Jihad artinya perjuangan yang
sungguh-sungguh di jalan Allah dengan seluruh kemampuan baik dengan harta,
jiwa, lisan, mau pun yang lainnya. Jihad terutama ditujukan untuk membela kaum
yang tertindas:
“Mengapa
kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah
baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan
kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan
berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi
Engkau!.”
[An Nisaa' 75]
Jihad
merupakan satu kewajiban penting dalam Islam:
Dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa
mati, sedang ia tidak pernah berjihad dan tidak mempunyai keinginan untuk
jihad, ia mati dalam satu cabang kemunafikan.” Muttafaq Alaihi.
Dari Anas bahwa Nabi SAW
bersabda: “Berjihadlah melawan kaum
musyrikin dengan hartamu, jiwamu dan lidahmu.” Riwayat Ahmad dan Nasa’i.
Hadits shahih menurut Hakim.
Mari kita lihat pendapat para
Imam Madzhab tentang Jihad:
Madzhab
Hanafi
Menurut mazhab Hanafi,
sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Badaa’i’ as-Shanaa’i’, “Secara literal,
jihad adalah ungkapan tentang pengerahan seluruh kemampuan… sedangkan menurut
pengertian syariat, jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam
berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain
(Al-Kasaani, Op. Cit., juz VII, hal. 97.)
Madzhab
Maliki
Adapun definisi jihad menurut
mazhab Maaliki, seperti yang termaktub di dalam kitab Munah al-Jaliil, adalah
perangnya seorang Muslim melawan orang Kafir yang tidak mempunyai perjanjian,
dalam rangka menjunjung tinggi kalimat Allah SWT. atau kehadirannya di sana
(yaitu berperang), atau dia memasuki wilayahnya (yaitu, tanah kaum Kafir) untuk
berperang. Demikian yang dikatakan oleh Ibn ‘Arafah (uhammad ‘Ilyasy, Munah
al-Jaliil, Muhktashar Sayyidi Khaliil, juz III, hal. 135.)
Madzhab
as Syaafi’i
Madzhab as-Syaafi’i, sebagaimana
yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa’, mendefinisikan jihad dengan “berperang
di jalan Allah”.(Al-Khathiib, Haasyiyah al-Bujayrimi ‘alaa Syarh al-Khathiib,
juz IV, hal. 225.) Al-Siraazi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab;
sesungguhnya jihad itu adalah perang.
Madzhab
Hanbali
Sedangkan madzhab Hanbali,
seperti yang dituturkan di dalam kitab al-Mughniy, karya Ibn Qudaamah,
menyatakan, bahwa jihad yang dibahas dalam kitaab al-Jihaad tidak memiliki
makna lain selain yang berhubungan dengan peperangan, atau berperang melawan
kaum Kafir, baik fardlu kifayah maupun fardlu ain, ataupun dalam bentuk sikap
berjaga-jaga kaum Mukmin terhadap musuh, menjaga perbatasan dan celah-celah
wilayah Islam.
Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah
berkata: Ribaath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad. (Ibn
Qudaamah, al-Mughniy, juz X, hal. 375.) Beliau juga mengatakan: Jika musuh
datang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain bagi mereka… jika hal ini memang
benar-benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah
mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah
diserahkan kepadanya. (Ibid, juz X, hal. 30-38.)
Meski demikian, jika kita
pelajari sejarah Islam, maka kita akan tahu bahwa Islam tidak pernah
mengajarkan kita membunuh orang-orang kafir selain di medan perang.
Saat pertama Islam datang, ummat Islam
ditindas begitu hebat. Sebagai contoh, Bilal dijemur di padang pasir yang panas
dengan perut ditindih dengan batu yang besar. Namun ummat Islam saat itu
dilarang untuk melawan orang-orang kafir.
Ketika penindasan begitu hebat
bahkan Nabi Muhammad akan dibunuh, ummat Islam tidak berperang melawan
orang-orang kafir. Namun memilih untuk menghindar dan hijrah ke kota Yatsrib
(Madinah yang jaraknya sekitar 500 km dari Mekkah). Mereka tinggalkan seluruh
harta bendanya di Mekkah.
Ada 3 alasan utama penghindaran
perang pada masa awal tersebut, yaitu: belum mencukupinya kekuatan pihak
muslimin, belum adanya basis daerah/pemerintahan/pertahanan sendiri dan belum
turunnya ayat yang membolehkan atau mewajibkan berlakunya perang. 3 hal ini
akan terpenuhi semua setelah Hijrah (Madinah)
Yang menarik adalah nabi-nabi terdahulu
dalam berdakwah tidak memerangi suku atau bangsanya sendiri, nabi-nabi dahulu
berdakwa dengan hanya menetap dan bertempat tinggal bertahun-tahun diantara
suku sendiri hingga ada yang mengikutinya dan ada pula yang menolak ajakan dan
peringatannya tanpa melakukan peperangan, kebanyakan akhir dari cara dakwah ini
adalah dimusnahkannya atau dikutuknya suku/ummat nabi-nabi tersebut dan
menyelamatkan sisa suku yang mengikuti nabi-nabiNya. Sementara nabi-nabi
terdahulu yang melakukan peperangan adalah melakukan peperangan dengan bangsa
lain. Di masa nabi Muhammad SAW saat telah berada di Madinah, telah diizinkan
untuk memerangi suku/bangsanya sendiri yang tidak beriman atau kafir. Bila Kita
ditampar pipi kiri, Kita tidak selalu memberi pipi kanan buat ditampar juga,
namun pada situasi dan kondisi tertentu maka kita diperbolehkan membalas
menampar pipi juga (Qishas). Ini menjadi kesempurnaan metoda dakwah yang
berlian.
Namun Nabi Muhammad bukanlah
orang yang gemar membuat permusuhan atau peperangan hanya karena perbedaan
agama atau keyakinan. Terhadap kaum Yahudi di Yatsrib, Nabi Muhammad mengadakan
perjanjian damai yang dinamakan Piagam Madinah untuk saling melindungi dan
berdamai.
“Kecuali
orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan
kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu
sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya.
Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap
kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan
tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak
memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.” [An
Nisaa' 90]
Terhadap kaum kafir Mekkah pun
Nabi sempat membuat perjanjian damai di Hudaibiyyah yang sayangnya dilanggar
oleh orang-orang kafir tersebut.
Ciri-ciri umum sifat kaum kafir
terhadap perjanjian, bila diadakan perjanjian dengan umat Islam:
7. Bagaimana mungkin ada
perjanjian (aman) di sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrik,
kecuali dengan orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan
mereka) di dekat Masjidilharaam (Hudaibiyah), maka selama mereka berlaku lurus
terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sungguh, Allah
menyukai orang-orang yang bertakwa.
8. Bagaimana mungkin (ada
perjanjian demikian), padahal jika mereka memperoleh kemenangan atas kamu,
mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan denganmu dan tidak (pula
mengindahkan) perjanjian[29]. Mereka menyenangkan
hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak[30].
Kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik (tidak menepati janji).
9. Mereka memperjualbelikan
ayat-ayat Allah dengan harga murah, lalu mereka menghalang-halangi (orang) dari
jalan Allah. Sungguh, betapa buruknya apa yang mereka kerjakan.
10. Mereka tidak memelihara
(hubungan) kekerabatan dengan orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan)
perjanjian[31]. Mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas.
11. Jika mereka bertobat,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (berarti mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama. Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang
mengetahui.
12. Jika mereka melanggar sumpah(janji)nya
setelah mereka berjanji, dan mencerca agamamu, maka perangilah
pemimpin-pemimpin kafir itu. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak
dapat dipegang janjinya, mudah-mudahan mereka berhenti. (QS. At Taubah Ayat
7-12)
[29] Bahkan mereka akan
mengganggumu semampunya. [30] Yakni jangan tertipu
oleh basa-basi mereka karena mereka dalam keadaan takut kepadamu. Mereka
sesungguhnya adalah musuhmu. [31] Karena permusuhan mereka kepada
keimanan dan orang-orangnya. Sebab yang menjadikan mereka memusuhi dan
membencimu adalah iman, oleh karena itu bela agamamu dan tolonglah serta
jadikanlah orang yang memusuhi iman sebagai musuhmu dan orang yang membela iman
sebagai kawanmu, bersikaplah dengan memperhatikan ada iman atau tidak, dan
jangan kamu jadikan cinta kasih dan permusuhan atas dasar hawa nafsu.
Ciri-ciri dibawah ini juga bisa
dikaitkan dengan ciri-ciri pemimpin diktaktor salah satunya dengan
janji-janjinya ketika pemilu/pemilihan atau pertama kali dilantik:
Dan
(ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum
kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata
yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian
kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu
selalu berpaling.
Dan
(ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan
menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu
(saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan
memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.
Kemudian
kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan
daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka
dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai
tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang
bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar
terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat
demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari
kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah
dari apa yang kamu perbuat*.
Itulah
orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak
akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong. QS. Al
Baqarah: 83-86
(*Ayat ini berkenaan dengan
cerita orang Yahudi di Madinah pada permulaan Hijrah. Yahudi Bani Quraizhah
bersekutu dengan suku Aus, dan Yahudi dari Bani Nadhir bersekutu dengan
orang-orang Khazraj. Antara suku Aus dan suku Khazraj sebelum Islam selalu
terjadi persengketaan dan peperangan yang menyebabkan Bani Quraizhah membantu
Aus dan Bani Nadhir membantu orang-orang Khazraj. Sampai antara kedua suku
Yahudi itupun terjadi peperangan dan tawan menawan, karena membantu sekutunya.
Tapi jika kemudian ada orang-orang Yahudi tertawan, maka kedua suku Yahudi itu
bersepakat untuk menebusnya kendatipun mereka tadinya berperang-perangan.)
Ummat
Islam diperintahkan Allah untuk mempersiapkan senjata semaksimal mungkin
“Dan siapkanlah untuk
menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang
ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh
Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya;
sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah
niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya
(dirugikan).” [Al Anfaal 60]
Untuk perjuangan di jalan Allah,
Usman menginfakkan 1/3 hartanya, Umar 1/2 hartanya, sementara Abu Bakar seluruh
hartanya.
Sekarang sulit terjadi. Banyak
orang-orang kaya seperti pangeran-pangeran Arab justru menghabiskan hartanya
untuk membeli klub sepak bola Inggris seperti Syeikh Mansour membeli Manchester
City, dan Sulaiman Al Fahim mengakuisi Portsmout, kini pangeran Faisal bin Fahd
bin Abdullah asal Saudi yang berniat membeli sebagian besar klub sepakbola elit
Eropa, Liverpool dengan harga trilyunan rupiah:
Di jaman Nabi, ummat Islam
mempersenjatai diri mereka sehingga mampu mengimbangi persenjataan musuh yang
menyerangnya. Musuh pakai pedang, ummat Islam juga pakai pedang. Musuh pakai
panah, ummat Islam juga pakai panah (senjata jarak jauh). Bahkan saat pedang
Romawi begitu kuat hingga bisa mematahkan pedang lainnya, pedang ummat Islam
punya keunggulan yang tidak dimiliki pedang Romawi. Yaitu sangat ringan namun
sangat tajam sehingga bisa merobek-robek kain yang dilempar ke udara! Bahkan di
perang Yarmuk, pasukan Khalid bin Walid yang hanya berjumlah 24 ribu pasukan
mampu mengalahkan 200 ribu pasukan Romawi karena persenjataannya dengan
kavaleri kuda mengungguli pasukan Romawi yang kebanyakan hanya berjalan kaki
(infantri)!
Nabi secara bertahap dan
sistematis mempersiapkan pemerintahan, negara Islam, dan juga tentara serta persenjataan
sehingga ummat Islam bisa menangkis serangan musuh.
Saat ummat Islam begitu kuat,
untuk menghindari serangan musuh yang terjadi berulang-kali, baru usaha
penaklukan kota Mekkah yang dinamakan Futuh Mekkah dilakukan. Orang-orang kafir
di Mekkah begitu gentar sehingga tak berani melawan. Namun Nabi tidak membantai
mereka. Siapa yang berlindung di Masjidil Haram, dia selamat. Siapa yang
berlindung di rumah Abu Sofyan, dia selamat. Siapa yang menutup pintu rumahnya,
dia selamat. Boleh dikata penaklukkan kota Mekkah itu nyaris tanpa korban jiwa.
Abu Sofyan yang merupakan dedengkot perang orang-orang kafir diampuni oleh Nabi
Muhammad. Demikian pula dengan Wahsyi yang membunuh paman Nabi, Sayyidina
Hamzah dan Hindun yang memakan jantung paman Nabi diampuni. Padahal menurut
hukum sekarang, sebagai penjahat perang, mereka pantas dihukum mati.
Jihad merupakan satu perintah
Allah dalam Al Qur’an untuk menegakkan yang hak dan mengalahkan kebathilan.
Untuk melindungi kaum-kaum tertindas dari orang-orang zhalim yang
menindas/membantai.
Keutamaan
Jihad
Allah Ta’ala berfirman pula: “Berangkatlah engkau semua, dengan rasa
ringan atau berat dan berjihadlah dengan harta-harta dan dirimu semua
fisabilillah.” (at-Taubah: 41)
Allah Ta’ala berfirman lagi:
“Sesungguhnya Allah telah membeli diri
dan harta orang-orang yang beriman dengan memberikan syurga untuk mereka,
mereka berperang fisabilillah, sebab itu mereka dapat membunuh dan dibunuh,
menurut janji yang sebenarnya dari Allah yang disebutkan dalam Taurat, Injil
dan al-Quran. Siapakah yang lebih dapat memenuhi janjinya daripada Allah? Oleh
sebab itu, bergembiralah engkau semua dengan perjanjian yang telah engkau semua
perbuat dan yang sedemikian itu adalah suatu keuntungan yang besar.”
(at-Taubah: 111)
Allah Ta’ala berfirman pula: “Tidaklah sama antara orang-orang yang
duduk-duduk -di rumah yakni tidak mengikuti peperangan- dari golongan kaum
mu’minin yang bukan karena keuzuran, dengan orang-orang yang berjihad
fisabilillah dengan barta-harta dan dirinya. Allah melebihkan tingkatan
orang-orang yang berjihad dengan harta-harta dan dirinya itu daripada
orang-orang yang duduk-duduk tadi. Kepada masing-masing dari kedua golongan
itu, Allah telah menjanjikan kebaikan dan Allah lebih mengutamakan orang-orang
yang berjihad daripada orang-orang yang duduk-duduk dengan pahala yang besar,
yaitu berupa derajat-derajat -yang tinggi, juga pengampunan dan kerahmatan
daripadaNya dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (an-Nisa’:
95-96)
Allah Ta’ala juga berfirman: “Hai sekalian orang-orang yang beriman.
Sukakah kalau saya tunjukkan kepadamu semua akan sesuatu perdagangan yang dapat
menyelamatkan engkau semua dari siksa yang menyakitkan? Yaitu supaya engkau
semua beriman kepada Allah dan RasulNya dan pula berjihad fisabilillah dengan
harta-harta dan dirimu semua. Yang sedemikian itu adalah lebih baik untukmu
semua, jikalau engkau semua mengetahui. Allah juga akan mengampunkan
dosa-dosamu semua serta memasukkan engkau semua dalam syurga-syurga yang
mengalirlah sungai-sungai di bawahnya, demikian pula beberapa tempat tinggal
yang indah di syurga ‘Adn -kesenangan yang kekal- dan yang sedemikian itu
adalah suatu keuntungan yang besar. Ada pula pemberian-pemberian yang lain-lain
yang engkau semua mencintainya, yaitu pertolongan dari Allah dan kemenangan
yang dekat dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.”
(as-Shaf: 10-13)
Dari Abu Zar r.a., katanya: “Saya
berkata: “Ya Rasulullah, amalan apakah
yang lebih utama?” Beliau s.a.w. menjawab: “Yaitu beriman kepada Allah dan
berjihad fisabilillah.” (Muttafaq ‘alaih)
Dari Anas r.a. bahwasanya
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya
sekali berangkat untuk berperang fisabilillah, di waktu pagi ataupun sore itu
adalah lebih baik nilainya daripada dunia dan segala apa yang ada di dalamnya
ini -yakni dari harta benda di dunia dan seisinya ini.” (Muttafaq ‘alaih)
Dari Abu Said al-Khudri r.a.,
katanya: “Ada seorang lelaki datang
kepada Rasulullah s.a.w., lalu berkata: “Manusia manakah yang lebih utama?” Beliau
s.a.w. menjawab: “Yaitu orang mu’min yang berjihad fisabilillah dengan diri dan
hartanya.” Ia bertanya lagi: “Kemudian siapakah?” Beliau s.a.w. menjawab:
“Yaitu orang mu’min yang -memencilkan dirinya -dalam suatu jalanan di gunung - maksudnya
suatu tempat diantara dua gunung yang dapat digunakan sebagai kediaman- dari
beberapa tempat di gunung-, untuk menyembah kepada Allah dan meninggalkan para
manusia dari kejelekannya diri sendiri.” -Jadi mengasingkan diri dari orang
banyak sehingga tidak akan sampailah kejelekannya diri sendiri itu kepada
orang-orang banyak tadi-. (Muttafaq ‘alaih)
Dari Sahl bin Sa’ad r.a.
bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Bertahan
-yakni tetap berdiam di dalam posnya bagi tentara- selama sehari fisabilillah
adalah lebih baik daripada dunia dan segala sesuatu yang ada di atasnya. Tempat
cemeti seorang diantara engkau semua dari syurga itu lebih baik daripada dunia
dan segala sesuatu yang ada di atasnya. Juga sekali berangkat yang dilakukan
oleh seorang hamba untuk berperang fisabilillah, baik di waktu pagi ataupun
sore, adalah lebih baik daripada dunia dan segala sesuatu yang ada di atasnya.”
(Muttafaq ‘alaih)
Dalam Islam, wanita boleh ikut
berperang untuk memberi minum dan mengobati prajurit yang terluka. Jadi wanita
macam Florence Night Angel sudah ada
di jaman Islam!
Hadis riwayat Anas bin Malik ra.,
ia berkata: Rasulullah saw. pernah
berperang bersama Ummu Sulaim serta beberapa orang kaum wanita Ansar. Ketika
beliau sedang bertempur, mereka membantu memberi minum serta mengobati para
prajurit yang terluka. (Shahih Muslim No.3375)
Hal-Hal
Yang Harus Diingat Dan Diperhatikan Dalam Berjihad
a. Nabi melarang kita menakut-nakuti atau
menteror manusia sehingga mereka bukannya cinta, tapi malah takut terhadap Islam.
Kesannya Islam jadi malah menyeramkan:
Tak pernah ummat Islam membuat
ketakutan dengan membunuh orang-orang tak berdosa di kota Mekkah atau di
negara-negara orang kafir.
Hadis riwayat Anas bin Malik ra.,
ia berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda: Permudahlah dan jangan mempersulit dan jadikan suasana yang tenteram
jangan menakut-nakuti. (Shahih Muslim No.3264)
b. Nabi melarang kita membunuh wanita dan
anak-anak:
Hadis riwayat Abdullah bin Umar
ra.: Bahwa seorang wanita didapati
terbunuh dalam suatu peperangan yang diikuti Rasulullah saw. lalu beliau
mengecam pembunuhan kaum wanita dan anak-anak kecil. (Shahih Muslim
No.3279)
c. Jangan Melampau batas atau semena-mena
dalam berjihad:
Jihad yang dilakukan menurut Islam
hanyalah mempersiapkan seluruh kekuatan baik harta, jiwa, senjata, lisan, dan
sebagainya untuk berjuang di jalan Allah agar musuh tak bisa semena-mena
membantai ummat Islam. Bukan untuk membunuh secara sadis orang-orang kafir
(tidak melampaui batas) karena dalam Islam diajarkan “Laa ikrohaa fid diin”.
Tak ada paksaan dalam agama.
Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah
kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang
yang melampaui batas QS. AL-BAQARAH : 190
“Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” [Al Baqarah 256]
Jangan melampau batas dalam hal
ini seperti : larangan menyiksa mayat, larangan membakar musuh, atau penyiksaan
dengan api, larangan membunuh musuh yang telah takluk atau ditawan, menawan
musuh dengan cara yang baik tidak menghina atau berbuat hal tercela, dsb.
Walaupun hukum Qishash (membalas
dengan yang serupa) dibolehkan atau diberlakukan tetapi lebih baik lagi dengan
tidak berbuat yang semena-mena (melampaui batas), memaafkan apa yang bisa
dimaafkan adalah lebih baik.
Bukankah Tuhan Maha Pemaaf,
bagaimana Kita mau dimaafkan Tuhan sebesar-besarnya bila Kita sendiri tidak
bisa memaafkan makhlukNya yang lain, bersabar adalah hal yang terbaik.
Dan
jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya
itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. QS. An
Nahl:126
Demikianlah,
dan barangsiapa membalas seimbang dengan penganiayaan yang pernah ia derita
kemudian ia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. QS. Al Hajj: 60
Dan
balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa
memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya
Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. QS. Asy Syuura: 42
d. Dilarang membunuh diri atau seakan-akan
berjihad tapi ternyata melakukan bunuh diri atau karena berjihad dengan niat
pamer keberanian, bukan karena Allah SWT dan penegakan agama Islam:
Jabir Ibnu Samurah ra berkata: pernah dibawa kepada Nabi SAW seorang
laki-laki yang mati bunuh diri dengan tombak, lalu beliau tidak
menyolatkannya. Riwayat Muslim.
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.,
ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Barang
siapa yang bunuh diri dengan benda tajam, maka benda tajam itu akan dipegangnya
untuk menikam perutnya di neraka Jahanam. Hal itu akan berlangsung terus
selamanya. Barang siapa yang minum racun sampai mati, maka ia akan meminumnya
pelan-pelan di neraka Jahanam selama-lamanya. Barang siapa yang menjatuhkan diri
dari gunung untuk bunuh diri, maka ia akan jatuh di neraka Jahanam
selama-lamanya. (Shahih Muslim No.158)
Hadis riwayat Tsabit bin Dhahhak
ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barang
siapa yang bersumpah dengan agama selain Islam secara dusta, maka ia seperti
apa yang ia ucapkan. Barang siapa yang bunuh diri dengan sesuatu, maka ia akan
disiksa dengan sesuatu itu pada hari kiamat. Seseorang tidak boleh bernazar
dengan sesuatu yang tidak ia miliki. (Shahih Muslim No.159)
Lihat hadits di bawah bagaimana seorang
yang berperang di jalan Allah dengan semangat sehingga orang-orang mengira dia
adalah ahli surga. Namun karena tak tahan sakit dia bunuh diri dengan
senjatanya sendiri agar mati dan akhirnya menurut Allah masuk neraka.
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.,
ia berkata: Aku ikut Rasulullah saw. dalam perang Hunain. Kepada seseorang yang
diakui keIslamannya beliau bersabda: Orang
ini termasuk ahli neraka. Ketika kami telah memasuki peperangan, orang tersebut
berperang dengan garang dan penuh semangat, kemudian ia terluka. Ada yang
melapor kepada Rasulullah saw.: Wahai Rasulullah, orang yang baru saja engkau
katakan sebagai ahli neraka, ternyata pada hari ini berperang dengan garang dan
sudah meninggal dunia. Nabi saw. bersabda: Ia pergi ke neraka. Sebagian kaum
muslimin merasa ragu. Pada saat itulah datang seseorang melapor bahwa ia tidak
mati, tetapi mengalami luka parah. Pada malam harinya, orang itu tidak tahan
menahan sakit lukanya, maka ia bunuh diri. Hal itu dikabarkan kepada Nabi saw.
Beliau bersabda: Allah Maha besar, aku bersaksi bahwa aku adalah hamba Allah
dan utusan-Nya. Kemudian beliau memerintahkan Bilal untuk memanggil para
sahabat: Sesungguhnya tidak akan masuk surga, kecuali jiwa yang pasrah. Dan
sesungguhnya Allah mengukuhkan agama ini dengan orang yang jahat. (Shahih
Muslim No.162)
Hadis riwayat Sahal bin Saad
As-Saidi ra., ia berkata: Rasulullah saw.
bertemu dengan orang-orang musyrik dan terjadilah peperangan, dengan dukungan
pasukan masing-masing. Seseorang di antara sahabat Rasulullah saw. tidak
membiarkan musuh bersembunyi, tapi ia mengejarnya dan membunuhnya dengan
pedang. Para sahabat berkata: Pada hari ini, tidak seorang pun di antara kita
yang memuaskan seperti yang dilakukan oleh si fulan itu. Mendengar itu,
Rasulullah saw. bersabda: Ingatlah, si fulan itu termasuk ahli neraka. Salah
seorang sahabat berkata: Aku akan selalu mengikutinya. Lalu orang itu keluar
bersama orang yang disebut Rasulullah saw. sebagai ahli neraka. Kemana pun ia
pergi, orang itu selalu menyertainya. Kemudian ia terluka parah dan ingin
mempercepat kematiannya dengan cara meletakkan pedangnya di tanah, sedangkan
ujung pedang berada di dadanya, lalu badannya ditekan pada pedang hingga
meninggal. Orang yang selalu mengikuti datang kepada Rasulullah saw. dan berkata:
Aku bersaksi bahwa engkau memang utusan Allah. Rasulullah saw. bertanya: Ada
apa ini? Orang itu menjawab: Orang yang engkau sebut sebagai ahli neraka,
orang-orang menganggap besar (anggapan itu), maka aku menyediakan diri untuk
mengikutinya, lalu aku mencarinya dan aku dapati ia terluka parah, ia berusaha
mempercepat kematian dengan meletakkan pedangnya di tanah, sedangkan ujung
pedang berada di dadanya, kemudian ia menekan badannya hingga meninggal. Pada
saat itulah Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya ada orang yang melakukan
perbuatan ahli surga, seperti yang tampak pada banyak orang, padahal sebenarnya
ia ahli neraka. Dan ada orang yang melakukan perbuatan ahli neraka, seperti
yang tampak pada banyak orang, padahal ia termasuk ahli surga. (Shahih Muslim
No.163)
Hadis riwayat Jundab ra., ia
berkata: Rasulullah bersabda: Ada seorang
lelaki yang hidup sebelum kalian, keluar bisul pada tubuhnya. Ketika bisul itu
membuatnya sakit, ia mencabut anak panah dari tempatnya, lalu membedah bisul
itu. Akibatnya, darah tidak berhenti mengalir sampai orang itu meninggal. Tuhan
kalian berfirman: Aku haramkan surga atasnya. (Shahih Muslim No.164)
Jadi seorang Mujahid sejati
menurut Islam akan berperang membunuh musuh tanpa rasa takut sedikit pun. Dia
tidak akan membunuh dirinya sendiri dengan senjata karena takut ditangkap atau
disiksa oleh musuh!
e. Jika musuh ingin berdamai, hendaknya
kita juga berdamai:
“Dan
jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
[Al Anfaal 61]
Meski sudah mengungsi ke Madinah,
kaum kafir berulang-kali menyerang ummat Islam pada Perang Badar, Perang Uhud,
dan Perang Khandaq. Ummat Islam hanya bertahan membela diri saat mereka
diserang di sekitar kota Madinah. Begitu musuh kalah dan mundur, ummat Islam
membiarkan mereka mundur dengan damai. Sementara tawanan yang ada diperlakukan
dengan baik dan dibebaskan setelah mendapat tebusan baik dengan uang, atau pun
sekadar mengajar ummat Islam untuk membaca.
a. Allah memerintahkan kita memeriksa dulu orang-orang
yang akan kita bunuh:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka
telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam”
kepadamu (atau mengucapkan Tahlil): “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu
membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di
sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu [dulu juga
kafir], lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [An
Nisaa' 94]
Kata Usamah: “Wahai Rasulullah, sungguh dia mengatakannya hanya karena takut pada
senjata.” Nabi bersabda, “Tidakkah kamu belah dadanya, lalu kamu keluarkan
hatinya supaya kamu mengetahui, apakah hatinya itu mengucapkan kalimat itu atau
tidak?” Demikianlah, Nabi berulang-ulang mengucapkan hal itu sehingga Usamah
berharap baru masuk Islam saat itu sehingga dimaafkan Nabi.
b. Kita tidak boleh mengkafirkan
orang-orang yang mengucapkan salam atau pun tahlil dengan alasan mereka bukan Islam.
Mereka kafir. Tidak bisa begitu.
Tiga
perkara berasal dari iman: (1) Tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan
“Laailaaha illallah” karena suatu dosa yang dilakukannya atau mengeluarkannya
dari Islam karena sesuatu perbuatan; (2) Jihad akan terus berlangsung semenjak
Allah mengutusku sampai pada saat yang terakhir dari umat ini memerangi Dajjal
tidak dapat dirubah oleh kezaliman seorang zalim atau keadilan seorang yang
adil; (3) Beriman kepada takdir-takdir. (HR. Abu Dawud)
Jangan
mengkafirkan orang yang shalat karena perbuatan dosanya meskipun (pada
kenyataannya) mereka melakukan dosa besar. Shalatlah di belakang tiap imam dan
berjihadlah bersama tiap penguasa. (HR. Ath-Thabrani)
Mungkin ada yang berdalih, kan
Abu Bakar ra juga memerangi orang-orang Islam yang sholat. Mereka tidak paham yang
diperangi Khalifah Abu Bakar itu adalah orang-orang yang tidak mau membayar
zakat. Dan Abu Bakar sebagai Khalifah Islam pada waktu itu memang berhak memerangi
orang-orang yang memisahkan sholat dan zakat, yaitu orang-orang yang
memilih-milih dalam syariat agama Islam mana yang diambilnya dan mana yang
dibuangnya.
Jadi kalau ada yang merasa
berjihad dengan membunuh sesama Muslim yang mengucapkan tahlil dan sholat?
Mungkin dilihat dan diteliti lagi apa orang tersebut memilih-milih dalam
syariat yang lainnya, bahkan hukuman kalau perlu ditunda dahulu agar terang
dikatakan seakan-akan bisa mengintip hatinya.
Di Sahih Muslim disebut bagaimana
Usamah bin Zaid membunuh seseorang yang mengucapkan tahlil saat ditugaskan
perang. Sebetulnya apa yang dilakukan Usamah wajar karena mengira orang itu
cuma berpura-pura agar selamat. Kata Usamah: “Wahai Rasulullah, sungguh dia
mengatakannya hanya karena takut pada senjata.” Nabi bersabda, “Tidakkah kamu
belah dadanya, lalu kamu keluarkan hatinya supaya kamu mengetahui, apakah
hatinya itu mengucapkan kalimat itu atau tidak?” Demikianlah, Nabi
berulang-ulang mengucapkan hal itu sehingga Usamah berharap baru masuk Islam
saat itu sehingga dimaafkan Nabi.
Kalimat Tahlil saja sudah cukup
menyelamatkan nyawa seorang Muslim. Aneh jika Tahlil sudah diucap dan sholat
dilakukan serta zakat ditunaikan masih dibunuh juga. Apalagi jika aliran tersebut
masih termasuk yang dianggap lurus menurut Risalah Amman yang didukung 200
ulama dari 50 negara. Di antaranya: Yusuf Qaradhawi, Mufti Mesir Ali Jum’ah,
Syeikh Al Azhar Tontowi, KH Hasyim Muzadi, dsb:
c. Jangan lari dari jihad atau jangan
mengungsi apabila kaum kafir mengambil tanahmu (mencoba mengusirmu dari
negerimu (telah menjadi tanah jihad)):
“Apakah
kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu
ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: ‘Angkatlah untuk kami seorang
raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah’. Nabi mereka
menjawab: ‘Mungkin sekali jika kalian nanti diwajibkan berperang, kalian tidak
akan berperang.’ Mereka menjawab: ‘Mengapa
kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir
dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?’ Maka tatkala perang itu
diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa orang saja di
antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.”
(2:246)
Dan
orang-orang yang beriman berkata: "Mengapa tiada diturunkan suatu
surat?" Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan
disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada
penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan
karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka. QS.
Muhammad: 20
“Tidakkah
kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: ‘Tahanlah tanganmu
(dari keinginan untuk berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!’
Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka
(golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah,
bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: ‘Ya Tuhan kami, mengapa
Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan
(kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?’ Katakanlah: ‘Kesenangan
di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang
bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.” (4:77)
Lari
atau mengungsi dibolehkan dengan tujuan:
- Mengungsi khusus untuk orangtua (lebih baik ikut jihad), anak-anak dan perempuan saja, tidak untuk laki-laki muslim yang sehat, karena status jihad pada negerinya tersebut adalah wajib diikutinya,
- Mencari bantuan (baik mencari bantuan secara diplomasi, mencari bantuan persenjataan atau harta atau bantuan fisik),
- Menggabungkan diri dengan satuan pasukan Islam lainnya,
- Pelarian yang merupakan bagian dari strategi/siasat berperang,
Bila pria sehat melarikan diri
atau mengungsi dari medan jihadnya bisa diartikan orang tersebut adalah bersifat
fasik atau munafik atau orang yang akan mendapatkan kecelakaan kelak.
Adapun laki-laki sehat yang
beralasan menjauhkan keluarganya (orang tua, anak dan istri) dari medan perang,
hendaklah secepatnya kembali balik ke medan jihadnya atau lebih baik lagi
dengan menyerahkan urusannya kepada Allah SWT tentang keluarganya, dengan
membuat janji temu dengan keluarga disuatu tempat bila telah dalam keadaan
damai nantinya.
Melihat berdasarkan fiqh Prioritas
:
- Orang yang berada ditanah jihad, wajib berjihad dengan segala kemampuannya
- Orang yang berada diluar tanah jihad, (1) bila berminat dengan keutamaan jihad dan mampu, hendaklah dia ikut berjihad di tanah jihad tersebut namun harus menguasai dahulu bahasa setempat di tanah jihad, menguatkan sendi-sendi agamanya dan membulatkan kepasrahan dan hati karena Allah SWT, (2) bila tidak mampu berjihad secara langsung maka hendaklah mengirim bantuan harta, obat-obatan, senjata atau bantuan diplomasi, (3) bila tidak mampu pula berjihad lah dengan belajar lebih giat ilmu keagamaan dan berjihad lah dengan hawa nafsu, (4) jangan menghalang-halangi seseorang terhadap salah satu dari 3 pilihan diatas.
- Wajib keseluruhan umat Islam dimanapun berada untuk berbai’at dan berjihad bila Imam Mahdi telah memanggil.
Tanah jihad adalah “Mereka menjawab: ‘Mengapa kami tidak mau
berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung
halaman kami dan dari anak-anak kami”
Barangsiapa
yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat)
perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka
sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan
tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya. QS. Al
Anfaal: 16
Katakanlah:
"jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari
Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik. QS. At Taubah: 24
a. Tidak mendahului melakukan peperangan:
Sebagaimana petunjuk Al-Qur'an
dan Hadits, prinsip perang dalam Islam adalah tidak memerangi orang-orang yang
tidak memerangi mereka. Dengan kata lain Islam tidak memulai peperangan.
“Oleh
sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan
serangannya terhadapmu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah
beserta orang-orang yang bertaqwa”. (QS. 2:194)
Firman Allah: "Dan perangilah di jalan Allah orang-oran yang memerangi kalian,
tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas. (QS. Al-Baqarah: 190)
Agar orang yang diperangi
mengucapkan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (tiada tuhan selain Allah) bukanlah
tujuan dari perang. Sebab ini bertentangan dengan Islam. Perang dalam Islam
bertujuan sebagai pembelaan diri dan menolak kezhaliman, sebagaimana yang
disebutkan di atas.
Namun, jika di saat perang mereka (yang diperangi) mengucapkan kalimat لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (tiada tuhan selain Allah), maka saat itu juga darah mereka haram ditumpahkan, kecuali jika mereka melakukan pelanggaran undang-undang syari'at yang menuntut hukuman mati, seperti membunuh orang lain dengan sengaja.
Namun, jika di saat perang mereka (yang diperangi) mengucapkan kalimat لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (tiada tuhan selain Allah), maka saat itu juga darah mereka haram ditumpahkan, kecuali jika mereka melakukan pelanggaran undang-undang syari'at yang menuntut hukuman mati, seperti membunuh orang lain dengan sengaja.
Siapakah
yang diperangi
Marilah sejenak Kita melihat
penggalan dari Tafsir Al-Barru tentang perang ini :
SURAT
AL-BAQARAH (2) Ayat 190
[Dan perangilah di jalan Allah orang-orang
yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena
sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas.]
1). Sekarang, sampai ayat 195 nanti, kita bicara
hal yang paling sensitif: perang. Karena ini menyangkut terganggunya
ketenteraman kehidupan, menyangkut degradasi pembangunan, dan menyangkut nyawa
banyak orang, maka sebelum bicara soal ini, Allah memperkenalkan kita kepada
tahapan-tahapan pendahuluan yang harus dilalui sebelum sampai ke tahapan yang
paling puncak dalam penegakan agama Allah ini. Apabila tahapan-tahapan tersebut
tidak dilewati, kemudian langsung loncat ke puncak, maka alih-alih
menjadi solusi, perang malah bisa menjadi penyebab runtahnya peradaban dan
terhinanya umat.
Allah memulainya dengan memperkenalkan kepada
kita apa yang dimaksud dengan الْبِرُّ
(al-birru, perbuatan bajik) beserta unsur-unsur yang
membentuknya di ayat 177. Tanpa mengenal konsep ini, kita bisa terjerembab ke
dalam lawannya, الإِثْمُ
(al-itsmu, perbuatan dosa). Perang, dalam Islam,
merupakan bagian dari الْبِرُّ
(al-birru, perbuatan bajik) dan tidak boleh, sesedikit
apapun, tercemari oleh الإِثْمُ
(al-itsmu, perbuatan dosa). Setelah itu, di ayat 178
dan 179, Allah menyampaikan konsep qishash (hukuman setimpal).
Apa sebab? Sebab Islam memandang bahwa pengobar
perang itu adalah pelaku kejahatan terorganisir. Dan tidak ada kejahatan
terorganisir kalau tidak didahului oleh kejahatan individual. Karena agama
bersifat preventif, maka sebelum berkembang menjadi kejahatan terorganisir,
harus secepatnya dihentikan sejak masih individual; dan di situlah fungsinya qishash.
Kemudian melalui ayat 180-182, Allah menarik perhatian kita ke masalah washiat
(pesan suci). Yang namanya kejahatan terorganisir pasti ada pemimpin
tertingginya. Kalau perang, niscaya ada panglimanya; bahkan panglima pun ada
yang mengangkatnya, ada pangti (panglima tertinggi)-nya. Soalannya ialah, apa
yang mendasari pengangkatan dan pergantian kepemimpinan pada sebuah organisasi
kejahatan? Jawabannya cuma satu: atas dasar suksesnya pelaksanaan dan
keberlanjutan kejahatan tersebut. Maka pengangkatan dan pergantian itu bisa bottom-up
(demokrasi), bisa top-down (washiat), bahkan bisa juga
perebutan kekuasaan (kudeta). Pokoknya mana yang paling kondusif pada masa dan
keadaannya masing-masing.
Namanya saja kejahatan, tidak perlu ada formula
yang pakem. Karena formula yang pakem akan mempersempit ruang gerak para pelaku
kejahatan. Agama adalah keteraturan. Islam adalah ajaran yang keteraturannya
berasaskan pada prinsip-prinsip keadilan; karena hanya dengan begitu suasana
kedamaian (islam—dengan huruf “i” kecil) bisa terwujud. Sebagai agama
langit—artinya lejitimasinya sepenuhnya bergantung pada titah langit—maka Islam
menetapkan washiat sebagai formula penting dalam hal pengangkatan dan
pergantian pemimpin tertingginya.
Banyak pihak—bahkan di kalangan Islam
sendiri—yang meributkan konsep ini, tapi hebatnya, keributan mereka sontak berhenti
kalau raja-raja dan diktator-diktator ber-washiat—bahkan jauh hari
sebelum tanda kemangkatannya—dengan mempersiapkan apa yang disebut putra
mahkota. Tetapi harus secepatnya disampaikan bahwa masalah yang satu ini memang
berat karena di dalamnya berjumpa banyak kepentingan. Itu sebabnya, di ayat
183-188, Allah mengajak kita berpuasa. Karena berpuasa, seperti telah
diuraikan, adalah “negasi” (penolakan, berkata “tidak”, mengobarkan perang)
kepada seluruh kepentingan-kepentingan itu yang tersimpulkan pada tiga perkara
utama: makan, minum, dan libido. Tujuannya: takwa, menjunjung tinggi
hukum-hukum Allah. Harapannya (ayat 189), agar semua pihak dalam Islam mencapai
puncak pendakian: الْبِرُّ
(al-birru, kebajikan yang sempurna) dengan mau (dengan
pilihan rasionalnya alias secara suka rela) memasuki al-bayt (rumah
risalah) dari pintu yang benar. “Apakah kamu tidak memperhatikan
pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada
seorang Nabi mereka: ‘Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang
(di bawah pimpinannya) di jalan Allah’. Nabi mereka menjawab: ‘Mungkin sekali
jika kalian nanti diwajibkan berperang, kalian tidak akan berperang.’ Mereka
menjawab: ‘Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya
kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?’ Maka
tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali
beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang
yang zalim.” (2:246)
2). Barulah setelah itu, perang boleh
dibicarakan. Dapat kita bayangkan, begitu panjangnya perjalanan, begitu
banyaknya tahapan-tahapan krusial, yang harus ditempuh sebelum sampai ke sana.
Sayangnya banyak orang yang tidak sabar. “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang
yang dikatakan kepada mereka: ‘Tahanlah tanganmu (dari keinginan untuk
berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!’ Setelah diwajibkan
kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik)
takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih
sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: ‘Ya Tuhan kami, mengapa Engkau
wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban
berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?’ Katakanlah: ‘Kesenangan di dunia
ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa
dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.” (4:77)
Mengapa (untuk sampai ke perintah) perang dibuat
sedemikian berliku jalannya?
Pertama, perang pada dasarnya
tidak menyenangkan, karena akan memporak-porandakan pranata kehidupan,
berpotensi meruntuhkan peradaban, memisahkan orang-orang yang saling mencintai,
menjauhkan suami dari istri, orang tua dari anak-anaknya. Perang, karenanya,
tidak disenangi oleh manusia. Sehingga memantik perang adalah kejahatan.
Kedua, perang pasti menimbulkan
korban jiwa. Dalam perspektif Islam, tiap jiwa adalah milik Allah. Sehingga
hanya Dia-lah satu-satunya yang punya hak untuk mematikan jiwa-jiwa tersebut melalui
berbagai peristiwa alamiah ciptaan-Nya—semisal penyakit, bencana alam,
kerentaan, kecelakaan, dan sebagainya. Kematian di luar itu harus ada yang
mempertanggungjawabkannya di hadapan Sang Pemilik jiwa-jiwa tersebut.
Penangungjawab itu ada dua macam: penanggung
jawab LIAR (tanpa mengantongi surat izin dari Sang Pemilik jiwa) dan penangung
jawab RESMI (mengantongi surat izin). Yang pertama itulah yang disebut pelaku
kejahatan karena membuat (atau mengkondisikan penyebab terjadinya) ketercabutan
jiwa secara ilegal. Sedangkan yang kedua disebutشَهِيد
(syaɦīd, saksi); yakni Figur Ilahi yang mendapatkan
mandat syar’i dari Sang Pemilik jiwa (4:41) untuk menjadi saksi atas kematian
mereka yang mempertaruhkan nyawanya di dalam suatu perang. Jika ada mobilisasi
umat untuk pergi berperang di suatu medan atau negara tertentu, pertanyaannya
ialah, siapa yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan dan kematian mereka
kelak di hadapan Allah swt? Syaɦĭd (saksi) inilah satu-satunya
yang boleh mengambil keputusan tentang perang dan damai.
Ketiga, agar perang dan semangat
perang tidak gampang dibajak oleh pihak-pihak tertentu, termasuk oleh
musuh-musuh Islam. Karena manakala perang dengan gampang diinisiasi tanpa
memenuhi tahapan-tahapan dan unsur-unsur syar’inya, maka perang (atau semangat
perang) seperti itu akan gampang dibajak oleh kelompok-kelompok tertentu demi
memenuhi tujuan kelompk-kelompok tersebut, dan setelah itu mencampakkan umat ke
dalam lembah kehina-dinaan. Pendeknya, umat akan gampang digiring bagai hewan piaraan
menuju ke tempat-tempat pejagalan untuk memenuhi hajat musuh-musuhnya sendiri.
Dalam hubungan itulah sehingga Allah mendahului ayat perang ini dengan
pentingnya memasuki rumah melalui pintunya yang benar, dan tidak memlalui pintu
belakang. “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain
mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang
kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan
kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). Dan jika mereka condong kepada
perdamaian, maka condonglah kepadanya (kepada perdamaian itu) dan bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar Maha Mengetahui.”
(8:60-61)
3). Karena memantik perang adalah
kejahatan—siapapun pelakunya—maka satu-satunya
perang yang diperbolehkan ialah perang untuk menghentikan kejahatan tersebut:
وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ
الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ (wa
qātilū fī sabĭlillāɦi al-ladzĭna yuqātilūnakum, dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian). Di penggalan ayat yang
dimulai dengan perintah untuk berperang ini, terkandung tiga unsur penting yang
perlu mendapat perhatian.
Pertama, adanya huruf وَ (wa, dan)
di awal kalimat mengindikasikan dengan jelas bahwa ayat ini masih merupakan
kelanjutan dari ayat sebelumnya (189) yang berbicara soal الأهِلَّةِ (al-aɦillah)
dan memasukiالْبُيُوتَ (al-buyūt)
melalui pintu yang Allah tunjuk. Urgensi الأهِلَّةِ
(al-aɦillah) karena pada 4 (empat) bulan-bulan haram (9:36), perang
harus dihentikan—paling tidak untuk sementara—demi menghormati kemuliaan
bulan-bulan tersebut. Dan tentu saja, pemegang otoritas tertinggilah (yaitu syaɦīd,
saksi ilahi) yang berhak melakukan tindakan itu.
Kedua, penggunaan frasa فِي سَبِيلِ اللّهِ
(fī sabīlil-lāɦ, di jalan Allah) memberikan peringatan keras
bahwa perintah perang yang dimaksud di ayat ini tidak berlaku pada sebarang
perang. Perintah perang hanya berlaku bilamana alasan-alasan syar’i-nya
terpenuhi. Lagi-lagi di sini muncul kembali arti penting dan keniscayaan
seorang syaɦīd (saksi ilahi); karena dialah yang
paling memahami secara menyeluruh dan mendalam hukum-hukum syar’i yang
dengannya sebuah perang pantas disebut فِي
سَبِيلِ اللّهِ (fī sabīlil-lāɦ,
di jalan Allah). Kalau tidak, maka pihak-pihak tertentu, termasuk
musuh-musuh Islam, bisa merekrut umat dengan memanipulasi istilah sakral ini
untuk mengampu kepentingan hegemonik mereka.
Ketiga, kehadiran anak kalimat الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ (al-ladzĭna
yuqātilūnakum, orang-orang yang memerangi kalian) adalah
sebagai objek dari kata kerja perintah قَاتِلُواْ
(qātilū, perangilah). Yakni bahwa perintah perang tidak berlaku
pada sebarang objek. Allah hanya mengeluarkan perintah perang untuk menghadapi
pihak yang secara terang-terangan mengangkat senjata. Sehingga bisa diartikan
bahwa perang dalam Islam adalah bentuk lain dari penegakan hukum qishash.
Tetapi karena perang melibatkan jumlah personil yang tidak sedikit dan dengan
persenjataan yang lengkap sehingga aparat keamanan (kepolisian) tidak mungkin
lagi mengatasinya, maka cara satu-satunya yang bisa ditempuh untuk menghentikan
atau menghukum para pelakunya ialah dengan (terpaksa) mengibarkan bendera
perang terhadapnya. Bisa dikatakan, di ranah “keamanan” sebutannya قِصَاص (qishāsh,
hukuman setimpal), sementara di ranah “pertahanan” sebutannya قِتَال (qitāl,
perang mempertahankan diri). Maknanya equivalen, sama-sama memberikan
pembalasan yang setara. “Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu
yang patut dihormati berlaku hukum qishāsh. Oleh sebab itu barangsiapa
yang menyerang kalian, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya
terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.” (2:194)
4). Berperang artinya berusaha untuk saling
membunuh. Emosi dan perhitungan rasional cenderung tak diindahkan. Kemanusiaan
kadang tak berarti lagi. Tetapi kendati demikian, dalam Islam, aturan perang
tetap wajib ditegakkan: وَلاَ
تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ
يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ [wa lā
ta’tadū innal-lāɦa lā yuhibbul-mu’tadīn, (tetapi) janganlah kalian
melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang
melampaui batas]. Penggalan ayat ini mengisyaratkan dengan jelas adanya
sifat qishāsh di dalam qitāl. Perang dalam Islam adalah menerapkan hukum
yang setimpal dan mempertahankan diri.
Makna “melampaui batas” ialah bahwa
berperang فِي سَبِيلِ اللّهِ (fī sabīlil-lāɦ,
di jalan Allah) itu bukanlah balas dendam, pun bukan bermaksud menghabisi
mereka, apalagi membunuh wanita-wanita, anak-anak, oran-orang tua, agamawan,
dan mereka yang telah menyerah, tetapi menghentikan kejahatan terorganisir
mereka dan mengusir mereka dari tempat-tempat yang telah mereka kuasai. Apabila
perang (dalam pengertian mempertahankan diri) ini berubah menjadi balas dendam,
bermaksud menghabisi mereka, menodai wanita-wanitanya, membunuh orang-orang yang
tidak berdaya, serta mengejar mereka untuk merampas wilayah negeri mereka
sendiri, maka perang seperti ini telah berubah menjadi kejahatan pula. Ini
bukan lagi defensif, tapi sudah berubah menjadi agresif. Kita telah menyandang
predikat agresor dan kolonial. Prilaku kita kembali sama dengan prilaku bejat
mereka. Kita telah berbuat “melampaui batas”. Dan Allah memberikan
peringatan tegas: إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ
الْمُعْتَدِينَ (innal-lāɦa
lā yuhibbul-mu’tadīn, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang
yang melampaui batas). Sehingga perang seperti itu tidak pantas lagi
disebut فِي سَبِيلِ اللّهِ (fī sabīlil-lāɦ,
di jalan Allah) kendati alasan pencetusnya berkategori فِي سَبِيلِ اللّهِ
(fī sabīlil-lāɦ, di jalan Allah). “Dari Abu Hurairah ra bahwa
Rasulullah saw bersabda: ‘Apabila ada dua orang yang saling mencaci-maki,
maka cacian yang diucapkan oleh keduanya itu, dosanya akan ditanggung oleh
orang yang memulai cacian selama orang yang dizalimi itu tidak melampaui batas’.”
(HR. Muslim no. 4688)
5). Hadis Nabi saw.:[Telah menceritakan
kepada kami Abu al-Qasim bin Abu az-Zinad berkata, telah mengabarkan kepadaku
Ibnu Abu Habibah dari Dawud bin al-Hushain dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia
berkata; Rasulullah saw apabila mengutus pasukannya beliau bersabda: "Berangkatlah
kalian dengan menyebut nama Allah, kalian berperang fī sabīlil-lāɦ (di
jalan Allah) melawan orang-orang yang yang kafir kepada Allah, janganlah kalian
mengkhianati perjanjian, janganlah kalian curang (mengambil harta rampasan
perang sebelum dibagikan), janganlah kalian merusak jasad, janganlah kalian
membunuh anak-anak dan orang-orang yang mendiami tempat-tempat ibadah."]
(Musnad Ahmad no. 2592. Lihat juga Sunan Abu Daud no. 2246, Sunan Tirmidzi no.
1328, Sunan Ibnu Majah no. 2848)
SURAT
AL-BAQARAH (2) Ayat 192
[Kemudian jika mereka berhenti (dari
memerangi kalian), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.]
1). Karena
perang dalam perspektif Islam adalah mempertahankan diri dan menghentikan
serangan yang diprakarsai musuh, maka jika tujuan itu telah tercapai, secara
otomatis perang (melawan mereka) harus pula dihentikan: فَإِنِ انتَهَوْاْ (fa-in intaɦaū, kemudian
jika mereka berhenti--dari memerangi kalian). Coba perhatikan indah dan
efektifnya bentukan kalimat dalam Alquran. “Kemudian jika mereka berhenti”,
seakan menjadi kalimat yang menggantung. Kalau mereka berhenti, terus apa?
Kelanjutan kalimatnya tidak dituliskan karena sudah inheren di dalam tujuan
perang fī sabīlil-lāɦ (di jalan Allah) itu. Mafhum
bahwa perang fī sabīlil-lāɦ (di jalan Allah) bertujuan menghentikan makar yang sengaja
disulut, sehingga jikalau musuh menghentikan makar tersebut, dengan
sendirinya perang melawan mereka pun harus dihentikan, tanpa perlu lagi
menyebut kelanjutan kalimat itu secara eksplisit.
Tujuan itu sudah terfahami secara saksama oleh
pembaca yang mengikuti narasi sejak awal. Kalau tetap dilanjutkan, berarti
perang itu telah kehilangan alasan pembenarnya, kehilangan tumpuan rasionalnya,
kehilangan dalil syar’inya. Dan perang seperti itu mendadak berubah menjadi
makar baru. Itu artinya, Allah menyusun suatu kalimat tidak saja memerhatikan
format gramatikanya tapi juga materi (rasionalitas) dari setiap proposisi yang
menyusun kalimat tersebut. Secara lengkap, ayat tadi seharusnya berbunyi: “Kemudian
jika mereka berhenti dari memerangi kalian maka kalian pun harus
menghentikan permusuhan kalian kepada mereka.” Kita lihat betapa
panjangnya sambungan kalimat yang dipotong. “Sesungguhnya orang-orang yang
mengingkari Alquran ketika datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan
celaka). Dan sungguh Aluran itu benar-benar kitab yang mulia. Yang tidak datang
kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan
dari Tuhan Yang Maha Bijaksana Maha Terpuji.” (41:41-42)
2). Kata إِن
(in, jika) di penggalan ayat فَإِنِ انتَهَوْاْ
(fa-in intaɦaū, kemudian jika mereka berhenti--dari
memerangi kalian) adalah syarat. Kalau ada syarat berati harus ada juga
jawaban atas syarat tersebut. Menurut logika bahasa, jawaban atas syarat hanya
wujud manakala syarat tersebut terpenuhi. Sehingga tidak mungkin jawaban atas
syarat mendahului terwujudnya syarat. Dalam hal فَإِنِ انتَهَوْاْ
(fa-in intaɦaū, kemudian jika mereka berhenti--dari
memerangi kalian), mengindikasikan bahwa perang fī sabīlil-lāɦ (di
jalan Allah) hanya boleh berhenti (atau dihentikan) apabila mereka
(musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kemanusiaan itu) juga menghentikan perbuatan
makarnya atau kejahatan terorganisirnya terhadap kemanusiaan. Kalau tidak,
berarti Imam kaum Muslim harus tetap mengerahkan para mujaɦidīn
(pejuang fī sabīlil-lāɦ) dengan seluruh tenaga dan potensi yang
ada untuk meneruskan perjuangan menghadang gerak laju para penjahat kemanusiaan
itu.
Di sinilah pentingnya stok sumber daya (tenaga,
spirit, dana, logistik, dan teknologi persenjataan) mendapat perhatian sangat
penting dari pemimpin umat. Dan, Islam, sebagai agama yang paripurna, telah
mensistematisasi semua itu dengan sangat mencengangkan. Kalau umat Islam KALAH,
itu pasti karena ada yang SALAH. Kalau penganut agama Tuhan jadi PECUNDANG, itu
pasti karena ada yang jadi MALIN KUNDANG. “Demi kuda perang yang berlari
kencang dengan terengah-engah. Dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan
(kuku kakinya). Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. Maka ia
menerbangkan debu. Dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh.”
(100:1-5)
3). Kendati Allah memandatir hamba yang
mengimani-Nya untuk berjuang di pihak-Nya guna menghentikan perang, teror dan
sabotase yang dilakukan para pembuat makar. Serta mengizinkan mereka membunuh
penjahat-penjahat kemanusiaan itu di medan laga mana saja mereka temui. Tetapi,
dalam pada itu, andai para musuh-musuh Allah itu menghentikan permusuhannya,
Dia membujuk mereka dengan ungkapan penuh kasih: فَإِنَّ
اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (fa innallāɦa
ghafūrur-rāhīm, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha
Penyayang). Ungkapan ini mempertegas kembali tujuan perang fī
sabīlil-lāɦ (di jalan Allah); yaitu bahwa perang dalam Islam
merupakan bagian tak terpisahkan dari tugas dakwah: mengajak mereka kembali
kepada kemanusiaan, kepada kebenaran, kepada Allah. Bahkan seandainya pun
mereka belum ada keinginan untuk kembali kepada Penciptanya, cukup menghentikan
saja dulu perbuatan makarnya, Allah sudah menjanjikan mereka ampunan.
Dan kalau Allah sendiri sudah menyebut diri-Nya غَفُورٌ (ghafūrun,
Maha Pengampun), maka Imam kaum Muslim yang di tangannya keizinan
berperang itu tergenggam, pun harus memberikan ampunan massal kepada mereka.
Inilah yang terjadi pada Nabi Saw saat menaklukkan Mekah (Fathu Makkah);
Baginda memberikan ampunan massal kepada penduduk Mekah yang dulu mengusir
Beliu dan para sahabatnya serta sejauh ini selalu terdepan di dalam mengangkat
senjata melawan manusia suci itu beserta kaum Muslim di Madinah. “Dari Anas
(bin Malik) ra, bahwa Ummu Sulaim selalu membawa parang ketika perang Hunain
(perang pertama pasca Fathu Makkah, pen.), lalu Abu Thalhah melihatnya sehingga
ia pun mengadu: ‘Wahai Rasulullah, Ummu Sulaim selalu membawa parang.’
Beliau lalu bertanya kepada Ummu Sulaim: ‘Untuk apakah kamu selalu membawa
parang?’ Ummu Sulaim menjawab: ‘Jika ada orang Musyrik mendekatiku, maka
aku akan membelah perutnya.’ Rasulullah saw tertawa mendengarnya. Ummu
Sulaim berkata: ‘Wahai Rasulullah, bunuhlah orang-orang yang anda bebaskan
di hari penaklukan kota Makkah, sekarang mereka telah lari dari Anda.’ Maka
Rasulullah saw bersabda: ‘Wahai Ummu Sulaim, sesungguhnya Allah telah
mencukupi dan memperbaiki’.” (Shahih Muslim no. 3374)
4). Pasangan Nama Allah غَفُورٌ رَّحِيمٌ
(ghafūrur-rāhīm, Maha Pengampun Maha Penyayang)—termasuk yang
disertai kata sandang ال
(al)—muncul 76 kali dalam Alquran, dan hanya sekali bertukar
posisi, yaitu di 34:2; “Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa
yang keluar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik
kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang Maha Pengampun.”
Keterlebihdahuluan Nama غَفُورٌ
(ghafūrun, Maha Pengampun) atas Nama رَّحِيمٌ (rāhīmun, Maha Penyayang)
seakan hendak mengungkap rahasia pengetahuan Allah bahwa manusia makhluk
ciptaan-Nya itu sangat rentan terhadap noda dan dosa, terhadap khilaf dan
salah. Untuk meminimalisir teraktualisasinya potensi itu, Allah lalu memilih
orang-orang suci dari kalangan manusia sendiri guna mendemonstrasikan kepada
mereka bagaimana caranya berfikir, berkata, dan bertindak tanpa salah dan dosa.
Tetapi andaipun manusia itu pada awalnya menentang dan memalin-kundangi
orang-orang suci tersebut, bahkan mengangkat senjata untuk membunuhnya, namun
kemudian berhenti memanipulasi kebenaran yang datang dari langit seraya
menyadari kekhilafannya selama ini, Allah dengan segala sifat welas asih-Nya
menerimanya dengan tangan terbuka.
Karena Dia adalah غَفُورٌ
(ghafūrun, Maha Pengampun). Dan umat Islam yang selama ini
teraniaya oleh horor rekayasa mereka itu, pun harus membuka diri untuk
berlapang dada menerima mereka sebagai saudara, walaupun berbeda keyakinan dan
ideologi. Cuma alangkah baiknya jikalau mantan musuh Allah dan kemanusiaan
tersebut melangkah lebih jauh lagi, yakni kembali ke pangkuan Penciptanya,
mengimani-Nya, mengibadahi-Nya, dan menyatui-Nya. Jika itu yang mereka lakukan,
Allah akan merasakan kepadanya nikmat رَّحِيمٌ
(rāhīmun, Maha Penyayang)-Nya. “Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada
Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(4:110)
5). Hadis Nabi Saw.: [Telah menceritakan
kepadaku Ishaq bin Manshur telah mengabarkan kepada kami Ubaidullah bin Musa
dari Syaiban dari Yahya telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bahwa ia
mendengar Abu Hurairah berkata; Khuza'ah membunuh seorang laki-laki dari Bani
Laits pada saat Fathu Makkah (Penaklukan Kota Mekah) karena terbunuhnya seorang
laki-laki dari mereka oleh Bani Laits. Maka peristiwa itu pun dikabarkan kepada
Rasulullah saw. Beliau bergegas menaiki kendaraannya, kemudian menyampaikan
khutbah seraya bersabda: “Allah telah melindungi kota Mekah dari serangan
tentara gajah serta memberi kekuatan kepada Rasul-Nya dan orang-orang beriman
untuk mempertahankannya. Tidak seorang pun yang boleh berperang di negeri ini.
Larangan itu telah ada sejak dahulu. Dan juga tidak dibolehkan bagi orang-orang
yang sesudahku. Namun, hanya dikecualikan kepadaku untuk sesaat di siang hari.
Dan pada waktu ini telah kembali menjadi haram. Tidak boleh dipotong pohon
berdurinya, tidak boleh ditebang pepohonannya, dan jangan dipungut
barang-barang yang hilang tercecer kecuali untuk diumumkan. Siapa yang anggota
keluarganya terbunuh, dia mempunyai dua pilihan yang baik, yaitu menerima uang
tebusan (diyat) atau atau meminta agar si pembunuh dibunuh.”
Kemudian datanglah seorang laki-laki dari penduduk Yaman yang namanya Abu
Syahin, ia berkata, “Tuliskanlah untukku ya Rasulullah.” Maka beliau
pun bersabda: “Tuliskanlah untuk Abu Syahin.” Lalu seorang laki-laki
dari Quraisy berkata: “Kecuali al-Idzkhir, karena kami menggunakannya di
rumah dan kuburan kami.” Maka Rasulullah saw bersabda: “Melainkan Al
Idzkhir.”] (Shahih Muslim no. 2415. Lihat juga Sunan Tirmidzi no. 737)
SURAT
AL-BAQARAH (2) Ayat 193
[Dan perangilah mereka itu hingga tidak ada
lagi fitnah dan (sehingga) ad-dīn (agama itu hanya) untuk Allah. Jika
mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka tidak ada (lagi) permusuhan
(antara kalian dan mereka), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.]
1). Ayat 192 bercita rasa penutup pembahasan
tentang perang. Tetapi kini, perintah itu datang lagi. Apa sesungguhnya yang
terjadi? Perhatikan kembali ayat sebelumnya: فَإِنِ
انتَهَوْاْ (fa-in
intaɦaū, kemudian jika mereka berhenti—dari memerangi kalian),
maka ampunan Allah bagi mereka. Pertanyaannya, bagaimana kalau mereka tidak ada
niatan untuk berhenti? Atau sudah pernah berhenti tapi kumat lagi? Ya, tidak
ada pilihan lain: وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ
وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ [wa qātilūɦum
hattā lā takūna fitnatun wa yakūnad-dīnu lillāɦi, dan perangilah
mereka itu hingga tidak ada lagi fitnah dan (sehingga) ad-dīn (agama itu
hanya) untuk Allah]. Perang harus berlanjut, karena “lebih baik mati
berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai”. Lebih mulia mati syahid
daripada mencium kaki penindas.
Kehidupan adalah ujian, kematian adalah
kepastian. Penindas dan yang ditindas sama-sama mengikuti ujian persamaan. Penindas
dan yang ditindas sama-sama akan mati, yang beda hanya waktunya. Sehingga tidak
ada alasan untuk takut mati. Menoleransi kejahatan hanya akan memperluas ruang
gerak kejahatan tersebut. Dan sama dengan membiarkan korban terus berjatuhan.
Padahal, secara psikologis, tiap orang yang terzalimi jiwanya pasti berteriak
minta perlindungan dan pertolongan. Firman-Nya: “Mengapa kalian tidak mau
berperang di jalan Allah padahal kaum mustadh’afin (orang-orang yang lemah)
dari kalangan bapa-bapa, ibu-ibu maupun anak-anak, semuanya berdoa: ‘Ya Tuhan
kami, keluarkanlah kami dari negeri yang zalim penduduknya ini dan berilah kami
pelindung dari sisi-Mu, juga berilah kami penolong dari sisi-Mu!’.” (4:75)
2). Karena perang itu menimbulkan fitnah,
kerusakan sistem, maka hanya dengan menghentikan perang yang disulut para
penjahat kemanusiaan itulah fitnah bisa dienyahkan dan sistem bisa ditata
kembali. Untuk itu, perang harus diteruskan sampai tiada lagi fitnah yang
racunnya menyeruak ke dalam darah daging masyarakat: وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ
لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ (wa qātilūɦum
hattā lā takūna fitnatun, dan perangilah mereka itu hingga tidak
ada lagi fitnah). Jadi kalau puasa dimulai dengan WAKTU dan disudahi
dengan WAKTU (baca ayat 187), maka perang dimulai dengan KEADAAN dan diakhiri
dengan KEADAAN. Yaitu dimulai oleh keadaan MENYERANG, saat
penjahat kemanusiaan mengangkat senjata dan menyatakan perang, kemudian
disudahi oleh keadaan GENCATAN SENJATA, saat mereka
menghentikan serangannya dan meninggalkan wilayah dan/atau negara yang mereka
duduki.
Maka dari itu, diantara ayat yang paling banyak
kita jumpai di dalam Alquran ialah ayat-ayat tentang perang, jauh melebihi
ayat-ayat tentang salat-puasa-zakat-haji. Karena inti penegakan sistem ada di
sana. Musuh-musuh kemanusiaan tidak takut kepada orang yang beribadah
(salat-puasa-zakat-haji) namun kehilangan ideologi dan semangat jihadnya. Kalau
perlu mereka membantu pembangunan masjid mewah, memobilisasi kebutuhan pokok
bulan Ramadlan, membangun lembaga pengumpul zakat-infak-sedekah yang
profesional, memfasilitasi pelaksanaan haji dan umrah. Yang mereka takuti ialah
bersatunya umat Islam lantas berbicara soal perlunya menyingkirkan pelbagai
bentuk penindasan, diskriminasi, dan neokolonialisme. Mereka lantas
menstigmatisasi istilah JIHAD dengan memelihara sekelompok kecil orang yang di
dalam nama kelompoknya ada kata jihad lalu membuat makar di sana-sini. Mereka,
karenanya, mendorong terbentuknya sebanyak mungkin ormas dan sekte, lalu mereka
pelihara semuanya dengan baik, karena dengan begitu mereka bisa mengadu-domba
satu sama lain. Mereka bisa menjepit posisi umat Islam ke dalam dilema-dilema.
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu
semata-mata untuk Allah . Jika mereka berhenti (dari memerangimu), maka
sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. Dan jika mereka
berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allah Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik
Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (8:39-40)
3). Sebegitu gigihnyakah Islam dalam memerangi
para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan? Betul. Sebab Islam adalah
kemanusiaan itu sendiri. Pecinta kemanusiaan sejati adalah pembenci kejahatan
terhadap kemanusiaan. Cinta dan benci adalah dua sisi dari satu mata uang.
Tanpa salah satunya, maka yang satunya pun tidak bernilai sama sekali. Kalau
tidak begitu, lalu apa artinya cinta? Pihak mana saja yang mengusung nama Islam
tetapi tidak ramah terhadap nilai-nilai kemanusiaan—seperti toleran, cinta,
kasih sayang, kompetisi, keadilan, pendidikan, keterbukaan—yang bersifat
universal itu, maka itu bukan “atas-nama Islam”, melainkan “meng-atas-nama-kan
Islam”. Terhadap para pembuat makar, perang harus tetap diasaskan, agar: وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ [wa yakūnad-dīnu
lillāɦi, dan (sehingga) ad-dīn (agama itu hanya) untuk
Allah].
Apa maksudnya agama untuk Allah? Apakah Allah
butuh agama? Kata “untuk” di situ adalah dalam maknanya sebagai “milik”. Agama
itu milik Allah, dan bukan milik siapa-siapa. Tujuan filosofis dari penggalan
ayat ini ialah bahwa klaim individu harus dinegasi. Karena dari klaim individu
itulah lantas berkembang menjadi formula khauvinis (sempit):
primordialisme, sektarianisme, parokialisme, institusionalisme, hingga
nasionalisme. Benturan dan perang terjadi setelah formula khauvis ini mengalami
proses radikalisasi. Agama bisa ‘dijadikan’ sebagai salah satu katalisator yang
mengerikan. Inilah yang menerangkan kenapa sering terjadi perang yang
“meng-atas-nama-kan agama”.
Islam harus memerangi semua itu. Karena Islam
datang untuk mengembalikan agama pada proporsinya, yaitu: الدِّينُ لِلَّهِ (ad-dīnu
lillāɦi, agama milik Allah semata)—bukan milik saya, bukan milik Anda,
bukan milik mereka. Kematian saya, kematian Anda, kematian mereka, tidak
menyebabkan kematian agama. “Tidak ada paksaan untuk dalam ad-dīn (agama);
(karena) sungguh telah jelas jalan-benar daripada jalan-sesat. Maka barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut (penindas dan pelaku kejahatan lainnya) dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar Maha Mengetahui.”
(2:256)
4). Lagi-lagi Allah menekankan bahwa perang fī
sabīlil-lāɦ (di jalan Allah) tidak dimaksudkan untuk
melampiaskan amarah dan kebencian kepada pihak-pihak tertentu. Kebencian kepada
pelaku kejahatan merupakan bagian tak terpisahkan dari cinta terhadap
kemanusiaan. Maka Allah mengulangi kembali maklumat yang telah Dia umumkan di
ayat sebelumnya: فَإِنِ انتَهَوْا [fa-in
intaɦaū, jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian)] dengan tambahan:
فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
[falā ‘udwāna illā ‘alāzh-zhālimīn, maka tidak ada (lagi) permusuhan
(antara kalian dan mereka), kecuali terhadap orang-orang yang zalim].
Ingat, pembahasan kita soal perang ini bermula dari perintah Allah di ayat 190:
وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ
الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ (wa
qātilū fī sabĭlillāɦi al-ladzĭna yuqātilūnakum, dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian). Artinya penyulut pertama
perang dan permusuhan adalah mereka (musuh-musuh kemanusiaan), bukan kaum
Muslim. Sehingga, logikanya, apabila mereka sudah menghentikan perang dan
permusuhan tersebut, bukan saja perlawanan terhadapnya yang harus dihentikan
tetapi juga permusuhan.
Terusan إِلَّا
عَلَى الظَّالِمِينَ (illā
‘alāzh-zhālimīn, kecuali terhadap orang-orang yang zalim) adalah
pertanda selesainya tugas kemiliteran (pertahanan) dan selanjutnya penyerahan
tugas kepada kepolisian (keamanan). Bila sistem sudah kembali tegak dan pranata
sosial sudah bekerja dengan benar seperti sediakala, tidak berarti bahwa dengan
sendirinya kejahatan individual pun musnah. Selama yang menghuni suatu
komunitas itu masih manusia yang punya hawa nafsu maka selama itu pula potensi
kejahatan tetap ada. Kini saatnya sistem keamanan diperbaiki guna meredam
peluang teraktualisasinya potensi (keburukan) tersebut. Jika mereka
mengaktualisasikannya, yakni melakukan kezaliman, maka aparat penegak hukum
harus bertindak, kebenaran harus bicara, keadilan harus ditegakkan. “Jika
mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu)
adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum
yang mengetahui. (Tapi) jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka
berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin
mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat
dipegang janjinya, supaya mereka berhenti.” (9:11-12)
5). Hadis Nabi saw.: [Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah
menceritakan kepada kami Ubaidullah dari Nafi' dari Ibnu Umar ra(ma) bahwa dua
orang laki-laki mendatangi Ibnu Jubair mengadukan perihal fitnah yang
menimpa Ibnu Jubair, keduanya berkata: “Sesungguhnya orang-orang telah
berbuat sesuatu kepadanya, sedangkan kamu wahai Ibnu Umar sebagai sahabat
Rasulullah saw, apa yang menghalangimu tidak ikut campur dalam urusan ini?”
Ibnu Umar menjawab: “Yang menghalangiku ialah karena Allah telah mengharamkan
darah saudara Muslim.” Lalu keduanya berkata: “Bukankah Allah telah
berfirman: ‘Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah?’.”
(2:193) Maka Ibnu Umar menjawab: “Kami telah berperang hingga fitnah itu
tidak ada lagi dan dīn (agama) ini sudah menjadi milik Allah. Sedangkan
kalian menginginkan peperangan hingga terjadi fitnah dan dīn (agama) ini
menjadi bukan milik Allah.”
Utsman bin Shalih menambahkan dari Ibnu Wahhab
dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Fulan dan Haiwah bin Syuraih dari Bakr
bin Amru al-Ma'afiri bahwa Bukair bin Abdullah telah menceritakan kepadanya
dari Nafi' bahwa seseorang menemui Ibnu Umar seraya berkata: “Wahai Abu
Abdurrahman apa yang menghalangimu untuk berhaji dan berumrah pada tahun ini
dan kamu meninggalkan jihad di jalan Allah padahal kamu tahu bahwa Allah sangat
menganjurkan hal itu?” Ibnu Umar menjawab: “Wahai anak saudaraku,
Islam ini dibangun atas lima dasar: Iman kepada Allah dan Rasul-Nya, salat lima
waktu, puasa di bulan Ramadlan, menunaikan zakat, dan haji ke Baitullah.”
Laki-laki itu berkata: “Wahai Abu Abdurrahman, apakah kamu tidak mendengar
apa yang disebutkan Allah di dalam kitabnya: ‘Dan kalau ada dua golongan
dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kalian damaikan antara keduanya!
Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai kembali pada perintah Allah’
(49:9).” (Juga firman Allah) “Perangilah mereka hingga tidak ada
fitnah.” (2:193) Ibnu Umar menjawab: “Kami telah melakukan hal itu
pada masa Rasulullah saw ketika Islam masih sedikit sehingga seseorang dari
kami di-fitnah karena agamanya, baik dengan dibunuh maupun disiksa
sampai Islam semakin menyebar dan tidak ada lagi fitnah.” Orang itu
berkata lagi: “Bagaimana pendapatmu tentang Utsman dan Ali?” Ibnu Umar
menjawab: “Adapun Utsman, maka Allah telah memaafkannya sedangkan kalian
telah membenci untuk memaafkannya. Sedangkan Ali, dia adalah sepupu Rasulullah
saw dan menantunya.” Lalu dia mengisyaratkan dengan tangannya seraya
berkata: “Inilah rumahnya sebagaimana kamu lihat.”] (Shahih Bukhari
no. 4153)
SURAT
AL-BAQARAH (2) Ayat 194
[Bulan haram dengan bulan haram, dan
pada hal-hal yang terhormat berlaku hukum qishāsh. Maka barangsiapa yang
menyerang kalian, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang
bertakwa.]
1). Munculnya kembali masalah qishāsh
di ayat ini menunjukkan bahwa pembahasan kita selama ini belum ke mana-mana,
belum keluar dari subjek utamanya, masih tentang pembangunan masyarakat madani,
yang dibangun di atas dua tonggak sosiologis: الْبِرّ
(al-birr)—sebagai watak personalnya (ayat 177)—dan الْقِصَاصُ (al-qishāsh)—sebagai
pranata sosialnya (ayat 178). Untuk melahirkan watak personal yang memiliki
kemampuan menangkal pelbagai kejahatan individual, صِيَام (shiyām, puasa)—perang
melawan kejahatan diri—adalah instrumennya (ayat 183). Sementara untuk
membangun pranata sosial yang memiliki kemampuan menangkal pelbagai kejahatan
komunal, قِتَال (qitāl,
perang)—perjuangan melawan kejahatan sosial—adalah perangkatnya (ayat
190). Ayat yang kita bahas sekarang (194) kembali menekankan—dan sekaligus
semacam inti sari—bahwa qitāl itu ialah bentuk terapan lain dari
qishāsh. Maka bagian pertama ayat ini berbicara tentang
pemaknaan ulang qishāsh, sedangkan bagian keduanya membincang
soal momentum diterapkannya qitāl. Karena baik qishāsh
ataupun qitāl adalah sama-sama demi kemaslahatan manusia dan
kemanusiaan, bukan demi kemaslahatan kelompok tertentu saja, maka pelaksanaan
keduanya harus tetap berada dalam koridor takwa kepada Allah. Selama semuanya
dilaksanakan dalam koridor takwa, pada hakikatnya itu bukan lagi perbuatan
“kalian”, tetapi perbuatan Allah. “Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak
akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya
orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang
lain, sementara Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (45:19)
2). Bulan haram adalah bulan-bulan yang
dimuliakan. Dalam tradisi Arab pra-Islam, semua pihak menghormati bulan-bulan
tersebut. Ini diantara tradisi lama yang dipertahankan, bahkan diadopsi, oleh
Islam. Melalui pengadopsian ini, Allah mengajarkan bahwa tidak semua tradisi
lama patut dicap “ketinggalan jaman” dan karenanya harus ditinggalkan. Menurut
9:36, bulan-bualan haram itu ada 4 (empat), yang kemudian oleh Rasulullah saw
dipertegas kembali nama-namanya: Zulqaiddah (bulan ke-11), Zulhijjah (bulan
ke-12), Muharram (bulan ke-1), dan Rajab (bulan ke-7). Salah satu bentuk
penghormatan yang paling masyhur pada masa itu ialah larangan berperang.
Kalaupun perang sudah terlanjur berkobar, maka begitu tiba bulan-bulan haram,
gencata senjata harus diberlakukan, senjata-senjata harus digantung.
Pedang-pedang harus disarungkan. Itu telah menjadi semacam hukum adat yang
mengikat seluruh unsur dan anggota masyarakat.
Para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan saat
itu hendak mengecoh Nabi dan para sahabatnya dengan memanfaatkan bulan-bulan
haram tadi. Mereka tahu bahwa Nabi suci itu paling patuh memegang perjanjian;
pasti para pengikutnya dilarangnya membawa senjata. Sayangnya, mereka lupa
bahwa Islam adalah logika kemanusiaan: kemuliaan manusia jauh lebih tinggi
ketimbang kemuliaan bulan. Bagi Islam, semua hukum dan peraturan dibuat justru
dalam rangka memuliakan harkat dan martabat manusia. Sebelum mereka sempat
melaksanakan niat jahatnya, Allah terlebih dahulu mewahyukan kepada Nabi-Nya: الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ (asy-syaɦrul
harām bisy-syaɦril harām wal-hurumātu qishāshun, bulan haram
dengan bulan haram, dan pada hal-hal yang terhormat berlaku hukum qishāsh).
Kata kunci dari penerapan hukum qishāsh ialah: وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ (wal-hurumātu
qishāshun, dan pada hal-hal yang terhormat berlaku hukum qishāsh).
Jadi, apa saja yang dihormati oleh manusia, padanya berlaku hukum qishāsh.
Inilah prinsip keadilan yang sesungguhnya. “Mereka bertanya kepadamu
(Muhammad) tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: ‘Berperang pada
bulan itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya
dari sekitarnya, lebih besar (lagi dosanya) di sisi Allah . Dan fitnah lebih
besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian
sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agamamu (kepada kekafiran),
seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antaramu dari agamanya,
lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di
dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.” (2:217)
3). Setelah sebelumnya menerangkan filosofi hukum
qishāsh, selanjutnya Allah mengajarkan amalan praktisnya: فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ
فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ
(famani’tadā ‘alaykum fa’tadū ‘alayɦi bimitsli mā’tadā ‘alaykum,
maka barangsiapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia, seimbang dengan
serangannya terhadapmu). Kita sekarang sudah mendapatkan tiga terma
perlawanan. Di ayat 190, Alquran menggunakan kata kerja perintah: قَاتِلُواْ (qātilū,
perangilah). Di ayat 191, yang digunakan ialah kata kerja perintah: اقْتُلُو (uqtulū,
bunuhlah). Di ayat 194 ini, Allah memerintahkan kaum Muslim dengan
kata: اعْتَدُوا (i’tadū,
seranglah). Sebetulnya kita juga sudah bertemu rumpunan kata اعْتَدُوا (i’tadū,
seranglah) ini di ayat 190; saat itu Allah mengatakan begini: لاَ تَعْتَدُواْ (lā ta’tadū) yang
diterjemahkan dengan “jangan melampaui batas”. Dari sisi perubahan
kata kerja, keduanya sama, kecuali bahwa di ayat 194 ini dalam bentuk perintah
(amr), sementara yang di ayat 190 dalam bentuk larangan (naɦyi).
Lalu kenapa artinya berbeda? Sebenarnya tidak. Secara etimologi, “menyerang”
adalah “perbuatan melampaui batas”. Itu sebabnya di ayat 190
ditegaskan: إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ
الْمُعْتَدِينَ (innal-lāɦa
lā yuhibbul-mu’tadīn, sesungguhnya Allah tidak mencintai
orang-orang yang melampaui batas). Oleh karena itu Allah melarangnya.
Tetapi karena Islam—baik perintah maupun larangannya—selalu ada pintu
daruratnya, maka jika pihak musuh “menyerang” atau “melampaui
batas” (dalam hal ini melanggar kemuliaan bulan-bulan haram) terlebih
dahulu, Imam kaum Muslim juga diperintah untuk melakukan hal yang sama demi
melindungi kemuliaan manusia dan kemanusiaan. Dengan catatan penting: بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ
(bimitsli mā’tadā ‘alaykum, seimbang dengan serangannya
terhadapmu). Kalau serangan balik melebihi serangan mereka, itu bukan qishāsh
lagi. Itu adalah balas dendam. Sedangkan pemiliki dendam tidak punya tempat di
Surga. “Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati
mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas
dipan-dipan.” (15:47)
4). Agar “serangan” balik tidak
berkategori “melampaui batas”, maka dalam suasana seperti itupun Allah
tetap mewanti-wanti kaum Muslim agar tetap memelihara sifat-sifat takwa: وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ
الْمُتَّقِينَ (wattaqūllāɦa
wa’lamū annallāɦa ma’al-muttaqīn, bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa). Pesan ini juga
menyiratkan bahwasanya Imam kaum Muslim itu ialah figur yang berada di puncak
derajat ketakwaan sehingga pantas menyandang gelar “Imamul Muttaqīn”, agar
peluang berbuat “melampaui batas”, sekecil apapun, tertutup. Semakin
rendah derajat ketakwaan seorang pemimpin semakin besar juga peluangnya
melakukan perbuatan-perbuatan yang “melampaui batas”, dan Allah semakin
menjauh pula dari padanya. Karena, وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (wa’lamū annallāɦa
ma’al-muttaqīn, dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang
yang bertakwa). Sebaliknya, إِنَّ
اللّهَ لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ
(innal-lāɦa lā yuhibbul-mu’tadīn, sesungguhnya Allah tidak
mencintai orang-orang yang melampaui batas). Kalau pemimpinnya saja kurang
atau bahkan tidak bertakwa, dapat kita bayangkan bagaimana pula dengan
pengikutnya di bawah. Kalau pemimpinnya “mengancam”, umatnya pasti dengan
gampang dan tampa merasa bersalah melakukan perbuatan-perbuatan ini:
“melempar”, “membakar”, dan “membunuh”. “Dan (inilah) suatu permakluman
dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa
sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.
Kemudian jika kalian (kaum musyrik) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik
bagimu; dan jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kalian
tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Kecuali orang-orang musyrik yang kalian
telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi
sesuatupun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang
yang memusuhimu; maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas
waktunya . Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.”
(9:3-4)
5). Hadis Nabi saw.: [Telah menceritakan kepada
kami Zakaria bin Yahya Abu as-Sukain berkata, telah menceritakan kepada kami
al-Muharibi berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Suqah dari
Sa'id bin Jubair berkata: “Aku pernah besama Ibnu Umar saat dia terkena
ujung panah pada bagian lekuk telapak kakinya. Dia lalu merapatkan kakinya pada
tunggangannya, lalu aku turun dan melepaskannya. Kejadiaan itu terjadi di Mina.
Kemudian peristiwa ini didengar oleh al-Hajjaj, maka dia pun menjenguknya
seraya berkata; ‘Seandainya kami ketahui siapa yang membuatmu terkena
mushibah ini!’ Maka Ibnu Umar menyahut; ‘Engkaulah yang membuat aku
terkena mushibah ini.’ Al-Hajjaj berkata; ‘Bagaimana bisa!’ Ibnu
Umar menjawab: ‘Engkau yang membawa senjata di hari yang tidak diperbolehkan
membawanya. Dan engkau pula yang membawa masuk senjata ke dalam Masjidil Haram
padahal tidak diperbolehkan membawa masuk senjata ke dalam Masjidil Haram pada
hari ini’."] (Shahih Bukhari no. 913)
SURAT
AL-BAQARAH (2) Ayat 195
[Dan infakkanlah (harta bendamu) di
jalan Allah, dan janganlah kalian menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah, (karena) sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berbuat baik.]
1). Masalah perang untuk pertama kali dibicarakan
di ayat 190, permulaan ayatnya berbentuk perintah: وَقَاتِلُواْ فِي
سَبِيلِ اللّهِ (wa qātilū fī
sabĭlillāɦi, dan perangilah di jalan Allah). Kemudian untuk
sementara tema perang dihentikan di ayat 195 ini, dan permulaan ayatnya pun
berbentuk perintah: وَأَنفِقُوا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ (wa anfiqū fī
sabĭlillāɦi, dan berinfaklah di jalan Allah). Apa yang bisa
kita tangkap dari kedua permulaan ayat itu? Karena keduanya muncul di awal dan
akhir rangkaian ayat yang membincang soal perang, bisa dipastikan keduanya
mempunyai makna yang paralel. Kata وَقَاتِلُواْ
(wa qātilū) bermakna “berjihadlah dengan jiwa kalian”,
sementara kata وَأَنفِقُوا
(wa anfiqū) bermakna “berjihadlah dengan harta kalian”.
Kesempurnaan perjuangan manakala melibatkan keduanya secara padu, sebagaimana
firman Allah (61:11): وَتُجَاهِدُونَ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ (wa
tujāɦidūna fī sabīlillāɦi bi amwālikum wa anfusikum, dan
berjihad(lah) di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian).
Perang diasaskan adalah dalam rangka melindungi
jiwa dan harta benda warga suatu komunitas, termasuk aset-aset negara yang ada
di dalamnya. Pada saat yang sama, perang tidak bisa berjalan tanpa dukungan
personil (jiwa) dan logistik (harta benda). Maka indikasi kesadaran bela negara
bisa dilihat dari dua sisi sekaligus: semangat mengorbankan jiwa, dan semangat
mengorbankan harta benda. Jikalau kedua hal itu tidak ada, jangan berharap
sebuah komunitas bisa eksis tanpa sokongan pihak musuh-musuhnya sendiri. Dan
eksistensi semacam itu niscaya tidak dalam makna “tegak dan tegar dengan penuh
percaya diri.” Renungkan ayat ini dalam-dalam: “Dan janganlah harta benda
dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah hendak mengazab mereka
di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka dalam
keadaan kafir. Dan apabila diturunkan sesuatu surat (yang memerintahkan kepada
orang munafik itu): ‘Berimanlah kalian kepada Allah dan berjihadlah bersama
Rasul-Nya’, niscaya orang-orang yang mempunyai kelapangan (harta) di antara
mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata:
‘Biarkanlah kami tetap bersama orang-orang yang tinggal.Mereka rela tetap
bersama orang-orang yang tidak pergi berperang, dan hati mereka telah dikunci
mati, maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan beriman dan berjihad). Tetapi
Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, mereka berjihad dengan harta dan
diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan; dan mereka
itulah (pula) orang-orang yang beruntung.” (9:85-88)
2). Setelah memahami arti pentingnya infak
kaitannya dengan jihad fī sabīlillāɦ, penggalan berikut dari
ayat 195 ini seharusnya dengan mudah juga difahami: وَلَا تُلْقُوا
بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ (wa lā tulqū bi aydīkum
ilāt-taɦlukati, dan janganlah kalian menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan). Keengganan untuk membelanjakan harta di jalan Allah,
lambat laun, hanya akan merendahkan martabat suatu komunitas, bahkan pada
akhirnya, membinasakannya. Pada awalnya mereka dilemahkan dari berbagai sisi,
kemudian diadu domba dan dicerai-beraikan (ingat adagium: divide and rule,
pecah-belah dan kuasai), lalu karena kemiskinan dan kebodohan, dimunculkan
pemimpin-pemimpin dan kelompok-kelompok bayaran untuk saling membunuh satu sama
lain. Ending-nya, mereka (musuh-musuh, harimau-harimau lapar itu)
datang melakukan finishing-touch (sentuhan akhir). Namanya saja touch
(sentuhan), tidak perlu mengorbankan banyak nyawa dan dana. Ibarat pohon yang
sudah dikampak sendiri oleh pemiliknya, maling datang tinggal menyentuhnya
pakai telunjuk, dengan sekedip mata pohonnya langsung roboh.
Penggalan ayat ini, dengan begitu, hendaknya
menyadarkan semua pihak di dalam tubuh umat Islam bahwa infaq
(mendonasikan harta di jalan Allah), peruntukan pertama dan utamanya ialah demi
terbangun dan berdirinya pohon keumatan. Dan karena pemimpin umat adalah ulama
pewaris Nabi, maka pemegang otoritas dalam penerimaan dan pengelolaan infaq
juga mereka. Apabila ini tidak dilakukan, maka sama saja dengan melucuti
senjata ulama di medan perang. Buntutnya, ulama dengan mudah didikte oleh
pihak-pihak yang justru tidak menghendaki pohon itu berdiri tergak. “Berangkatlah
kalian (ke medan perang) baik dalam keadaan ringan ataupun berat, dan
berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah
lebih baik bagimu jika kalian mengetahui. Kalau yang kamu (Muhammad) serukan
kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak
berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat
jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: ‘Jika kami
sanggup tentulah kami berangkat bersamamu’. Mereka membinasakan diri mereka
sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang
yang berdusta.” (9:41-42) “Maka janganlah kalian mengikuti
orang-orang kafir itu, dan berjihadlah melawan mereka melalui (petunjuk)
Alquran dengan jihad yang besar.” (25:52)
3). Selanjutnya: وَأَحْسِنُوا
(wa ahsinū, dan berbuat baiklah). Kata kerja perintah
ini seasal dengan terma yang sangat terkenal: حَسَنَة
(hasanah, kebaikan); lawannya: سَيِّئَة (sayyiah, keburukan).
Artinya, membelanjakan harta di jalan Allah demi tegak berdirinya pohon
keumatan tadi adalah suatu kebaikan; sebaliknya, berpangku tangan, menjadi
penonton yang pasif, adalah suatu keburukan. Dan penilaian Allah tentang حَسَنَة (hasanah,
kebaikan) dan سَيِّئَة
(sayyiah, keburukan) ini ialah: “Barangsiapa yang
membawa kebaikan maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan
barangsiapa yang membawa keburukan maka dia tidak diberi balasan melainkan
sebanding dengan keburakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan).” (6:160)
Dengan demikian, bisa difahami, bahwasanya
berinfak di jalan Allah, yakni berbuat حَسَنَة
(hasanah, kebaikan) sama dengan menggerakkan
progresifitas umat sebesar 10 (sepuluh) kali lipat. Sungguh luar biasa.
Sementara tidak berbuat apa-apa sudah sama dengan keburukan itu sendiri,
walaupun nilainya hanya 1 (satu). Keburukan-keburukan itulah yang kelak
menggerogoti pohon keumatan hingga mencapai titik kebinasaannya. Sangat wajar
kalau di dalam ayat tentang perang, tiba-tiba Allah mengeluarkan perintah untuk
berbuat baik. Sehingga mengertilah kita sekarang makna daripada doa sapu jagat
yang paling sering dan paling banyak dipanjatkan (2:201): رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا
حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً
وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (rabbanā ātinā
fid-dun’yā hasanatan wa fīl-ākhirati hasanatan wa qinā ‘adzāban-nār, wahai
Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan
peliharalah kami dari azab neraka).
4). Orang yang berbuat حَسَنَة (hasanah, kebaikan)
disebut الْمُحْسِنِينَ (al-muhsinīn).
Dan siapakah penghulu dari kaum muhsinīn itu? Tentu para nabi
dan umatnya yang patuh, terutama Nabiullah Ibrahim as: “Sesungguhnya pada
mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan حَسَنَة (hasanah, kebaikan)
bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (perjumpaan dengan) Allah dan
(keselamatan pada) Hari Akhir. Dan barangsiapa yang berpaling, maka
sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Kaya Maha Terpuji.” (60:6) Begitu dzurriyat
(keturunan) Nabi Ibrahim yang paling agung, Rasulullah Muhammad saw. Cermatilah
petunjuk Allah ini: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu
teladan حَسَنَة (hasanah,
kebaikan) bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (perjumpaan
dengan) Allah dan (keselamatan pada) Hari Akhir serta banyak menyebut Allah.”
(33:21)
Jadi sama sekali tidak tepat jikalau membaca doa
sapu jagat tadi sambil membayangkan figur-figur duniawi yang berhasil
mengumpulkan sejumlah besar harta benda atau menduduki jabatan-jabatan penting
dengan mengandaikan حَسَنَة
(hasanah, kebaikan) bersama mereka. Berdasarkan
ayat-ayat yang barusan dikutip, sosok Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad-lah yang
harus dirujuk oleh pikiran pada saat memanjatkan doa sapu jagat tersebut kepada
Allah. Dan pikiran saat itu membayangkan pengorbanan keduanya di dalam berjuang
menegakkan pohon agama tauhid. Barulah nyambung antara doa yang dibaca
(Alquran), yang membaca doa (orang beriman), dan yang dipintai doa (Allah swt).
Setelah begitu, penutup ayat 195 ini baru terasa proporsional: إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِينَ (innallāɦa
yuhibbul-muhsinīn, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
berbuat baik). “Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhanmu
dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menginfakkan (hartanya),
baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya
serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang
berbuat kebaikan.” (3:133-134) “Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq
dan Ya'qub kepadanya (Ibrahim). Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri
petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan
kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf,
Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik.” (6:84)
5). Hadis Nabi saw. : [Dan telah menceritakan
kepadaku Muhammad bin Rafi' telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Abdullah bin Zubair telah menceritakan kepada kami Syaiban—dalam jalur lain—Dan
telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim—lafazh juga miliknya—telah
menceritakan kepada kami Syababah telah menceritakan kepadaku Syaiban bin
Abdurrahman dari Yahya bin Abu Katsir dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa ia
mendengar Abu Hurairah berkata; Rasulullah saw bersabda: “Barngsiapa yang
berinfak sepasang kuda perang fī sabīlillāɦ (untuk membela agama Allah),
maka ia akan dipanggil kelak oleh penjaga surga, bahkan setiap penjaga pintu
surga mengatakan, ‘kemarilah’.” Kemudian Abu Bakar berkata: “Wahai
Rasulullah, itulah orang yang tidak ada kebinasaan baginya.” Rasulullah
saw bersabda: “Sungguh, saya berharap kamu termasuk salah seorang dari
mereka.”] (Shahih Muslim no. 1706)
[Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Amr bin
as-Sarh, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Haiwah bin Syuraih, dan
Ibnu Luhai'ah, dari Yazid bin Abu Habib, dari Aslam Abu Imran, ia berkata; Kami
pergi berperang dari Madinah menuju Konstantinopel, dan kami dipimpin oleh
Abdurrahman bin Khalid bin al-Walid, sementara orang-orang Romawi menempelkan
punggung mereka pada dinding kota. Kemudian terdapat seseorang yang menyerbu
musuh, lalu orang-orang berkata: Tahan, tahan! Lā ilāha illāllāɦ,
ia telah melemparkan dirinya kepada kebinasaan. Kemudian Abu Ayyub berkata:
Sesungguhnya ayat ini turun mengenai kami, orang-orang Anshar. Tatkala Allah
membela Nabinya dan memenangkan Islam, kami berkata: Mari kita mengurusi harta
kita dan memperbaikinya. Kemudian Allah ta'ala menurunkan ayat:
“Dan infakkanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kalian
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (2:195) Menjatuhkan diri
sendri ke dalam kebinasaan adalah mengurusi harta kami dan memperbaikinya serta
meninggalkan jihad. Abu Imran berkata: Abu Ayyub terus berjihad di jalan Allah
hingga ia dikuburkan di Konstantinopel.] (Sunan Abu Daud no. 2151). (Bila tertarik dengan pengembangan tafsir
al-Barru, Anda bisa membantu dengan mendonasi ke sumber:
http://www.tafsir-albarru.com).
Dengan akhlak seperti itu, bahkan
kerajaan Romawi dan Persia pun takluk di tangan Islam. Itu bukan dari
pembantaian. Tapi dari akhlak Islam yang indah dan Rahmatan lil ‘Alamin. Rahmat
Semesta Alam. Negara-negara jajahan Romawi dan Persia lebih senang berada di
bawah Negara Islam karena jizyah (Pajak) yang mereka bayar ke pemerintah Islam
jauh lebih kecil daripada pajak mencekik yang ditarik oleh Kerajaan Romawi dan
Persia. Jizyah itu pun bukan pemerasan. Tapi dipakai untuk membiayai pasukan
perang guna melindungi keamanan mereka dari serangan musuh.
“Ketika
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan penggalian khandaq, ternyata
ada sebongkah batu sangat besar menghalangi penggalian itu. Lalu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit mengambil kapak tanah dan meletakkan
mantelnya di ujung parit, dan berkata: “Telah sempurnalah kalimat Rabbmu
(Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat
mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” Terpecahlah sepertiga batu tersebut. Salman Al-Farisi ketika itu
sedang berdiri memandang, dia melihat kilat yang memancar seiring pukulan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau memukul lagi kedua
kalinya, dan membaca: “Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai
kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah
kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Pecah pula sepertiga batu itu, dan Salman melihat lagi kilat yang memancar ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul batu tersebut. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul sekali lagi dan membaca: “Telah
sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil.
Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Dan untuk ketiga kalinya, batu itupun pecah
berantakan. Kemudian beliau mengambil mantelnya dan duduk. Salman berkata:
“Wahai Rasulullah, ketika anda memukul batu itu, saya melihat kilat memancar.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Wahai Salman,
engkau melihatnya?” Kata Salman: “Demi Dzat Yang mengutus anda membawa
kebenaran. Betul, wahai Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Ketika saya memukul itu, ditampakkan kepada saya kota-kota Kisra
Persia dan sekitarnya serta sejumlah kota besarnya hingga saya melihatnya
dengan kedua mata saya.” Para shahabat yang hadir ketika itu berkata: “Wahai
Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar membukakannya untuk kami dan memberi
kami ghanimah rumahrumah mereka, dan agar kami hancurkan negeri mereka dengan
tangan-tangan kami.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa.
“Kemudian saya memukul lagi kedua kalinya, dan ditampakkan kepada saya
kota-kota Kaisar Romawi dan sekitarnya hingga saya melihatnya dengan kedua mata
saya.” Para shahabat berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar
membukakannya untuk kami dan memberi kami ghanimah rumah-rumah mereka, dan agar
kami hancurkan negeri mereka dengan tangan-tangan kami.” Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa. “Kemudian pada pukulan ketiga,
ditampakkan kepada saya negeri Ethiopia dan desa-desa sekitarnya hingga saya
melihatnya dengan kedua mata saya.” Lalu beliau berkata ketika itu: “Biarkanlah Ethiopia (Habasyah) selama
mereka membiarkan kalian, dan tinggalkanlah Turki selama mereka meninggalkan
kalian.” Selain itu apa maksud di dalam tulisan yang di block
tebal ini? Ini ada hubungannya pula dengan perkara akhir zaman.
Bagaimana
dengan Bom Bunuh Diri dan Saling Membunuh antara Muslim
Nah apa bedanya para pembom bunuh
diri? Meski ceritanya berperang melawan musuh, namun dia membunuh dirinya
karena bisa jadi takut disiksa atau dibunuh musuh. Bukankah dia bisa mencari
senjata yang bisa membunuh musuh tanpa harus membunuh dirinya sendiri seperti
dengan pedang, panah, pistol, senapan, rudal, dan sebagainya?
Mengenai bom bunuh diri, ini
adalah hal yang syubhat. Sebagian ulama membolehkannya dan memberi nama bom istisyhad,
sedang ulama lain mengharamkannya karena bunuh diri adalah dosa:
Mengapa
ada bom bunuh diri?
Aksi bom bunuh diri, akhir-akhir
ini semakin sering terjadi dan. memunculkan pro-kontra. Lebih-lebih lagi,
Amerika menuding, Islam berada di balik sejumlah aksi teroris. Ironisnya,
sebagian besar negara-negara di dunia (tidak terkecuali negara yang mayoritas
berpenduduk muslim), terkesan mengamini tudingan itu.
Aksi terorisme dengan menggunakan
metode bom bunuh diri menjadi fenomena mencolok dalam satu tahun terakhir ini.
Model ini memasuki tahap yang cukup menakutkan masyarakat dunia. Dulu, aksi bom
bunuh diri hanya dikenal dalam khalayak Timur Tengah. Biasanya, yang jadi
sasaran aksi adalah satu wilayah komunitas Israel dan sekutunya.
Tapi belakangan, aksi bom bunuh
diri sudah menjamah Indonesia. Ini menjadi menarik dan merupakan fenomena
tersendiri. Mengapa? Adalah aksi bom bunuh diri di Paddy’s Club, Bali setahun
lalu yang kemudian menjadi perhatian dunia (lebih-lebih Amerika Sekerikat)
hingga sekarang. Dan yang terakhir, aksi bom bunuh diri di Hotel Marriott,
Jakarta, 5 Agustus lalu.
Bom bunuh diri di beberapa negara tiga bulan terakhir ini, sungguh mengerikan. Sebab ternyata, diantara pelakunya adalah, dua perempuan seperti yang terjadi di Bandara Tushino, Moskow, Rusia. Ia melakukan bom bunuh diri di tempat penjualan tiket di pintu masuk bandara pada konser terbuka yang dipadati pengunjung. Akibatnya, 20 orang tewas dan 22 lainnya luka parah. Di Riyadh, Arab Saudi, 29 tewas dan 194 luka-luka dalam tiga aksi bom bunuh diri, termasuk sembilan pelaku peledakan bom.
Bom bunuh diri di beberapa negara tiga bulan terakhir ini, sungguh mengerikan. Sebab ternyata, diantara pelakunya adalah, dua perempuan seperti yang terjadi di Bandara Tushino, Moskow, Rusia. Ia melakukan bom bunuh diri di tempat penjualan tiket di pintu masuk bandara pada konser terbuka yang dipadati pengunjung. Akibatnya, 20 orang tewas dan 22 lainnya luka parah. Di Riyadh, Arab Saudi, 29 tewas dan 194 luka-luka dalam tiga aksi bom bunuh diri, termasuk sembilan pelaku peledakan bom.
Aksi bom bunuh diri lain juga
sering terjadi di Israel dan pos-pos militer tentara AS. Seperti bom bunuh diri
yang meledak di pos pemeriksaan militer di Hotel Palestina , Baghdad , Iraq.
Dalam ledakan tersebut empat orang tewas. Bom bunuh diri juga menjalar ke Turki
dan Maroko. Terakhir bom bunuh diri di kantor PBB di Iraq dan menewaskan 24
orang.
Bom bunuh diri pertama kali dalam
sejarah abad ke-20 dipelopori kelompok Hisbullah. Dari sinilah dimulai babak
baru yang dihembuskan (kalangan Amerika Serikat dan sekutunya) sebagai
terorisme internasional. Hizbullah mengemas aksi bom bunuh diri itu dengan
interprestasi pembelan agama, jihad dan syadid. Dari Hizbullah inilah lahir
pengebom-pengebom bunuh diri kelas satu.
Dalam sejarah Indonesia, serangan
aksi bunuh diri pernah terjadi pada 1900-an saat pasukan Belanda menumpas
perlawanan bersenjata ulama Aceh. Belanda menyebutkan Aceh Moord. Yakni bunuh
diri ala Aceh. Modusnya, mereka nekat membunuh orang Belanda, walaupun
disadari, bahwa dia juga akan mati saat itu.
Bom bunuh diri paling heroik
dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia pada 1945 dilakukan oleh Muhammad
Toha di Bandung Selatan dengan meledakkan dirinya di gudang mesiu demi
melemahkan kekuatan Belanda. Peristiwa ini yang dikenal dengan “Bandung Lautan
Api.”
Nasionalisme Dibalut Agama
Masyarakat umum memahami serangan
bom bunuh diri sebagai tindakan yang dimotivasi ajaran agama tertentu. Hal ini
dapat dimaklumi. Sebab, akhir-akhir ini berita yang berkembang di publik
sebagian besar pelaku bom bunuh diri adalah orang Islam. Tetapi kalau dicermati
lebih dalam, bom bunuh diri bukanlah tindakan mengatasnamakan agama saja,
tetapi justru kebanyakan disebabkan oleh faktor nasionalisme.
Data internasional menyebutkan,
bahwa peristiwa bom bunuh diri hingga tahun 2000 menunjukan, urutan pertama
dilakukan pasukan Macan Tamil, yang berperang untuk memisahkan diri dari Sri
lanka.
Di urutan kedua kelompok Hamas.
Kelompok ini berjuang demi suatu negara Palestina. Tidak berbeda dengan Macan
Tamil, nasionalisme menjadi motor utama yang membuat mereka rela mengorbankan
jiwanya. Nasionalisme Hamas dibalut dengan unsur jihad dan syahid dalam
interpretasi radikal. Hal serupa juga terjadi di Afhganistan. Nasionalisme
tumpah menjadi darah dan diinterpretasikan dari sisi agama, hingga perlawanan
berubah menjadi perang melawan kaum kafir.
Marilah
Kita paparkan bom bunuh diri tersebut
Berkaca dari gerakan Hizbullah
dan Hamas pada waktu itu, mereka melakukan bom bunuh diri dengan alasan sebagai
berikut :
Diumpamakan seseorang membawa
senjata sendiri atau mempunyai senjata sederhana dan menyerang anggaplah sebuah
gerbang, dimana terdapat beberapa prajurit dengan senjata canggih dan
mesin-mesin perang yang canggih seperti senjata otomatis berpeluru kaliber besar,
kemudian yang diketahui bahwa daerah tersebut adalah daerah milik si Pembom
bunuh diri (masih di wilayah negerinya), bila ia menyerang secara langsung,
maka ia gugur tanpa adanya ikut gugurnya musuh atau kekalahan musuh, tanpa
adanya kekacauan yang diperbesar-besarkan atau menimbulkan akibat yang
menguntungkan kaum muslimin, seperti memberi efek kejadian besar hingga sedikit
membuat jeri pihak pasukan-pasukan musuh atau membuat musuh tidak berani
bertindak terlalu agresif, membuat musuh berpikir berulang-ulang bahwa masih
ada pembela disana yang berani (masih eksisnya perlawanan) atau agar bisa di
blow up oleh media pers sehingga apa yang terjadi dapat diketahui
sebab-sebabnya secara dunia international hingga menjadi isu hangat dan
perbincangan di dunia international, dan bisa memberi dampak respon untuk
diplomasi secara mendunia.
Mereka pula menganggap bahwa
pembunuhan dengan cara bom bunuh diri ini telah dibalas dengan pembalasan
setimpal hal yang sama dengan matinya pula si pembawa bom (hukum Qishash juga
telah dilaksanakan)
Maka bagian ini membuat bom bunuh
diri menjadi ada andil membuat hal tersebut. Seperti Anda bermain game “Counter
Strike” dengan sendirian melawan musuh banyak namun Anda belum sempat membuat
sesuatu jasa sudah mati duluan dikeroyok, mati konyol namanya.
Maka marilah Kita menyimpulkan
perbedaan-perbedaan bom bunuh diri berdasarkan kasus per kasus, karena hal ini
lah yang jarang dibahas atau diketahui oleh orang yang pada umumnya mengganggap
bom bunuh diri serupa jenisnya dan hal ini lah yang membedakan bahwa ada
beberapa versi bom bunuh diri sebenarnya, Pengklasifikasian jenis bom bunuh
diri ini belum ada ditulis sebelumnya di buku-buku selain dalam tulisan ini :
Klasifikasi
bom bunuh diri berdasarkan tempat dan tujuan pelaku :
- (a) Bom bunuh diri yang dilakukan di tanah jihad (Tanah umat Islam yang dikuasai oleh kaum kafir) atau (b) Bom bunuh diri dalam kondisi perang umat Islam melawan kaum kafir (Tanah jihad pula). Biasanya adalah bom bunuh diri pada basis pertahanan musuh, pada basis pusat pemerintahan/komando musuh, pada kompoi pasukan musuh, pada jalur strategis tertentu, pada kendaraan yang dipakai sebagai kegiatan militer musuh. Qishash buat mereka yang melakukan bom bunuh diri dengan terbunuhnya orang lain.
- Bom bunuh diri karena rasa Nasionalisme individu-individu yang melakukan bom bunuh diri tersebut karena pembelaan kepada negaranya, golongan atau bangsa/sukunya, bisa disebabkan karena perang atau terjadinya pertikaian antar suku/golongan.
- Bom bunuh diri di luar tanah jihad / tanah damai / tanah yang ada terikat perjanjian, dan orang yang melakukan ini menganggapnya bagian dari jihadnya. Umumnya ditempat publik, bukan di pusat pemerintahan/komando lawannya.
- Bom bunuh diri karena kestresan pribadi / faktor kegoncangan mental pelaku terhadap sesuatu hal yang terjadi pada dirinya atau lingkungannya.
- Bom bunuh diri karena hasil rekayasa “pihak-pihak tertentu” yang mencari keuntungan sesaat, misalnya: Pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab ini menyuruh seseorang yang diberi pekerjaan membawa “barang jinjingan” atau “barang dikendaraan” ke suatu tempat, namun tidak disadari orang tersebut, ternyata ia membawa bom dalam barangnya dan hingga diledakkan bersama barang bawaannya dari jarak jauh atau sebelumnya telah dipasang bom waktu dan meledak ketika telah diperkirakan sampai pada tempat yang menjadi target, atau Menghipnotis/mencuci otak seseorang hingga menjadi pelaku pembom bunuh diri atau melakukan bom lewat agennya “pihak tertentu” itu (lempar batu sembunyi tangan), kemudian menjadikan seseorang sebagai “kambing hitam” yang kebetulan berada di tempat kejadian, dsb. Termaksud didalamnya adalah sabotase. Umumnya tujuannya adalah untuk memojokkan golongan tertentu atau menjadikan “kambing hitam” golongan tertentu atau rekayasa buat tujuan yang lebih besar didalam tabirnya.
Secara garis besar, terdapat dua
pendapat ulama dalam masalah melakukan aksi bom manusia dalam peperangan
melawan musuh kafir, seperti yang terjadi di Palestina, sebagian membolehkan
dan sebagian lainnya mengharamkan. Ulama masa kini yang membolehkan seperti
Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili (Dekan Fakultas Syariah Universitas Damaskus),
Prof. Dr. Wahbah Az- Zuhaili (Ketua Jurusan Fiqih dan Ushul Fiqih Fakultas
Syariah Universitas Damaskus), Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi (Ketua
Jurusan Teologi dan Perbandingan Agama Fakultas Syariah Universitas Damaskus),
Syaikh Muhammad Sayyed Tanthawi (Syaikhul Azhar), Syaikh Muhammad Mutawalli
Sya'rawi (ulama Mesir), Dr. Yusuf AI- Qaradhawi (Ulama Qatar), dll.
Al-Qadah dalam kitabnya
Al-Mughamarat bin An-Nafsi fi Al-Qital wa Hukmuha fi AI-Islam telah menyebutkan
sekitar 20 dalil syara' yang mendasari bolehnya melakukan aksi bom manusia,
yang dihimpunnya dari pendapat-pendapat ulama yang membolehkan aksi bom manusia
ini.
Diantaranya adalah: Surat
an-Nisa' ayat 74, yang artinya: "Karena
itu hendaklah orang- orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan
akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu
gugur atau memperoleh kemenangan Maka kelak akan kami berikan kepadanya pahala
yang besar."
Wajhud dalalah dari ayat ini
menurut Al-Qadah, adalah bahwa Allah SWT menyamakan pahala orang yang gugur
dengan pahala orang yang mampu mengalahkan musuh· Karena membela agama Allah.
Dan orang yang melakukan aksi bom manusia, dalam hal ini termasuk dalam
kategori orang yang gugur di jalan Allah tadi, bukan termasuk orang yang bunuh
diri. Sebab andai kata termasuk orang yang bunuh diri, Allah tidak akan
memberikan pahala besar baginya, tetapi malah akan memasukkannya ke dalam
neraka, seperti keterangan dalam hadits-hadits Nabi SAW.
Surat al-Baqarah ayat 195 yang
artinya: "Dan belanjakanlah (harta
bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berbuat baik."
Ayat ini tidak melarang aktivitas
perang di jalan Allah yang dapat membuat diri sendiri terbunuh. Atau dengan
kata lain, membolehkan aktivitas perang semacam itu. Dan aksi bom manusia
termasuk aktivitas perang yang dapat membuat pelakunya terbunuh. Pemahaman ini
didasarkan pada penjelasan shahabat Abu Ayyub AI-Anshari yang mengoreksi
pemahaman yang salah terhadap ayat tersebut, yang dipahami sebagai larangan
mengorbankan diri dalam peperangan, pada hal sababun nuzul dari ayat tersebut
adalah karena kaum anshar merasa sudah saatnya meninggalkan perang dan mengurus
harta benda, sebagaimana yang dipaparkan Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya.
Al-Qadah menyimpulkan, bahwa
dengan demikian, ayat ini menunjukkan bolehnya mempertaruhkan nyawa dalam
peperangan, meskipun yakin akan terbunuh. Aksi bom manusia termasuk jenis
aktivitas seperti ini.
Hadits Nabi SAW sebagaimana
riwayat Imam Muslim berikut: Diriwayatkan
dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah pernah pada Perang Uhud hanya bersama
tujuh orang Anshar dan dua orang dari kaum Quraisy. Ketika musuh mendekati Nabi
SAW, beliau bersabda: "Barang siapa bisa menyingkirkan mereka dari kita,
ia akan masuk surga, atau ia bersamaku di surga". Kemudian satu orang dari
Anshar maju dan bertempur sampai gugur. Musuh mendekat lagi dan rasulullah
bersabda lagi, {Barang siapa bisa menyingkirkan mereka dari kita, ia akan masuk
surga, atau ia bersamaku di surga". Kemudian satu orang dari Anshar maju
dan bertempur sampai gugur. Dan hal ini terus berlangsung sampai ketujuh orang
Anshar tersebut terbunuh. (HR. Muslim)
Perkataan Nabi SAW, “Barang siapa bisa menyingkirkan mereka dari
kita, ia akan masuk surga" adalah sebuah isyarat bahwa mereka akan
terbunuh di jalan Allah, dan dalam hal ini kematian hampir dapat dipastikan.
Peristiwa ini menunjukkan bolehnya mengorbankan diri sendiri seperti halnya
akasi bom manusia dengan keyakinan akan mati di jalan Allah.
Namun demikian sebagian ulama'
seperti Nashiruddin Al-Albani dan Syaikh Shaleh AI-Utsaimin dan Haiah Kibarul
Ulama' mengharamkan aksi bom manusia. Berikut pendapat mereka dan
dalil-dalilnya:
Syaikh Nashiruddin AI-Albani
ketika ditanya hukum aksi bom manusia, beliau menjawab, bahwa aksi bom manusia
dibenarkan dengan syarat adanya pemerintahan Islam yang berlandaskan hukum Islam,
dan seorang tentara harus bertindak berdasarkan perintah pimpinan perang
(amirul jaisy) yang ditunjuk khalifah. Jika tidak ada pemerintahan Islam di
bawah pimpinan khalifah, maka aksi bom manusia tidak sah dan termasuk bunuh
diri.
Syaikh Shaleh AI-Utsaimin ketika
ditanya mengenai seseorang yang memasang bom dibadannya lalu meledakkan dirinya
di tengah kerumunan orang kafir untuk melemahkan mereka, beliau menjawab, bahwa
tindakan itu adalah bunuh diri. Pelakunya akan diazab dalam neraka Jahannam
dengan cara yang sama yang digunakan untuk bunuh diri di dunia, secara kekal abadi.
Beliau berdalil dengan firman Allah SWT, yang melarang bunuh diri: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An-Nisa': 29). Beliau
juga berdalil dengan hadits- hadits Nabi SAW yang melarang bunuh diri, seperti
hadits Nabi SAW: “Barang siapa yang
mencekik lehernya, ia akan mencekik lehernya sendiri di neraka. Dan barang
siapa yang menusuk dirinya sendiri, ia akan menusuk dirinya sendiri di neraka.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Menurut Haiah Kibarul Ulama'
bahwa Syariah Islam telah datang untuk melindungi lima hal penting dan melarang
untuk melanggarnya, lima hal itu adalah: agama, kehormatan, harta benda,
kehidupan, dan akal budi. Orang-orang Islam dilarang untuk melanggar hal
tersebut di atas terhadap orang-orang Islam yang berhak dilindungi. Orang-orang
tersebut mempunyai hak-hak yang harus dilindungi berdasarkan pada syari'ah
orang Islam, tidak diperbolehkan untuk melanggar hak setiap sesama muslim atau
membunuhnya tanpa adanya sebab yang membolehkannya. Barang siapa melakukannya,
maka ia telah melakukan dosa besar.
Rasulullah SAW bersabda: "Darah seorang muslim yang bersaksi
bahwa tidak ada yang berhak untuk disembah selain Allah dan bahwa aku adalah
Rasulullah, adalah tidak diperkenankan (untuk ditumpahkan darahnya) kecuali
berdasarkan pada tiga hal, balasan karena telah membunuh seorang (qishash),
menghukum pezina (rajam), seseorang yang meninggalkan agamanya (murtad),
meninggalkan al Jama'ah” (HR.Bukhari dan Muslim).
Tidak hanya muslim, non muslim
pun juga berhak mendapatkan perlindungan, mereka adalah: 1. Mereka (non muslim)
yang mengadakan perjanjian, 2. Dzimmi, 3. Mereka (non muslim) yang mencari
perlindungan dari kaum muslim.
Dengan demikian ada sebagian yang
menganggap, maka apa yang terjadi yaitu peristiwa pemboman (bom bunuh diri)
adalah sesuatu yang dilarang, yang Islam tidak menyetujui hal tersebut,
hukumnya adalah haram berdasarkan pada beberapa hal:
- Kegiatan ini merupakan pelanggaran terhadap sucinya wilayah muslimin dan hal ini dapat menimbulkan ketakutan siapa saja yang dilindungi di dalamnya.
- Kegiatan ini mengandung sifat membunuh orang-orang yang hidup, yang dilindungi syari'ah Islam.
- Kegiatan ini mengakibatkan kerusakan di bumi.
- Kegiatan ini mengandung unsur perusakan, harta benda dan apa-apa yang dimiliki, dan hal itu dilarang.
Bila kita melihat dua pendapat di
atas, pendapat ulama yang membolehkan aksi bom bunuh diri dalam situasi
peperangan melawan orang kafir lebih kuat daripada yang mengharamkan, dengan
pertimbangan bahwa ulama yang membolehkan mempunyai pemahaman fakta yang lebih
jeli, dan dalil-dalilnya lebih sesuai untuk fakta yang dimaksudkan, yaitu dalam
konteks perang seperti di Palestina. Inipun masih melihat pada motif
pelaksanaan bom manusia itu sendiri. Kalau untuk menegakkan agama Allah maka
boleh dan pelaku mati syahid tetapi bila tujuannya hanya murni bunuh diri
karena ingin lepas dari segala kepenatan hidup maka hukumnya bunuh diri dan
pelakunya berdosa.
Keputusan ini berdasar pada
berbagai referansi yang semua menerangkan dibolehkannya bunuh diri dalam
peperangan bukan dalam keadaan damai. Demkian seperti yang termaktub dalam
Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an.
Ulama berbeda pendapat tentang
kenekatan seseorang di medan perang dan menyerang musuh sendirian. Al-Qasim bin
Mukhaimarah, al-Qasim bin Muhammad dan Abdul Malik dari kalangan
ulama (madzhab Malikiyah) berkata: “Tidak mengapa seseorang sendirian
menghadapi pasukan musuh yang cukup banyak jika ia memiliki kekuatan dan
niatnya ikhlas karena Allah semata. Jika ia tidak memiliki kekuatan maka
termasuk bunuh diri. Dan suatu pendapat menyatakan: “(Meski ia tidak memiliki
kemampuan) namun jika ia mencari kesyahidan dan niatnya ikhlas, maka silahkan
melakukannya, karena yang diincar cuma salah satu dari musuh. Demikian itu ada
dalam firman Allah SWT.: ”Di antara
manusia ada yang menjual jiwanya demi untuk mendapatkan keridhaan Allah.”
(QS. Al-Baqarah: 207).
Ibn Khuwaizin Mindad berkata:
“Adapun jika seseorang berani menyerang musuh yang berjumlah seratus, sejumlah
tentara musuh, sekelompok pencuri, penyerang dan pemberontak, maka untuk hal
ini ada dua kondisi: Jika ia mengetahui dan menduga kuat dirinya akan
menewaskan musuh yang diserangnya dan ia selamat, maka hal itu bagus. Demikian
pula jika ia mengetahui dan menduga kuat ia akan mati, namun akan bisa membuat
mereka kalah, kacau atau menimbulkan akibat yang menguntungkan kaum muslimin,
maka hukumnya juga boleh. Telah sampai kepadaku kisah pasukan kaum saat melawan
pasukan Persia (Iran), kuda-kuda kaum muslimin lari ketakutan dikarenakan
gajah. Maka salah seorang anggota pasukan bertekat membuat patung gajah dari
tanah liat sehingga kudanya menjadi tenang dan terbiasa melihat gajah. Maka
ketika berperang kudanya tidak takut lagi pada gajah sehingga berani menghadapi
pasukan gajah menyerangnya. Lalu ia diingatkan: “Sungguh hal itu akan membuatmu
terbunuh.” Lalu ia menjawab; “Tidak mengapa saya terbunuh tapi kaum muslimin
mendapat kemenangan.” Begitu pula dalam perang Yamamah ketika Bani Hanifah
bertahan di suatu kebun. Salah seorang pasukan muslimin berkata: “Letakkan aku
dalam perisai, lalu lemparkan aku kepada mereka.” Kemudian para pasukan lain
melakukannya dan ia melawan musuh sendirian serta berhasil membuka pintu kebun
tersebut.”
Bagian
Pendapat yang mana yang benar?
Dari Abu 'Abdirrahman Abdullah
bin Mas'ud radhiallahu 'anh, dia berkata : bahwa Rasulullah telah bersabda, "Sesungguhnya tiap-tiap kalian
dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah,
kemudian menjadi 'Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh
(segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan
ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata : Rizki, Ajal, Amal
dan Celaka/bahagianya. maka demi Alloh yang tiada Tuhan selainnya, ada
seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada
jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan
ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan
ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali
sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan
perbuatan ahli surga dan ia masuk surga. (Hadis Qudsi)
“Sesungguhnya
ada orang secara LAHIRIAH terlihat berbuat AMAL AHLI SURGA, padahal ia AHLI
NERAKA. Dan ada seseorang yang secara LAHIRIAH ia berbuat AMAL AHLI NERAKA,
padahal ia AHLI SURGA” (HR Bukhari & Muslim)
Ada sebuah kisah tentang seorang
Alim Ulama dan Pelacur yang dihadapkan ke Pengadilan ALLAH azza wa jalla di
hari akhirat dimana mereka berdua dengan didampingi oleh malaikat atib dan
roqib menunggu keputusan Allah apakah akan dimasukkan ke dalam Surga atau
Neraka.
Ketika giliran ‘Alim ulama’
tersebut, Allah swt memerintahkan malaikatul Malik, ‘Wahai Malik, campakkan
orang ini ke dalam Neraka Jahannam.’
Saudara/i Bingung bukan..?
Jangankan suadara/i…., sang Alim
ulama tersebut pun bingung dan protes keras dengan mengatakan: “Wahai
Allah..ketika hamba-Mu hidup di dunia, hamba banyak melakukan amalan-amalan
shaleh, yang wajib maupun yang sunnah, kenapa Engkau campakkan hamba ke dalam
Neraka Jahannam.???
Protes sang ulama tersebut
‘diamini’ pula oleh kedua malaikat yang senantiasa mencatat amalan-amalan baik
ataupun buruk seorang manusia 24 jam sehari semalam nonstop yaitu malaikat atib
dan roqib.
Kemudian Allah mengatakan kepada
kedua malaikat tersebut. “AKU lebih tau apa yang tidak kalian ketahui…”
Kemudian ketika giliran sang
pelacur tersebut disidangkan, Allah memerintahkan kepada Malaikat Ridwan:
“Wahai Ridwan…bawalah perempuan ini masuk ke dalam Surga-KU.”
Elo…bukankah dia seorang
pezina..?? Makin bingung bukan.??
Kedua malaikat yang senantiasa
mendampingi hidup sang pelacur tersebut juga mempertanyakan hal yang sama
dengan membuka ‘buku catatan Amal” sang pelacur tadi, dimana lebih banyak
catatan amal yang negatif (Maksiat) daripada yang positif (amal shaleh).
Kemudian Allah SWT mengatakan
kepada kedua malaikat tadi: “AKU lebih Tau apa yang kalian tidak Ketahui..”
PERTANYAAN KITA BERSAMA
ADALAH..MENGAPA DEMIKIAN..????
Ternyata, dalam melakukan
KETAATAN kepada Allah swt, sang ‘Alim Ulama’ tersebut terbersit/terselip dalam
hatinya sikap UJUB dan SOMBONG, walupun sebesar biji dzarah, dan “MERASA’ bahwa
dengan amalan-amalannya, pasti akan menghantarkannya ke SURGA-NYA Allah.
Sedangkan sang pelacur tadi, walaupun
dalam melaksanakan ‘KEMAKSIATAN’ kepada Allah dalam kehidupannya sehari-harinya
(dengan ‘KEADAAN TERPAKSA’ karena Beban Hidup yang harus ditanggungnya) tetapi
dalam Hatinya yang terdalam.. ada terbersit rasa Berdosa dan dia senantiasa
MENGHARAPKAN PENGAMPUNAN Allah, tetapi Takdir kematian mendahuluinya sebelum
dia sempat bertaubat. (Tapi bukan berarti Kita membenarkan kelakuan seperti
ini, cuma ada kasus tertentu yang seperti ini kejadiannya dihadapan Allah SWT,
maka hati-hati dengan hati)
APA HIKMAH di balik kisah
diatas..??
Dari kisah diatas, ternyata apa yang
diketahui ALLAH yang tidak diketahui malaikat atib dan raqib yang senantiasa
mencatat amalan-amalan baik dan buruk kita adalah NIAT yang tersimpan atau
terbersit dari hati kita yg terdalam.
Allah lah yang MAHA TAU apapun yang
menjadi NIAT kita dalam beribadah…
Bukankah Setiap Amal Tergantung
Niatnya..????
Diterima/sah atau tidaknya suatu
amal tergantung pada niatnya. Demikian juga setiap orang berhak mendapatkan
balasan sesuai dengan niatnya dalam beramal. Dan yang dimaksud dengan amal
disini adalah semua yang berasal dari seorang hamba baik berupa perkataan, perbuatan
maupun keyakinan hati.
Bukankah Allah hanya MENERIMA
amal-amalan yang NIAT nya LILLAHI TA’ALA..??
Ketika kita merasa ‘CUKUP’ dengan
KEMAMPUAN diri kita dalam menunaikan kewajiban-kewajiban dan amal-amal shaleh,
tanpa disadari kita telah ‘MELUPAKAN’ Hakikat dari makna ”laa hawla wala quwwata illabillahil ‘aliyil ‘azim” dan merasa
bahwa dengan kemampuan diri kita sendirilah kita akan mendapat balasan
surga-Nya.
Disaat itulah..akan timbul sifat
UJUB dan SOMBONG yang muncul terkadang tanpa disadari.
Teringat sabda Rasulullah saw: Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya
terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. (HR. Muslim)
Keagungan
adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari
Aku) maka Aku menyiksanya. (HR. Muslim)
Barangsiapa
membanggakan dirinya sendiri dan berjalan dengan angkuh maka dia akan menghadap
Allah dan Allah murka kepadanya. (HR. Ahmad)
Sedikit ilmu lebih baik dari
banyak ibadah. Cukup bagi seorang pengetahuan fiqihnya jika dia mampu beribadah
kepada Allah (dengan baik) dan cukup bodoh bila seorang merasa bangga (ujub)
dengan pendapatnya sendiri. (HR. Ath-Thabrani)
Pada saat itu..”Hilanglah’ sikap
seorang ‘HAMBA’ dimata KHALIQ-NYA”
Bukankah seorang HAMBA adalah
seseorang yang senantiasa merasa lemah tak berdaya bagaikan seorang bayi yang
senantiasa MEMBUTUHKAN kasih sayang dan pertolongan orangtuanya..???
Lupakah kita hadits rasulullah
saw berikut ini:
Seorang
masuk surga bukan karena amalnya tetapi karena RAHMAT Allah Ta’ala. Karena itu
bertindaklah yang lurus (baik dan benar). (HR. Muslim)
Sedangkan bagi sang pelacur,
dihatinya yang terdalam timbul rasa PENYESALAN dan KETIDAKBERDAYAAN ketika
melakukan maksiat sehingga dia senantiasa berdoa dan berharap akan PERTOLONGAN dan
PENGAMPUNAN Allah.
Niat
seorang mukmin lebih baik dari amalnya. (HR. Al-Baihaqi dan Ar-Rabii’)
Manusia
dibangkitkan kembali kelak sesuai dengan niat-niat mereka.
(HR.-Muslim)
Bukankah semestinya itu sikap
seorang HAMBA..??
LAA
HAWLA WA LA QUWWATA ILLAH BILLAHIL ALIYIL ADZIM…..
“Tiada
daya untuk dapat MENGHINDAR dari MAKSIAT dan Tiada upaya untuk bisa MENTAATI
Allah…KECUALI dengan IZIN dan PERTOLONGAN ALLAH…”
Pertanyaan kita bersama adalah…??
Bagaimana seharusnya kita berupaya untuk selalu mendapatkan pertolongan
Allah.??
Jawabannya adalah: Jadilah diri kita
sebenar-benarnya HAMBA yang senantiasa MERASA tidak mampu dan berdaya
dihadapan-NYA, yang senantiasa mengharapkan PERTOLONGAN-NYA.
Subhanallah….. Itulah makna dari
hadits yg telah saya kemukakan diatas:
“Sesungguhnya
ada orang secara LAHIRIAH terlihat berbuat AMAL AHLI SURGA, padahal ia AHLI
NERAKA. Dan ada seseorang yang secara LAHIRIAH ia berbuat AMAL AHLI NERAKA,
padahal ia AHLI SURGA” ( HR Bukhari & Muslim )
Semoga kita semua termaksud Ahli
surga dengan melakukan amal-amalan shaleh tanpa ada sifat ujub, sombong dan
merasa mampu dengan ‘kemampuan’ diri sendiri sehingga melupakan ‘ketidakberdayaan’
diri sebagai seorang HAMBA ALLAH dan RAHMAT-NYA. InsyaAllah..amin ya
robbal’alamin.
Subhanallah…walhamdulillah..walailahaillaallah..Allahu
Akbar.. walahawla wala quwwata illabillahil ‘aliyil ‘adziim.
Adakah
pelaku yang benar dalam melakukan bom bunuh diri ini?
Maka marilah Kita menyimpulkan
perbedaan-perbedaan bom bunuh diri berdasarkan kasus per kasus, karena hal ini
lah yang jarang dibahas atau diketahui oleh orang yang umumnya mengganggap bom
bunuh diri serupa jenisnya dan hal ini lah yang membedakan bahwa ada beberapa
versi bom bunuh diri sebenarnya, Klasifikasi bom bunuh diri berdasarkan tempat
dan tujuan pelaku :
- (a) Bom bunuh diri yang dilakukan di tanah jihad (Tanah umat Islam yang dikuasai oleh kaum kafir) atau (b) Bom bunuh diri dalam kondisi perang umat Islam melawan kaum kafir (Tanah jihad pula). Biasanya adalah bom bunuh diri pada basis pertahanan musuh, pada basis pusat pemerintahan/komando musuh, pada kompoi pasukan musuh, pada jalur strategis tertentu, pada kendaraan yang dipakai sebagai kegiatan militer musuh. Qishash buat mereka yang melakukan bom bunuh diri dengan terbunuhnya orang lain.
- Bom bunuh diri karena rasa Nasionalisme individu-individu yang melakukan bom bunuh diri tersebut karena pembelaan kepada negaranya, golongan atau bangsa/sukunya, bisa disebabkan karena perang atau terjadinya pertikaian antar suku/golongan.
- Bom bunuh diri di luar tanah jihad / tanah damai / tanah yang ada terikat perjanjian, dan orang yang melakukan ini menganggapnya bagian dari jihadnya. Umumnya ditempat publik, bukan di pusat pemerintahan/komando lawannya.
- Bom bunuh diri karena kestresan pribadi / faktor kegoncangan mental pelaku terhadap sesuatu hal yang terjadi pada dirinya atau lingkungannya.
- Bom bunuh diri karena hasil rekayasa “pihak-pihak tertentu” yang mencari keuntungan sesaat, misalnya: Pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab ini menyuruh seseorang yang diberi pekerjaan membawa “barang jinjingan” atau “barang dikendaraan” ke suatu tempat, namun tidak disadari orang tersebut, ternyata ia membawa bom dalam barangnya dan hingga diledakkan bersama barang bawaannya dari jarak jauh atau sebelumnya telah dipasang bom waktu dan meledak ketika telah diperkirakan sampai pada tempat yang menjadi target, atau Menghipnotis/mencuci otak seseorang hingga menjadi pelaku pembom bunuh diri atau melakukan bom lewat agennya “pihak tertentu” itu (lempar batu sembunyi tangan), kemudian menjadikan seseorang sebagai “kambing hitam” yang kebetulan berada di tempat kejadian, dsb. Termaksud didalamnya adalah sabotase. Umumnya tujuannya adalah untuk memojokkan golongan tertentu atau menjadikan “kambing hitam” golongan tertentu atau rekayasa buat tujuan yang lebih besar didalam tabirnya.
Jawabnya, Dengan kondisi dan
keadaan penakdiran Allah SWT yang pas waktu dan tempatnya, Semua tergantung
Niat, Hanya Rahmat dan karunia Allah SWT yang bisa memasukkan seseorang kepada
Surga, bisa jadi ada diantaranya yang dimaafkan Allah SWT dan bisa jadi ada
yang tidak, Masing-masing pelaku bagaimana pun caranya telah didekatkan kepada
takdirnya dan telah kering tinta Qalam dan karena kita tidak tahu bahwa
“Sesungguhnya ada orang secara LAHIRIAH terlihat berbuat AMAL AHLI SURGA,
padahal ia AHLI NERAKA. Dan ada seseorang yang secara LAHIRIAH ia berbuat AMAL
AHLI NERAKA, padahal ia AHLI SURGA” (HR Bukhari & Muslim)
Saling
membunuh antara sesama muslim
Dikatakan yang boleh diperangi
itu adalah orang-orang kafir harbi di medan perang. Bukan dari 1. Mereka (non
muslim) yang mengadakan perjanjian, 2. Kafir Dzimmi, 3. Mereka (non muslim)
yang mencari perlindungan dari kaum muslim dan 4. Pedagang yang dilindungi
karena perdagangan antar bangsa yang saling menguntungkan.
Bagaimana
dengan pelaku pembunuhan sesama muslim
“Jika
terjadi saling membunuh antara dua orang muslim maka yang membunuh dan yang
terbunuh keduanya masuk neraka. Para sahabat bertanya, “Itu untuk si pembunuh,
lalu bagaimana tentang yang terbunuh?” Nabi Saw menjawab, “Yang terbunuh juga
berusaha membunuh kawannya.” (HR. Bukhari)
Maraknya pencurian dan perampokan
di minimarket belum juga berhenti. Di antara pelakunya adalah oknum TNI. Dwi
Widarto, seorang anggota TNI Angkatan Laut (AL) yang bertugas di KRI
Suharso 990, tewas mengenaskan setelah sebutir peluru menembus pelipisnya.
Timah panas itu melesat dari senjata api yang sedang digenggam korban¸ saat
duel dengan salah seorang kasir sebuah minimarket Indomaret Jalan Laban,
Kecamatan Menganti, Gresik, Minggu (28/10) malam. Dan ternyata, pelaku
berpangkat Sersan Dua (Serda) ini juga terlibat aksi perampokan di sejumlah
tempat lainnya di Surabaya. Di antaranya, perampokan Indomaret Balongsari,
Alfamidi Benowo, SPBU Ngesong dan perampasan pistol polisi di Margomulyo
(SurabayaPagi.com, edisi 30 Oktober 2012).
Dalam Islam pencurian dan
pembunuhan keduanya merupakan jarimah (tindak kriminal), pelakunya diancam
dengan hukuman yang berat sebagaimana ditetapkan syariat. Islam
menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri dan qisash (hukum mati) bagi
seorang pembunuh. Bedanya, pencurian merupakan hudud, sehingga setelah kasus
itu di ajukan kepengadilan tidak seorang pun yang bisa memberikan pemaafan
(pembatalan hukuman), walau pun diberikan oleh korban itu sendiri.
Sementara pembunuhan merupakan jinayat, dimana syariat memberikan hak pemaafan
kepada sang korban, agar tidak diterapkan qishas kepada pembunuh, namun cukup
diganti dengan membayar diyat.
Dengan pelaksanaan hukum syariat
di atas, niscaya tindakan-tindakan kriminal bisa diminimalisasi bahkan
dihilangkan. Sebab sanksi dalam Islam, selain dapat menggugurkan atau menebus
dosa pelaku dari siksa di akhirat (al-jabru), sanksi itu pun dengan
ketegasannya akan mampu memberikan efek jera (al-jazru) bagi masyarakat,
khususnya mereka yang berniat melakukan kejahatan serupa.
Namun, pelaksanaan hukum di atas
tidak bisa dilepaskan dari ketentuan-ketentuan pelaksanaanya (al-ahkam
al-wadh’iyyah al-muta’alliqah bih) seperti: syarat, sebab, mani’ (pencegah),
ada atau tidak adanya rukhsoh (keringanan), dll.
Sebagai contoh, pembunuhan yang
dilakukan seorang kasir di dalam kasus di atas baginya tidak akan diberlakukan
hukum qishas ataupun diyat. Sebab, membela diri, harta dan kehormatan dari
seorang pembunuh (daf’u ash-shoil) merupakan rukshoh (keringan) yang ditetapkan
syariat kepada korban sebagaimana akan kami jelaskan dalam tulisan ini.
Hukum
dan Tahapan Pembelaan Terhadap Diri, Harta dan Kehormatan
Orang yang merasa bahwa
kehormatan, harta, dan dirinya dalam bahaya, secara syar’iy berhak melakukan
pembelaan (ad-difaa’ as-syar’iy). Sebagai contoh, ketika seseorang berhadapan
dengan pelaku kriminal yang mengarahkan senjata api atau menghunus senjata
tajam, bermaksud membunuhnya atau mengambil harta miliknya atau merenggut
kehormatannya, maka ia disyariatkan untuk melakukan pembelaan.
Begitupun, ketika seseorang
melihat orang lain dalam kondisi tersebut, maka ia pun berhak melakukan
pembelan terhadapnya. Namun, pembelaan tersebut harus dilakukan sesuai dengan
kadar bahaya yang dihadapinya. Kalau seseorang yang bermaksud jahat itu cukup
diingatkan dengan kata-kata, seperti memintanya beristigfar, atau
teriakan meminta pertolongan kepada orang di sekitar tempat kejadian, maka
haram bagi korban melakukan pemukulan.
Begitu pun jika ia dapat
melakukan pembelaan itu cukup dengan memukul, maka ia tidak dibenarkan untuk
menggunakan senjata. Namun bila pembelaan atas dirinya tidak mungkin dilakukan
kecuali dengan senjata yang dapat melumpuhkannya, seperti dengan pentungan
misalnya, maka ia boleh melakukannya, namun tidak dibenarkan baginya untuk
membunuh. Akan tetapi, bila pembelaan itu hanya mungkin dilakukan dengan
membunuhnya, seperti dalam kondisi yang di contohkan di atas, dimana pelaku
sudah menghunus senjata tajam atau mengacungkan pistol misalnya, maka bagi
korban berhak untuk membunuhnya, (Lihat: Wahbah az-Zuhailiy, Fiqhul Islamiy Wa
Adillatuha, 6/597).
Sebagaimana bila ia dapat
menyelamatkan dirinya dengan melarikan diri atau berlindung kepada orang lain,
maka dalam kondisi seperti ini ia tidak boleh secara sengaja membunuh pelaku.
Ini adalah pandangan madzhab as-Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Dengan
kata lain hendaknya korban melakukan pembelaan dengan cara yang paling mudah,
sesuai kondisi yang dihadapinya, (Lihat: al-Badai’: 7/93, mughnil muhtaj:
4/1966-197, bidayatul Mujtahid, 2/319, al-Mughni: 329-331, ).
Dalil masalah ini adalah firman
Allah SWT: “Oleh sebab itu barang siapa
yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.
Bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang
bertaqwa”. (QS. 2:194)
Perintah al-taqwa dalam ayat ini
menjadi dalil akan keharusan adanya kesamaan dalam menuntut balas atau
melakukan pembelaan (al-mumatsalah) dan pentahapan (at-tadarruj) dalam
pelaksanaannya, mulai dari yang paling ringan dan mudah, hingga yang paling
sulit dan berat konsekuensi, seperti membunuh.
Sementara dalam as-Sunnah,
Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa saja
yang terbunuh karena membela agamanya maka ia syahid, siapa saja yang terbunuh
karena membela jiwanya maka ia syahid, siapa saja yang terbunuh karena membela
hartanya maka ia syahid, dan siapa saja yang terbunuh karena membela kehormatan
keluarganya maka ia syahid” (HR. Abu Daus, at-Tirmidzi, an-Nasaiy, Ibnu
Majah)
Sifat syahid yang dilekatkan
kepada orang yang terbunuh demi membela agama, jiwa, harta, dan kehormatannya
menunjukan kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan meski harus membunuh
sang pelaku.
Adapun dalil kebolehan melakukan
pembelaan dan perlawanan demi harta, jiwa, dan kehormatan orang lain, adalah
hadis riwayat Anas Ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw bersabda :
“Tolonglah
saudaramu yang dzalim dan terdzalimi. Lalu ketika Anas bertanya: “bagaimana
cara aku menolong orang yang dzalim.?”. Beliau menjawab: “kau cegah ia untuk
melakukan kedzaliman itu, sesunggunya dengan itu kau telah menolongnya” (HR.
Bukhari, Ahmad, dan at-Tirmidzi).
Dalam hadis lain Rasulullah Saw.
bersabda: ”Siapa saja yang menyaksikan
seorang mukmin dihinakan, lalu ia tidak menolongnya padahal ia mampu untuk
melakukannya, niscaya Allah Saw. akan menghinakannya di hari kiamat di hadapan
manusia” (HR. Ahmad)
Adapun status kedua hak di atas,
yakni hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan diri sendiri, serta hak
untuk membela jiwa, harta dan kehormatan orang lain, apakah merupakan hak yang
sifatnya wajib (haqun wajib), ataukah sekedar boleh (haqun ja’iz), maka
dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha dalam aspek
rinciannya.
Pembelaan atas diri/jiwa hukumnya
mubah (boleh) menurut madzhab al-hanabilah dan wajib menurut pandangan jumhur
fuqoha (al-malikiyyah, al-hanafiyyah, dan as-syafiiyah). Hanya saja madzhab
syafiiy memberikan taqyid (batasan) kewajiban tersebut, yakni jika pelakunya
orang kafir, sementara jika yang melakukan penyerangan itu sesama muslim maka
hukumnya boleh (tidak wajib), dengan dalil sabda Rosulullah Saw:
“jadilah
sebaik-baiknya bani adam (Rawa Abu Daud).
Perintah untuk menjadi
sebaik-baik bani Adam dalam hadis ini adalah isyarah pada kisah Qabil dan
Habil, dimana Habil terbunuh tanpa melakukan perlawanan. Sikap seperti ini pula
yang mashur ditengah-tengah para sahabat, tanpa ada seorang pun yang
mengingkarinya, sebagaimana kasus pembunuhan ‘Utsman Ibnu ‘Affan. Selain itu,
dalil lain yang dijadikan dasar oleh madzhab as-Syafiiy adalah bahwa membela
diri sendiri, sama wajibnya dengan membela diri sesama muslim, karena
ta’arudh (pertentangan) inilah mereka berpendapat bahwa hukum membela diri
dalam kontek ini hukumnya hanya mubah. Sementara madzhab jumhur yang lain
berpegang pada firman Allah SWT:
“Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan (QS.
2:195)
Dan firman Allah SWT: “Maka perangilah golongan yang berbuat
aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah, (QS. 49:9)
‘Alakullihal, melakukan pembelaan atas keselamatan diri dari
pelaku kejahatan bukanlah perkara yang dilarang, meski ada perbedaan pendapat
apakah hukumnya wajib atau sekedar boleh. Begitupun melakukan pembelaan atas
harta hukumnya mubah menurut pandangan jumhur fuqaha (tidak wajib), meski
pembelan itu harus dilakukan dengan cara membunuh pelaku, dengan ketentuan
sebagaimana dijelaskan di atas, yakni keharusan tadarruj (bertahap) mulai dari
cara yang lebih ringan dan mudah. Adapun pembelaan atas kehormatan, yakni
kehormatan perempuan-perempuan muslimah, para fuqaha sepakat bahwa hukumnya
wajib, baik menyangkut kehormatan diri sendiri atau orang lain. Sebab pembiaran
atas terenggutnya kehormatan seorang muslim merupakan perkara haram, (Lihat:
Wahbah az-Zuhailiy, Fiqhul Islamiy Wa Adillatuha, 6/600-608).
Tidak
Ada Sanksi
Para fuqha sepakat bahwa siapa
saja yang membunuh pelaku kejahatan (as-shoil) demi melakukan pembelaan, maka
tidak ada sanksi baginya, baik berupa qishash maupun diyat. Sebab, hal itu
merupakan rukhsoh (keringanan) yang diberikan syara’ sebagaimana dijelaskan di
atas. Selain dalil-dalil yang menjadi dasar adanya rukhsoh tadi, juga terdapat
dalil-dalil khusus terkait kehalalan darah para sang pelaku. Di antaranya sabda
Rasulullah Saw:
”siapa
saja yang menghunus pedang kemudian memukulkannya (kepada orang lain) maka halal
darahnya
(HR. al-hakim)
Imam ad-Dzahabi memberikan ta’liq
(komentar) dalam kitab at-Talkhis, bahwa hadis ini shohih berdasarkan kriteria
Imam Bukhari dan Muslim, meski keduanya tidak men-takhrij hadis ini dalam kitab
shahihnya.
Terkait orang yang membunuh
karena membela hartanya, Abu Hurairah meriwayatkan sebuah hadis, bahwa ada
seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw. lalu bertanya: “Wahai Rasulullah: “bagaimana menurutmu jika
ada seseorang yang hendak mengambil hartaku.?”. Beliau menjawab: “jangan kau
berikan”. Laki-laki itu bertanya lagi: “Bagaimana jika ia menyerangku”.?.
Beliau menjawab: “Engkau lawan”. Ia bertanya lagi: “Bagaimana jika ia berhasil
membunuhku.?”. Beliau menjawab: “kamu syahid”. Ia bertanya lagi: “Bagaimana
jika aku yang berhasil membunuhnya..?”. Beliau menjawab: “Dia masuk neraka” (HR.
Muslim).
Kebolehan membunuh pelaku yang
ditegaskan Rasulullah Saw. menunjukan hilangnya sanksi bagi pembunuh karena
membela hartanya itu. Sebab, sanksi tidak diterapkan dalam perkara yang
mubah. Begitupun pembelaan terhadap kehormatan, dalil-dalil di atas sudah cukup
sebagai dasar dihilangkannya sanksi dari pembunuh dengan alasan membela
kehormatan. Bahkan, ulama empat madzhab sepakat bahwa siapa saja yang mendapati
istrinya berzina dengan laki-laki lain, lalu ia membunuh laki-laki tersebut,
maka tidak ada qishash atau pun diyat baginya, (Lihat: Ibnu Quddamah, al-Mugni,
8/332).
Namun, pelaksanaan hukum ini
tentu perlu dibuktikan dipengadilan, apakah benar bahwa seseorang itu membunuh
karena membela diri, atau bukan. Jika terbukti bahwa ia membunuh karena membela
diri, harta, dan kehormatannya maka ia terbebas dari hukuman qishash dan diyat,
baik pembuktian tersebut melalui keberadaan dua orang saksi, pengakuan keluarga
terbunuh, atau indikasi-indikasi lain yang menunjukan bahwa pelaku membunuh
korban karena membela diri, seperti ancaman sang korban dimuka umum, atau ia
terkenal di tengah-tengah masyarakat sebagai penjahat dan pelaku kriminal. (Wallahu
a’lam bi as-showab.)
Bagaimana
terhadap Negeri Diktator dari kalangan Muslim
Bila negeri muslim dikuasai
diktaktor dari kalangan muslim pula kemudian Anda menolak sebagian
undang-undangannya berdasarkan ketidaksesuaian dengan syariat dengan
dalil-dalil yang telah jelas akan hal tersebut, atau adanya dijumpai banyaknya
hal-hal yang tidak mengenakkan didalam kehidupan di negeri tersebut, misalnya
pencekikan pajak, ketidakseimbangan kesejahteraan, tidak adanya lapangan
pekerjaan, ketidaktersediaan pangan, dsb.
Mungkin ada sebagian yang diam
dan mengambil perlawanan secara pribadi saja (didalam hati) dan ada pula
sebagian yang bersuara lantang mendemo, kemudian Anda dan kumpulan Anda yang
berdemo diserang oleh pemerintah tersebut?
Apakah Anda berhak melawan balik?
Karena bisa jadi ada pula pihak ketiga yang mengail diair keruh hingga
memanaskan situasi? Mampukah memenuhi banyaknya faktor-faktor pendukung untuk
sebuah revolusi yang disiapkan atau ada?
Taat kepada pemimpin, bila ia
Khalifah Islam dan memegang syariat Islam yang benar, patutlah kita berbai’at
kepada khalifah tersebut, namun bila ia pemimpin diktaktor, maka yang dimaksud
ketaatan pada pemimpin lebih diberatkan kepada ketaatan pada undang-undang dan
peraturan-peraturan umum negeri tersebut selama tidak bertentangan dengan
syariat dan demi kebaikan interaksi horizontal antara masyarakat di dalam
negeri tersebut, agar lebih mudah kepada interaksi hubungan sosial antar manusia
sendiri, misalnya undang-undang berlalu lintas, agar ditaati untuk kepentingan
dan kebaikan bersama termaksud hukum-hukumnya. Namun bila negeri tersebut
membuat undang-undang yang bertentangan dengan syariat, seperti : pembolehan
nikah sesama jenis, patutlah kita bila tidak berani, tidak menerima di dalam
hati dan mengusahakan keluarga terdekat tidak melakukan hal tersebut, bila
mampu bersuara maka menasehati pemerintah tersebut baik lewat wakilnya maupun
perkelompok dengan demo, namun bila Anda dipaksa pembungkaman dengan kekerasan
oleh diktaktor muslim, maka adakah hak dan kemauan untuk melawan?
Ada 3 pilihan yang ada, yang harusnya
mengikuti garis takdirNya kelak.
- Layaknya seperti saat nabi Muhammad SAW bersikap saat masih berada di Mekkah, karena masih berada pada daerah jahiliyah,
- Layaknya nabi Muhammad SAW saat berada di Madinah yang telah mempersiapkan diri sebagai pemimpin, telah siapnya sahabat-sahabatnya berjihad/berperang, telah siapnya basis pemerintahan lain (Madinah), telah turunnya ayat berperang dan telah siapnya kemampuan harta dan persenjataan atau Layaknya Imam Mahdi yang akan siap menjadi pemimpin hanya semalam, mendapat kursi khalifah secara mudah, di dukung pasukan panji hitam yang memiliki kemampuan berperang hebat dan orang-orang yang membai’atnya,
- Atau seperti nabi-nabi terdahulu dalam berdakwah tidak memerangi suku atau bangsanya sendiri, nabi-nabi dahulu berdakwa dengan hanya menetap dan bertempat tinggal bertahun-tahun diantara suku sendiri hingga ada yang mengikutinya dan ada pula yang menolak ajakan dan peringatannya tanpa melakukan peperangan fisik dengan umatnya sendiri, menerima hinaan dan kesusahan sampai datangnya ketetapan Allah SWT yang kebanyakan akhirnya adalah dimusnahkannya atau dikutuknya suku/ummat nabi-nabi tersebut dan menyelamatkan sisa suku yang mengikuti nabi-nabiNya. Namun dalam jaman sekarang kemungkinan besar adalah hanya terjadi perpindahan rezim yang satu ke rezim yang lain.
Berbeda dengan umat-umat nabi-nabi
terdahulu, bila seseorang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi
kirimu, namun umat Islam boleh memilih bila sesuai situasi dan kondisinya
menampar balik pipi kanan orang tersebut atau memberi pipi kiri sendiri juga
buat ditampar. Bila ada yang mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu namun Islam
selain boleh seperti itu juga mengajarkan ada yang mengingini bajumu, bisa
memberikannya dahulu kain, benang dan jarum, sesuai situasi dan keadaan yang
pas dengan takaran yang pas pula. Seperti termaktup di dua hadis ini:
Dari Subayi' bin Khalid, ia
berkata, "Aku pernah datang ke kota
Kufah saat penaklukkan kota Turtas (wilayah dekat Khurasan) tempat aku biasa
mengambil domba. Lalu aku masuk masjid yang saat itu kulihat seorang lelaki
setengah baya, dari penampilannya dapat diketahui —jika kamu memandangnya—- ia
layaknya lelaki pendatang dari Hijaz. Lalu aku bertanya, 'Siapakah lelaki ini?'
Orang-orang melihatku dengan wajah kurang suka, kemudian mereka menjawab,
'Sungguhkah kamu tidak mengenali lelaki ini? Dia adalah Hudzaifah bin Al Yaman,
salah seorang sahabat Rasulullah SAW.' Lalu Hudzaifah berkata, 'Orang-orang
biasa bertanya kepada Rasulullah tentang hal-hal kebaikan, tetapi aku justru
bertanya kepada beliau tentang hal-hal buruk (yang akan terjadi).' Dengan
pandangan tajam orang-orang pun memperhatikan Hudzaifah, lalu ia berkata, 'Aku
tahu apa yang kalian gundahkan. Sesungguhnya aku pernah berkata kepada
Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, terangkanlah kepadaku bagaimana pendapatmu
tentang Islam yang telah Allah anugerahkan kepada kami, apakah Islam akan
menghadapi keburukan (Jahiliah) seperti yang dulu pernah dihadapi?' Rasulullah
pun menjawab, 'Ya.'Maka aku berkata, 'Lalu bagaimana cara Islam menghadapinya?'
Beliau menjawab, '(Dengan) pedang!' Maka aku berkata, 'Wahai Rasulullah, lalu
apakah selain itu?' Beliau menjawab, 'Jika
Allah memiliki seorang khalifah di bumi ini, kemudian ia menzhalimimu dan
mengambil sesuatu yang menjadi hakmu, maka (tidak ada pilihan) selain kamu
harus menaatinya. Jika tidak, maka kamu akan mati sambil menggigit batang
pohon.' Lalu aku bertanya kepada beliau, 'Lalu apa lagi, wahai Rasulullah?'
Beliau menjawab, 'Kemudian akan keluar Dajjal membawa sungai dan parit-parit
dari api. Barangsiapa terjatuh ke dalam parit api Dajjal tersebut, maka ia akan
diberi pahala dan dosa-dosanya pun akan diampuni. Dan barangsiapa terjatuh ke
dalam sungai yang dibawa Dajjal, maka ia berdosa dan akan diangkat semua pahala
kebaikannya'." (Hasan: Ash-Shahihah (1791) Sunan Abu Daud
Hudzaifah berkata, "Aku
bertanya lagi kepada beliau, 'Wahai
Rasulullah, apakah setelah datangnya Islam akan ada keburukan lain?' Beliau
menjawab, ''Keburukan berkedok kedamaian dan kelompok yang terselimuti
kekufuran dan anggota kelompoknya pun terselimuti olehnya. "Hudzaifah
berkata, "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan
keburukan berkedok kedamaian?' Beliau menjawab, 'Ketika hati seluruh kaum sudah
tidak dapat lagi kembali kepada kebaikan sedia kala.' Maka aku bertanya lagi,
'Apakah setelah Islam datang akan ada keburukan lain yang akan kembali datang?'
Beliau menjawab, 'Fitnah orang buta dan tuli (akan kebenaran), dan fitnah itu
memiliki pemanggil yang berada di atas pintu neraka. Jika kamu mati, wahai Hudzaifah, dalam kondisi menggigit batang pohon
sekalipun, itu lebih baik daripada kamu mengikuti mereka'. (Hasan: ibid.)
Yang paling ditakutkan adalah
fitnah yang lebih mengerikan dari fitnah Dajjal, yaitu kalian saling tidak
menghargai nyawa sesama muslim, tidak tahu sebab membunuh dan dibunuh dan
karena adanya makar, pembuatan fitnah dan adu domba dari pihak ketiga yang
membuat keadaan itu terjadi dan makin menjadi, keadaan di awal-awal menuju huru
hara akhir jaman akan seperti ini seperti terlihat pula dikeadaan awal di
konflik Syria. Seperti contoh yang paling awal pada perang siffin dan perang
jamal. Jihad itu sebagaimana amal lainnya harus pakai ilmu. Jika tidak bisa
tertolak dan malah berdosa.
Berapa hal lainnya dalam
pengkondisian keadaan untuk pilihan berjihad dijabarkan kembali di QS. An Nisaa' :88-100
83.
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita
tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri[322] di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan Ulil Amri)[323]. Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat
Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil
saja (di antaramu). QS. An Nisaa' :83
[322].
Ialah: tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan di antara mereka.
[323].
Menurut mufassirin yang lain maksudnya ialah: kalau suatu berita tentang
keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan Ulil Amri, tentulah
Rasul dan Ulil Amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari
berita itu.
87. Allah, tidak
ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan
kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. Dan siapakah orang
yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ?
Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua
golongan[328] dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah
membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? Apakah
kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan
Allah[329]? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak
mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya.
[328].
Maksudnya: golongan orang-orang mukmin yang membela orang-orang munafik dan
golongan orang-orang mukmin yang memusuhi mereka.
[329].
Pengertian disesatkan Allah berarti: bahwa orang itu sesat berhubung
keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah.
Mereka ingin supaya
kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi
sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka
penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika
mereka berpaling[330], tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya,
dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan
jangan (pula) menjadi penolong,
[330].
Diriwayatkan bahwa beberapa orang Arab datang kepada Rasulullah s.a.w. di
Madinah. Lalu mereka masuk Islam, kemudian mereka ditimpa demam Madinah, karena
itu mereka kembali kafir lalu mereka keluar dari Madinah. Kemudian mereka
berjumpa dengan sahabat Nabi, lalu sahabat menanyakan sebab-sebab mereka
meninggalkan Madinah. Mereka menerangkan bahwa mereka ditimpa demam Madinah.
Sahabat-sahabat berkata: Mengapa kamu tidak mengambil teladan yang baik dari
Rasulullah? Sahabat-sahabat terbagi kepada dua golongan dalam hal ini. Yang
sebahagian berpendapat bahwa mereka telah menjadi munafik, sedang yang
sebahagian lagi berpendapat bahwa mereka masih Islam. Lalu turunlah ayat ini
yang mencela kaum Muslimin karena menjadi dua golongan itu, dan memerintahkan
supaya orang-orang Arab itu ditawan dan dibunuh, jika mereka tidak berhijrah ke
Madinah, karena mereka disamakan dengan kaum musyrikin yang lain.
kecuali orang-orang
yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu
telah ada perjanjian (damai)[331] atau orang-orang yang datang kepada kamu
sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi
kaumnya[332]. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada
mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka
membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian
kepadamu[333] maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan
membunuh) mereka.
[331].
Ayat ini menjadi dasar hukum suaka.
[332].
Tidak memihak dan telah mengadakan hubungan dengan kaum muslimin.
[333].
Maksudnya: menyerah.
Kelak kamu akan
dapati (golongan-golongan) yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman dari
pada kamu dan aman (pula) dari kaumnya. Setiap mereka diajak kembali kepada
fitnah (syirik), merekapun terjun kedalamnya. Karena itu jika mereka tidak
membiarkan kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak)
menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah mereka dan bunuhlah
mereka dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata
(untuk menawan dan membunuh) mereka.
-kelak
= mengacu pada waktu hingga keadaan terkini/sekarang, kecuali tidak membiarkan
kamu, tidak mengemukan perdamaian atau mereka turun tangan memerangi kamu, maka
perangilah/balaslah.
Dan tidak layak
bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena
tersalah (tidak sengaja)[334], dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat[335] yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah[336]. Jika ia (si terbunuh)
dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka
(hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya[337], maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[334].
Seperti: menembak burung terkena seorang mukmin.
[335].
Diat ialah pembayaran sejumlah harta karena sesuatu tindak pidana terhadap
sesuatu jiwa atau anggota badan.
[336].
Bersedekah di sini maksudnya: membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat.
[337].
Maksudnya: tidak mempunyai hamba; tidak memperoleh hamba sahaya yang beriman
atau tidak mampu membelinya untuk dimerdekakan. Menurut sebagian ahli tafsir,
puasa dua bulan berturut-turut itu adalah sebagai ganti dari pembayaran diat
dan memerdekakan hamba sahaya.
Dan barangsiapa
yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam,
kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya.
Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan
janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam"
kepadamu[338]: "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya),
dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada
harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu[339], lalu Allah
menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[338].
Dimaksud juga dengan orang yang mengucapkan kalimat: laa ilaaha illallah.
[339].
Maksudnya: orang itu belum nyata keislamannya oleh orang ramai kamupun demikian
pula dahulu.
Tidaklah sama
antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur
dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan
jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya
atas orang-orang yang duduk[340] satu derajat. Kepada masing-masing mereka
Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang
yang berjihad atas orang yang duduk[341] dengan pahala yang besar,
[340].
Maksudnya: yang tidak berperang karena uzur.
[341].
Maksudnya: yang tidak berperang tanpa alasan. Sebagian ahli tafsir mengartikan
qaa'idiin di sini sama dengan arti qaa'idiin pada no. [340].
(yaitu) beberapa
derajat dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
-Beberapa
tingkatan derajat (lebih banyak dari yang duduk/tidak ikut berperang karena
tidak ada ujur) sampai dengan satu derajat (lebih banyak dari yang duduk/tidak
ikut berperang karena ada ujur), duduk pengertiannya tidak mengusakan dan
melaksanakan jihad.
Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri
sendiri[342], (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana
kamu ini?." Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas
di negeri (Mekah)." Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu
luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?." Orang-orang itu
tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
[342].
Yang dimaksud dengan orang yang menganiaya diri sendiri di sini, ialah orang-orang
muslimin Mekah yang tidak mau hijrah bersama Nabi sedangkan mereka sanggup.
Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke
perang Badar; akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu.
-orang
yang sanggup keluar dari negeri yang menindas/kafir, haruslah berhijrah, bila
sampai tak hijrah dan hingga ia ikut memerangi/membantu langsung/tidak langsung
memerangi muslim lainnya karena paksaan penindas, bisa jadi orang yang celaka.
kecuali mereka yang
tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya
upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah),
mereka itu,
mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.
Barangsiapa
berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat
hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan
maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya
(sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di
sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. QS. An Nisaa' : (87-100)