinciannya.
[14]Ini termasuk dalam mengkafirkan masalah khofiyyah.
[15] Jika dia tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena adanya nash atau merujuk kepada nash yang ihtimal,
walaupun pendapatnya salah maka dia tidak di kafirkan dan tidak di
anggap bid’ah karena ushulnya Sunnah yaitu dengan memberikan alasan
menggunakan dalil.
[16] Ini yang dimaksud Qadliyah Mu’ayyanah.
Yaitu seorang hakim menjadikan Al Kitab dan Sunnah menjadikan rujukan
dalam segala masalah dan tidak menyimpang. Hingga pada suatu saat ada si
fulan yang mencuri, dan ketika si fulan dihadapkan kepada hakim
tersebut lalu si hakim meneliti kasus fulan sesuai dengan Al Qur’an dan
Sunnah. dikarenakan si fulan merupakan keluarganya si hakim ini, lalu
data dan fakta si fulan diselewengkan oleh si hakim. yang seharusnya si
fulan dipotong tangan tapi hanya dihukum ta’zir dengan alasannya pencurian tidak mencapai nishab padahal sihakim mengetahui pencurian si fulan sudah melebihi nishab
untuk potong tangan. Gambaran Qadliyah Mu’ayyanah itu merujuk kepada Al
Kitab dan Sunnah, meyakininya sebagai dosa dan terjadi pada masalah
pembuktiannya saja.
[17]
Yaitu seorang hakim menjadikan Al Kitab dan Sunnah menjadikan rujukan
dalam segala masalah dan tidak menyimpang. Hingga pada suatu saat ada si
fulan yang mencuri, dan ketika si fulan dihadapkan kepada hakim
tersebut lalu si hakim meneliti kasus fulan sesuai dengan Al Qur’an dan
Sunnah. Dikarenakan si fulan merupakan keluarganya si hakim ini, lalu
data dan fakta si fulan di selewengkan oleh si hakim, yang seharusnya si
fulan di potong tangan tapi hanya di hukum ta’zir dengan alasannya pencurian tidak mencapai Nishab padahal si hakim mengetahui pencurian si fulan sudah melebihi nishab
untuk potong tangan. Gambaran Qadhiyah Mu’ayyanah itu merujuk kepada Al
Kitab dan Sunnah, meyakininya sebagai dosa dan terjadi pada masalah
pembuktiannya saja.
[18]
Tapi jika dia dalam mengambil putusannya dalam Qadhiyah Mu’ayyanah
(kasus tertentu) meyakini dia benar maka dia kafir, atau meyakini dia
berdosa maka kafir juga.
[19] Seperti pemerintah NKRI yang mengambil dari undang-undang belanda dan menjiplak dari undang-undang lain.
[20]
Setiap perbuatan yang mendatangkan hudud atau sanksi, tidak disyaratkan
untuk dikenakan sanksi (hudud) itu dia tahu bahwa perbuatannya
berkonsekuensi sanksi. Cukup tahu bahwa perbuatannya dilarang. Dan
mengetahui disini bukan dimaksudkan syarat mengetahui tapi punya
kesempatan untuk tahu (adanya tamakun).
[21] Nifaq ada dua macam yaitu ‘amaliy dan i’tiqadhi.
Nifaq ‘amaliy itu dalam hadits… Kalau nifaq i’tiqadhi yang berkaitan
dengan i’tiqadh seperti senang dengan kemenangan kaum kafirin terhadap
kaum muslimin, membenci sebagaian ajaran Rasul. Jika di tampakkan
orangnya kafir murtad, kalau di sembunyikan dia dihukumi dlahir secara
muslim tapi di hadapan Allah dia kafir.
[22] Seperti membenci ajaran perintah hijab, ajaran larangan isbal.
[23] Lalu bagaimana dengan orang zaman sekarang yang memperolok-olok secara langsung syari’at-Nya. Maka ini lebih dahsyat lagi.
[24]
Contohnya seperti orang yang sudah sakit parah dan ternyata sehat lagi.
Lalu ada orang yang mengatakan “tadi Malaikat tidak melihatnya sehingga
kelewat” maka ucapan ini merupakan perolok-olokan dan dia menjadi
kafir.
[25] Sharfu adalah sihir yang memalingkan atau memisahkan atau membuat benci pada pasangannya.
[26] ‘Athfu adalah pelet.
[27] Karena Ini kembali kepada definisi sihir itu yang beraneka ragam.
[28]
Disini bukan hanya sebatas penyembah kuburan saja tapi semua orang
musyrik. Syaikh Ali Hudlair mengatakan, “Penyembah kubur itu mencakup
seluruh macam kaum musyrikin bukan sebatas penyembah kubur.” Karena
istilah penyembah kubur adalah sama dengan musyrik dan termasuk di
dalamnya para Demokrat, Nasionalis dan syirik hukum.
[29]
Ibnu Nujaim dalam kitab al-Furuq Juz 5 hal. 134 mengatakan, “Seorang
yang mengucapkan kekafiran senda gurau dan main-main kafir menurut
seluruh ulama tidak usah di tanyakan keyakinannya.”
[30]
Ibnul ‘Arabiy dalam Ahkamul Qur’an Juz 4 hal. 353 mengatakan, “Apa yang
mereka ucapkan berupa kekafiran itu tidak lepas dari keadaannya serius
atau main-main, dan bagaimanapun keadaannya itu tetap kekafiran.”
[31]
Syaikh Sulaiman mengatakan, “Ulama ijma’ barangsiapa mengucapkan
kekafiran dengan main-main maka dia kafir, maka bagaimana dengan orang
yang menampakkan kekafiran karena takut atau karena ingin dunia.”
[32]
Ini banyak di anut oleh orang orang yang lebih mngedepankan akal mereka
sehingga ketika ada hadits shohi mengenai perkara yang mana itu tidak
masuk akal menurut mereka lalu mereka dustakan. Fasham ini juga di anut
oleh kelompok ingkarus sunnah