Biodata :
Memerintah
: 1174 M. – 4
Maret 1193 M.
Dinobatkan
:
1174 M.
Nama
lengkap : Salah al-Din Yusuf
Ibn Ayyub
Lahir
: 1138 M. di Tikrit, Iraq
Meninggal
: 4
Maret-1193 M. di Damaskus, Syria
Dimakamkan
: Masjid Umayyah,
Damaskus, Syria
Pendahulu
:
Nuruddin Zengi
Pengganti
:
Al-Aziz
Dinasti
:
Ayyubiyyah
Ayah
: Najmuddin Ayyub
Ringkasan :
Salahuddin Ayyubi atau Saladin atau Salah ad-Din
(Bahasa Arab: صلاح الدين الأيوبي, Kurdi: صلاح
الدین ایوبی) (Sho-lah-huud-din
al-ay-yu-bi) (c. 1138 – 4 Maret 1193) adalah seorang jendral dan pejuang muslim
Kurdi dari Tikrit (daerah utara Irak saat ini). Ia mendirikan Dinasti
Ayyubiyyah di Mesir, Suriah, sebagian Yaman, Irak, Mekkah Hejaz dan Diyar Bakr.
Salahuddin terkenal di dunia Muslim dan Kristen karena kepemimpinan, kekuatan
militer, dan sifatnya yang ksatria dan pengampun pada saat ia berperang melawan
tentara salib. Sultan Salahuddin Al Ayyubi juga adalah seorang ulama. Ia
memberikan catatan kaki dan berbagai macam penjelasan dalam kitab hadits Abu
Dawud.
Latar Belakang :
Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi.
Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi)
meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit
(Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M, ketika
ayahnya menjadi penguasa Seljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya
mengabdi kepada Imaduddin Zanky, gubernur Seljuk untuk kota Mousul, Irak.
Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M,
Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi
pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud. Selama di Balbek inilah,
Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik perang, strategi, maupun
politik. Setelah itu, Shalahuddin melanjutkan pendidikannya di Damaskus untuk
mempelajari teologi Sunni selama sepuluh tahun, dalam lingkungan istana
Nuruddin. Pada tahun 1169, Shalahudin diangkat menjadi seorang wazir
(konselor).
Di sana, dia mewarisi peranan sulit
mempertahankan Mesir melawan penyerbuan dari Kerajaan Latin Jerusalem di bawah
pimpinan Amalrik I. Posisi ia awalnya menegangkan. Tidak ada seorangpun
menyangka dia bisa bertahan lama di Mesir yang pada saat itu banyak mengalami
perubahan pemerintahan di beberapa tahun belakangan oleh karena silsilah
panjang anak khalifah mendapat perlawanan dari wazirnya. Sebagai pemimpin dari
prajurit asing Syria, dia juga tidak memiliki kontrol dari Prajurit Shiah
Mesir, yang dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui atau seorang Khalifah
yang lemah bernama Al-Adid. Ketika sang Khalifah meninggal bulan September
1171, Saladin mendapat pengumuman Imam dengan nama Al-Mustadi, kaum Sunni, dan
yang paling penting, Abbasid Khalifah di Baghdad, ketika upacara sebelum Shalat
Jumat, dan kekuatan kewenangan dengan mudah memecat garis keturunan lama.
Sekarang Saladin menguasai Mesir, tapi secara resmi bertindak sebagai wakil
dari Nuruddin, yang sesuai dengan adat kebiasaan mengenal Khalifah dari
Abbasid. Saladin merevitalisasi perekonomian Mesir, mengorganisir ulang
kekuatan militer, dan mengikuti nasihat ayahnya, menghindari konflik apapun
dengan Nuruddin, tuannya yang resmi, sesudah dia menjadi pemimpin asli Mesir.
Dia menunggu sampai kematian Nuruddin sebelum memulai beberapa tindakan militer
yang serius: Pertama melawan wilayah Muslim yang lebih kecil, lalu mengarahkan
mereka melawan para prajurit salib.
Dengan kematian Nuruddin (1174) dia menerima gelar Sultan
di Mesir. Disana dia memproklamasikan kemerdekaan dari kaum Seljuk, dan dia
terbukti sebagai penemu dari dinasti Ayyubid dan mengembalikan ajaran Sunni ke
Mesir. Dia memperlebar wilayah dia ke sebelah barat di maghreb, dan ketika
paman dia pergi ke Nil untuk mendamaikan beberapa pemberontakan dari bekas pendukung
Fatimid, dia lalu melanjutkan ke Laut Merah untuk menaklukan Yaman. Dia juga
disebut Waliullah yang artinya teman Allah bagi kaum muslim Sunni.
Aun 559-564 H/ 1164-1168 M. Sejak itu Asaduddin,
pamannya diangkat menjadi Perdana Menteri Khilafah Fathimiyah. Setelah pamnnya
meninggal, jabatan Perdana Menteri dipercayakan Khalifah kepada Shalahuddin
Al-Ayyubi.
Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mematahkan
serangan Tentara Salib dan pasukan Romawi Bizantium yang melancarkan Perang
Salib kedua terhadap Mesir. Sultan Nuruddin memerintahkan Shalahuddin mengambil
kekuasaan dari tangan Khilafah Fathimiyah dan mengembalikan kepada Khilafah
Abbasiyah di Baghdad mulai tahun 567 H/1171 M (September). Setelah Khalifah
Al-’Adid, khalifah Fathimiyah terakhir meninggal maka kekuasaan sepenuhnya di
tangan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Sultan Nuruddin meninggal tahun 659 H/1174 M,
Damaskus diserahkan kepada puteranya yang masih kecil Sultan Salih Ismail
didampingi seorang wali. Dibawah seorang wali terjadi perebutan kekuasaan
diantara putera-putera Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nurruddin menjadi
terpecah-pecah. Shalahuddin Al-Ayyubi pergi ke Damaskus untuk membereskan
keadaan, tetapi ia mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yang tidak
menginginkan persatuan. Akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi melawannya dan
menyatakan diri sebagai raja untuk wilayah Mesir dan Syam pada tahun 571 H/1176
M dan berhasil memperluas wilayahnya hingga Mousul, Irak bagian utara.
Perang melawan Tentara Salib :
Saladin dan Guy dari Lusignan setelah Pertempuran
Hattin, pada tanggal 29 September, Shalahuddin menyeberangi sungai Yordan
untuk menyerang Beisan yang ditemukan telah dikosongkan. Hari berikutnya ia
memecat pasukannya kemudian membakar kota dan pindah ke barat. Mereka dicegat
bala Tentara Salib dari Karak dan Shaubak sepanjang jalan Nablus dan mengambil
sejumlah tahanan. Sementara itu, pasukan Tentara Salib utama di bawah pimpinan
Guy dari Lusignan pindah dari Sepforis al-Fula. Saladin mengirimkan 500
penyusup untuk mengganggu pasukan mereka dan ia sendiri berjalan ke Ain Jalut.
Ayyubiyah tiba-tiba bergerak ke dalam arus Ain Jalut. Setelah serangan-serangan
Ayyubiyah termasuk beberapa di Zir’in, Forbelet, dan Gunung Tabor-Tentara Salib
masih tidak tergoda untuk menyerang kekuatan utama mereka, dan Shalahuddin
memimpin anak buahnya kembali ke seberang sungai bersama seluruh perlengkapan
perangnya dengan berlari kecil.
Bagaimanapun juga serangan balik Tentara Salib
direspon lebih lanjut oleh Salahuddin. Sebagai tanggapan, Saladin membangun
sebuah armada 30 kapal untuk menyerang Beirut pada 1182.
Raynald mengancam menyerang kota suci Mekkah dan
Madinah, lalu dibalas oleh Salahuddin dengan dua kali mengepung Kerak (benteng
Raynald di Oultrejordain) pada 1183 dan 1184. Raynald menanggapinya dengan menjarah
karavan peziarah pada haji pada 1185. Menurut Keturunan Prancis dari William
dari Tirus 13 abad kemudian, Raynald menangkap adik Saladin dalam serangan di
karavan, meskipun klaim ini tidak dibuktikan dalam sumber-sumber kontemporer,
muslim atau Frank, tidak menyatakan menyatakan bahwa Raynald telah menyerang
sebuah karavan sebelumnya, dan Saladin mengatur penjaga untuk menjamin keamanan
adiknya dan putranya.
Menyusul kegagalan pengepungan Kerak, Saladin
sementara mengalihkan perhatiannya kembali pada proyek jangka panjang dan
melanjutkan serangan di wilayah Izz-Din (Mas’ud bin Mawdud ibn Zangi), sekitar
Mosul, yang telah dimulai dengan beberapa keberhasilan dalam 1182. Namun, sejak
itu, Mas’ud telah bersekutu dengan Gubernur kuat Azerbaijan dan Jibal, yang
pada 1185 mulai bergerak pasukannya di Pegunungan Zagros, menyebabkan Saladin
ragu-ragu dalam serangan itu. Para pembela Mosul sadar bahwa bantuan sedang
dalam perjalanan maka mereka meningkatkan usaha , dan Salahuddin kemudian jatuh
sakit, sehingga Maret 1186 perjanjian damai ditandatangani.
Pada Juli 1187 Salahuddin merebut sebagian besar
Kerajaan Yerusalem. Pada tanggal 4 Juli 1187, pada Pertempuran Hattin, dia
menghadapi kekuatan gabungan dari Guy dari Lusignan, Raja Permaisuri Yerusalem
dan Raymond III dari Tripoli. Dalam pertempuran ini tentara Salib sendiri
sebagian besar dihancurkan oleh motivasi tentara Salahuddin. Ini adalah bencana
besar bagi Tentara Salib dan sebuah titik balik dalam sejarah Perang Salib.
Salahuddin menangkap Raynald de Châtillon dan secara langsung bertanggung jawab
pada eksekusinya, sebuah pembalasan atas menyerangnya terhadap kafilah Muslim.
Para anggota kafilah ini sudah meminta pengampunan dengan menyatakan gencatan
senjata antara Muslim dan Tentara Salib, tapi Raynald de
Châtillon mengabaikan dan menghina Nabi Muhammad SAW sebelum dia membunuh
dan menyiksa beberapa dari mereka.
Guy dari Lusignan juga ditangkap oleh Salahuddin.
Melihat pelaksanaan hukuman mati Raynald, ia takut ia akan menjadi yang
berikutnya, tapi hidupnya diselamatkan oleh Salahuddin dengan kata-kata
(berbicara tentang Raynald): ”Bukan keinginan raja-raja untuk membunuh
raja-raja, tetapi dia telah melampaui batas, dan itulah sebabnya aku
memperlakukannya demikian”.
Pembebasan Yerusalem
Saladin telah menangkap hampir semua Tentara
Salib. Yerusalem menyerah kepada pasukannya pada tanggal 2 Oktober 1187 setelah
pengepungan. Sebelum pengepungan, Salahuddin telah menawarkan untuk menyerah
kepada tentara salib, namun ditolak. Salahauddin membebaskan sekitar 500
sandera muslim dan situs-situs suci umat islam dari ancaman kaum Frank di
Yerusalem dengan membayar uang tebusan untuk setiap Frank di kota itu baik
laki-laki, perempuan, atau anak. Setelah memenangkan Yerusalem, Salahuddin
memanggil orang-orang Yahudi dan mengijinkan mereka untuk menetap di kota itu.
Secara khusus, penduduk Ashkelon, sebuah pemukiman Yahudi yang besar,
menanggapi permintaannya.
Tirus, yang terletak di pantai Lebanon modern,
adalah kota besar terakhir Tentara Salib yang tidak dikepung oleh pasukan
Muslim (tempatnya sangat strategis dan sebenarnya akan lebih masuk akal bagi
Salahuddin untuk membebaskan Tirus sebelum Yerusalem, namun Salahuddin memilih
untuk membebaskan Yerusalem lebih dahulu karena pentingnya kota terbebut
sebagai kota Islam). Kota Tirus kemudian dipimpin oleh Conrad dari Montferrat,
yang memperkuat pertahanannya dan berhasil bertahan dua kali dari pengepungan
oleh Salahuddin.
Pada 1188, di Tortosa, Saladin membebaskan Guy
dari Lusignan dan mengembalikannya pada istrinya, Ratu Sibylla dari Yerusalem.
pada mulanya mereka pergi ke Tripoli, lalu ke Antiokhia. Pada 1189, mereka
berusaha untuk merebut kembali Tirus kerajaan mereka, tapi ditolak masuk oleh
Conrad, yang tidak mengakui Guy sebagai raja. Guy kemudian mulai mengepung
Acre.
Perang Salib Ketiga
Kabar mengenai perang Hattin dan jatuhnya
Yerusalem terdengar oleh kerajaan Inggris dan dikirimkanlah Prajurit Salib
Ketiga didanai oleh kerajaan Inggris dengan misi “khusus Salahuddin”. Richard I
dari Inggris (Richard The Lion Heart) memimpin langsung mengepung Acre,
menaklukkan kota itu dan mengeksekusi 3.000 tahanan muslim termasuk wanita dan
anak-anak. Salahuddin membalas dengan membunuh semua kaum Frank yang diambil
dari 28 Agustus-10 September. Bahā’ ad-Dīn menulis, “Kami berada di sana
dan mereka membawa dua Franks kepada Sultan (Salahuddin) yang dijadikan tahanan
dengan penjagaan ketat, mereka dipenggal di tempat..”
Tentara Salahuddin terlibat dalam pertempuran
dengan pasukan Raja Richard pada pertempuran Arsuf pada tanggal 7 September
1191, di mana Salahuddin dikalahkan. Semua upaya yang dilakukan oleh Richard si
Hati Singa untuk merebut Yerusalem menemui kegagalan, namun hubungan Salahuddin
dengan Richard I adalah hubungan ksatria yang saling menghormati dalam persaingan
militer. Dikisahkan, ketika Richard jatuh sakit dengan demam Salahuddin
menawarkan layanan dari dokter pribadinya. Salahuddin juga mengirimnya
buah-buah segar dengan salju, untuk mendinginkan minuman dan sebagai
pengobatan. Di Arsuf, ketika Richard kehilangan kudanya, Salahuddin
mengiriminya dua kuda pengganti. Richard mengusulkan untuk Salahuddin bahwa
Palestina, Kristen dan Muslim, dapat bersatu melalui pernikahan adiknya Joan
dari Inggris, Ratu Sisilia untuk saudara Saladin, dan bahwa Yerusalem dapat hadiah
pernikahan mereka. Sayangnya, kedua orang tersebut belum pernah bertemu muka
dan hanya berkomunikasi dengan tertulis atau melalui kurir.
Sebagai pemimpin faksi masing-masing, kedua orang
itu sampai kepada suatu kesepakatan dalam Perjanjian Ramla pada 1192, dimana
Yerusalem akan tetap berada di tangan Muslim, tapi akan terbuka untuk ziarah
Kristen. Perjanjian itu mengurangi Kerajaan Latin sepanjang pantai dari Tirus
ke Jaffa. Perjanjian ini berlaku hingga tiga tahun terakhir.
Kematian
“A Knight without fear or blame who often had
to teach his opponents the right way to practice chivalry“. Sebuah
prasasti yang ditulis oleh Kaiser Wilhelm II pada saat dia meletakkan karangan
bunga di makam Salahuddin.
Salahuddin meninggal karena demam pada 4 Maret
1193, di Damaskus, tak lama setelah kepergian Richard. Salahuddin telah
memberikan banyak barang dan uangnya untuk amal, ketika mereka membuka peti
perbendaharaannya, mereka menemukan bahwa tidak ada cukup uang untuk membayar
pemakamannya.Salahuddin dimakamkan di sebuah makam di taman luar Masjid Umayyah
di Damaskus, Suriah.
Tujuh abad kemudian, Kaisar Wilhelm II dari
Jerman menyumbangkan sarkofagus marmer baru ke makam Salahuddin namun
sarkofagus tersebut tidak digunakan. Makam sangat terbuka bagi pengunjung, sekarang
makam tersebut memiliki dua sarkofagus: satu kosong terbuat dari marmer dan
yang asli yang berisi Salahuddin terbuat dari kayu. Alasan mengapa Salahuddin
tidak diletakkan di dalam kubur itu tak lain adalah untuk menghormati dan agar
tidak mengganggu tubuhnya. -----
Perang Salib
Panglima pasukan
kristen bernama Peter sang Pertapa menggerakan pasukan salib gelombang
kedua berjumlah 40.000 orang tentara. Sepanjang perjalanan tentaranya berbuat
liar dan kejahatan. Mereka juga diperbolehkan melakukan dosa. Peter
sang Pertapa mempunyai cita-cita merebut kota suci Mekkah dari tangan
orang-orang Islam, termasuk juga kota Darussalam (jerussalem) yang di dalamnya
terdapat Masjidil Aqsha. Gelombang ketigatentara salib dipimpin oleh seorang
Biarawan Jerman. Bergerak dari Eropa mereka pada mulanya berhasil merebut
sebagian besar daerah Syiria, termasuk kota suci Yerussalem (Darussalam).
Namun, sayang mental pasukan salib yang rusak membuat penduduk di negeri tsb
menjadi sasaran kekejian pasukan salib. Kebrutalan pasukan kristen melebihi
kaum bar-bar. Orang-orang Islam yang sipil dibantai habis-habisan. Mill,
seorang ahli kristen, mengemukakan banyak keterangan tentang kejahatan tentara
salibis. Pada abad ke-12 Masehi (1.200M) ketika tentara salib berada pada puncak
kekejian, raja-raja Jerman dan Prancis; panglima Richard yang
mendapat julukan “si berhati singa” telah berhasil menguasai banyak medan
peperangan dan bersiap sedia menaklukan kota suci. Pada saat itu munculah
seorang panglima yang gagah berani dari tentara Islam yang bernama Salahudin Al
Ayubi.
Siapa Salahudin Al
Ayubi?
Ia lahir tahun 1137 M.
ayahnya bernama Najmuddin Ayub, dan pamannya bernama Asaduddin Sherkoh.
Keduanya merupakan pembantu Raja Syiria Nuuruddin Mahmud. Bahkan pada 8
Januari 1169, Sherkoh diangkat sebagai menteri sekaligus panglima perang oleh
Khalifah Fathimiyah Mesir. Pada saat itu, Salahuddin menjabat Perdana Menteri
Mesir. 2 tahun kemudian, pamannya, Sherkoh wafat. Disusul oleh wafatnya
khalifah. Salahuddin mendapat simpati dan kepercayaan dari para pejabat dan
rakyat untuk menjadi Sultan negara Mesir. Tak berapa lama, negeri Syiria yang
dipimpin oleh raja belia Malikus Saleh (anaknya Nuruddin Mahmud). Raja belia
tersebut amat lemah sehingga Syria pun dikepung oleh pasukan jerman (salib) dan
diharuskan membayar upeti kepada mereka. Khalifah Shalahuddin pun turun membela
negara Syria. Raja yang masih muda, Malikus Saleh, tak berapa lama wafat
(1181-1182). Maka Salahudin diangkat oleh bangsa Syria sebagai khalifah di
negeri Syria. Jadi, Sultan Salahuddin diamanati dua negara, yaitu Mesir dan
Syria.Pada saat itu, perang salib sedang berkecamuk. Kemunculan dan keberanian
Sultan Salahuddin membuat nyali tentara salib ciut. Gencatan senjata diajukan
oleh pasukan salib Jerman dibawah pimpinan Frank terhadap Sultan. Adapun
sultan, ia selalu mentaati perjanjian, berbeda dengan pasukan salib. Ahli
sejarah berkebangsaan Prancis bernama Michoudmenulis: “Pasukan Muslimin
menghormati perjanjian bersama itu, sedangkan pasukan kristen menunjukan
tanda-tanda melakukan peperangan yang baru.” Benar saja tak berapa lama,
pemimpin Kristen bernama Renauld atau Reginald dari Chatillon menyerang
rombongan umat muslim Islam yang melewati markas mereka, membantainya, dan
merampas barang-barangnya.Tindakan tersebut membuat Sultan Salahudin turun
tangan. Dengan kejadian tsb Sultan bebas bertindak terhadap pasukan kristen,
sebab mereka telah melanggar lebih dahulu. Sultan melakukan strategi jitu
terhadap tentara kristen, tahun 1187, pasukan sultan menjebak pasukan musuh
didekat Bukit Hittin dan berhasil menaklukannya tanpa mendapat perlawanan
berarti. Maka jatuhlah kawasan Hittin kepada pasukan Muslim. Dalam suatu
gerakan cepat, pasukan sultan merebut daerah dan negara-negara yang semula
telah dikuasai pasukan salib. Pasukan muslimin dibawah pimpinan Sultan berhasil
merebut Nablus, Jericho, Ramlah, Caesarea, Asruf, Jaffa, dan Beirut.
Merebut Kembali
Darussalam (Yerussalem)
Pada saat itu,
Yerussalem berada di bawah penguasaan pasukan Salib. Terdapat 60.000 pasukan
kristen di sana. Pasukan muslim di bawah komando Sultan Salahuddin
bergerak masuk ke kota suci tersebut. Pasukan kristen gentar dan akhirnya
menyerah tak berkutik kepada pasukan Muslim. Apa yang dilakukan pasukan Sultan
setelahnya menaklukan kota Jerussalem? Mereka tidak melakukan kerusakan, tidak
melakukan pembantaian, bahkan mereka menunjukan akhlak terpuji; hal ini sangat
berbeda dengan sikap pasukan kristen di bawah pimpinan Titus saat merebut kota
Jerussalem dari tangan umat Islam dimana mereka membantai dan mengusir penduduk
secara tak berperikemanusiaan.
Sejarah mencatat bahwa
pembantaian orang kristen terhadap umat Islam disaat merebut Jerussalem
berjumlah 70.000 orang Islam sipil dibunuh secara kejam. Pembantaian tsb
terjadi 90 tahun sebelum Sultan Salahudin merebut kembali Jerussalem. Saat
pasukan Muslim menguasai kota Jerussalem para penduduk beragama kristen
dibiarkan tinggal di Jerussalem. Kecuali para tentara kristen diminta untuk
meninggalkan kota. Para tentara tsb juga ditahan dan diminta memberikan tebusan
sebesar yang mereka rampas selama pendudukan jerusalem. Namun, Sultan Salahudin
yang baik hati seringkali memberikan uang tebusan sendiri dan memberi ongkos.
Bahkan ia tak tega jika ada seorang ibu yang menggendong anaknya meminta agar
suaminya (tentera kristen) dibebaskan tanpa syarat atau memberi bekal untuk
perjalanan pulang ke negara asal (eropah).
Pergerakan Pasukan
Sultan
Pasukan Sultan bergerak
ke Tyre. Di sana menemukan pasukan salib (yang telah dibebaskan) sedang
menyusun kekuatan kembali. Mereka langsung dilumpuhkan pasukan sultan. Pasukan
muslim berhasil merebut kembali kota yang sebelumnya direbut pasukan salib,
seperti kota Laodicea, Jabala, Saihun, Becas, Bozair, dan
Derbersak. Sultan Salahudin juga berhasil menangkap bangsawan kristen
bernama Guy de Lasignan. Kemudian Sultan membebaskannya dengan syarat ia
harus segera pulang ke Eropa. Namun, Lasignan berkhianat, ia mengumpulkan tentara
kristen untuk menyerang kembali kemudian mereka mengepung kota Ptolemais.
Saat Jerussalem jatuh
ke pasukan sultan. Bangsa-bangsa di eropa kaget. Mereka menurunkan bantuan
tentara salib. Raja-Raja Jerman dan Prancisbergerak, serta
Raja Inggris bernama Richard—si berhati singa—bergerak untuk merebut kembali
Jerussalem. Mereka mengepung Acre (Acre) berbulan-bulan sehingga
banyak orangorang Islam menderita kelaparan dengan keadaan yang sangat
mengenaskan. Atas tindakan Raja Inggris, yaitu Richard, maka
muncullah kemarahan Sultan Salahuddin.
Pasukan muslim
bergerak. Dalam sebelas kali pertempuran, pasukan kristen berhasil dilumpuhkan
oleh pasukan muslim. Atas kekalahan beruntun, Raja Richard mengajukan
perjanjian damai dengan Sultan Salahuddin. Pada bulan September 1192
berakhirlah perang salib. Para pasukan salib diperintahkan meninggalkan kota
suci Jerussalem, mereka memanggul kopor pulang ke eropa. Seorang ahli kristen
bernama Michoud menyatakan: “Pasukan gabungan Barat (Pasukan Salib atau
Pasukan Kristen) tidak bisa mendapat apa-apa kecuali merebut Akra
dan menghancurkan kota Ascalon. Dalam perang ini, pasukan eropa menderita
kerugian yang besar. Dari 600.000 pasukan (6 lakh) yang diutus dalam perang
salib, termasuk pasukan-pasukan terbaik dan para ksatria pilihan, namun hanya
100.000 pasukan (1 lakh) saja yang pulang ke Eropa.” Jerussalem atau Darussalam
yang di dalamnya terdapat Masjidil Aqsha akhirnya kembali ke tangan
muslim di bawah kepemimpinan Sultan Salahuddin Al Ayubi setelah dikuasai
selama 90 tahun oleh pasukan salib. Kota Darussalam kembali aman dan damai.
Berbondong-bondong umat Islam melaksanakan shalat di Masjidil Aqsha. Demikian
juga umat kristen diberi kebebasan untuk berkunjung ke tempat-tempat bersejarah
peninggalan Yesus.
Demikianlah Sultan
Salahuddin mampu menjaga keamanan kota suci ketiga umat Islam, yakni
Darussalam (Jerussalem). Sangatlah penting menjaga keamanan Darussalam sebab
disanalah pusat dakwah nabi-nabi terkemuka. Di kota tersebut banyak peninggalan
sejarah dari semenjak Nabi Ibrahim, Nabi Ishak, Nabi Yaqub, Nabi Musa-Harun,
Nabi Daud sampai Nabi Sulaiman. Yang dilanjutkan oleh Keluarga Imran (Ali
Imran), Nabi Zakariya, Nabi Yahya, Siti Maryam, sampai Nabi Isa. Itulah
Sultan Salahudin seorang pimpinan yang salih berhasil menciptakan ketentaraman
umat Islam melalui mewujudkan ketentraman tiga kota suci yaitu Mekkah, Madinah,
dan Darussalam.
Trilogi Peperangan
Bagi memperkukuhkan
tentera Islam, Salahuddin meminta negara Islam diurus di bawah satu pemerintahan.
Walaupun cadangannya tidak dipersetujui sesetengah pihak termasuk pemimpin
Syria, cita-cita Salahuddin itu termakbul.
Dalam bulan Zulkaedah
570 Hijrah (Mei 1175 Masihi), khalifah Abbasiyyah mengisytiharkan Salahuddin
al-Ayubi sebagai Sultan Mesir dan menggelarkan dirinya sebagai Sultan al-Islam
wa al-Muslimin. Pada tahun itu juga beliau membina kota pertahanan di Kaherah.
Pada tahun 583 Hijrah
(1187 Masihi) berlaku Perang Salib kedua, yang juga dikenali sebagai Perang
Hittin. Peperangan ini dipimpin sendiri oleh Salahuddin al-Ayubi hingga membuka
jalan mudah untuk menawan kembali Baitulmaqdis.
Pada tahun 588 Hijrah
(1192 Masihi) berlaku Perang Salib ketiga, hasil dendam dan kekecewaan golongan
pembesar Kristian. Mereka berusaha merampas semula Baitulmaqdis daripada orang
Islam. Walaupun perang Salib yang ketiga itu menggabungkan seluruh kekuatan
negara Kristian, mereka tidak mampu menggugat kekuatan tentera Salahuddin
al-Ayubi.
Pihak Kristian
mengalami kekalahan dan ramai tentera terbunuh dan tertawan. Baitulmaqdis yang
dikuasai orang Kristian selama 88 tahun, dapat ditakluki semula oleh Salahuddin
al-Ayubi.
Lane-Poole (penulis
Barat) mengesahkan, kebaikan hati Salahuddin mencegahnya daripada membalas
dendam. Beliau menulis bahawa Salahuddin menunjukkanketinggian akhlaknya
ketika orang Kristian menyerah kalah. Tenteranya sangat bertanggungjawab,
menjaga peraturan di setiap jalan, mencegah segala bentuk kekerasan sehingga
tidak ada kedengaran orang Kristian dianiaya.
Selanjutnya Lane-Poole
menuliskan mengenai tindak-tanduk tentera Kristian ketika menawan Baitulmaqdis
kali pertama pada 1099. Tercatat dalam sejarah bahawa ketika Godfrey dan
Tancred menunggang kuda di jalan-jalan Jerusalem, jalan itu dipenuhi mayat,
orang Islam yang tidak bersenjata diseksa, dibakar dan dipanah dari jarak dekat
di atas bumbung dan menara rumah ibadat.
Darah membasahi bumi
yang mengalir daripada pembunuhan orang Islam secara beramai-ramai. Ia juga
mencemarkan kesucian gereja yang sebelumnya mengajar sifat berkasih sayang. Orang
Kristian sangat bertuah apabila mereka dilayan dengan baik oleh Salahuddin.
Akhir Riwayat
Beliau mempersembahkan
keseluruhan hidupnya untuk jihad di jalan Allah.Semasa berjihad Salahuddin
al-Ayyubi selalu membawa sebuah peti tertutup yang amat dijaganya. Orang
terdekat menyangka terdapat berbagai batu permata dan benda berharga
tersembunyi di dalamnya.Tetapi selepas wafatnya apabila peti dibuka maka
yang ditemui hanyalah sehelai surat wasiat dan kain kafan yang dibeli dari
titik peluhnya sendiri dan sedikit tanah.
Apabila surat itu
dibuka tertulis ” Kafankanlah aku dengan kain kafan yang pernah
dibasahi air zam-zam ini, yang pernah mengunjungi kaabah yang mulia dan makam
Rasulullah s.a.w. Tanah ini ialah sisa-sisa masa perang, buatkanlah darinya
ketulan untuk alas kepalaku di dalam kubur”
Dari tanah tersebut
dapat dibuat 12 ketulan tanah yang hari ini terletak di bawah kepala Salahuddin
al-Ayyubi. Setiap kali Salahuddin al-Ayyubi kembali dari berperang yang
dimasuki bertujuan berjihad kepada Allah, beliau akan berusaha mengumpulkan
tanah-tanah yang melekat pada muka dan pakaiannya dan meletakkannya di dalam
peti rahsia itu. Beliau telah berjaya mengumpulkan tanah yang boleh dibuat 12
ketulan, kiralah berapa banyak pertempuran yang dihadapinya kerana berjihad
bagi menegakkan kalimah Allah!!
Ketika hayatnya,
beliau lebih banyak berada di khemah perang daripada duduk di istana bersama
keluarga. Siapa saja yang menggalakkannya berjihad akan mendapat
kepercayaannya. Apabila hendak memulakan jihad melawan tentera salib, beliau
akan menumpukan seluruh perhatiannya kepada persiapan perang dan menaikkan
semangat tentera.
Di medan perang,
beliau bagaikan seorang ibu garang kehilangan anak tunggal. Beliau bergerak
dari satu hujung medan peperangan ke hujung yang lain untuk mengingatkan
tenteranya supaya benar-benar berjihad di jalan Allah.
Beliau juga akan pergi
ke seluruh pelosok tanah air dengan mata yang berlinangan mengajak manusia
supaya bangkit membela Islam. Beliau meninggal dunia pada 27 Safar 589 Hijrah
(1193 Masihi) pada usia 55 tahun di Damsyik, Syria slepas memerintah selama 25
tahun. Beliau sakit selama 14 hari sebelum menghembuskan nafas terakhir.
Pernah satu ketika,
Salahuddin Al-Ayyubi menyuruh wazirnya balutkan tubuh dia dengan kain kafan
tapi Salahuddin Al-Ayyubi pesan supaya tangannya dibiarkan terbuka. Wazirnya
menjawab “Aku tidak sanggup melakukannya”. Kata Salahuddin Al-Ayyubi, “Kalau
begitu, engkau lakukannya di saat aku mati nanti. Sampai waktunya yang telah
ditetapkan, Salahuddin menghembuskan nafas yang terakhir. Wazirnya melaksanakan
pesan Salahuddin Al-Ayyubi. Seluruh tubuhnya dibalut dengan kain kafan kecuali
tangannya dibiarkan terbuka. Semasa jenazah diusung, ramai la yang melihat
tangan Salahuddin Al-Ayyubi tak berbalut. Mereka bertanya kepada wazir
Salahuddin Al-Ayyubi “Kenapa engkau biarkan tangannya dibiarkan terbuka?” Jawab
wazir tersebut, “Baru kini aku mengerti. Salahuddin Al-Ayyubi ingin menunjukkan
bahawa tiada ada apa yang akan dibawa ketika mati nanti.”
Sinopsis
Kepiawaian
Sultan Salahuddin menaklukan pasukan salib tidak hanya dikenal oleh umat Islam,
melainkan ia juga telah menjadi legenda bangsa Eropa. Sultan Salahuddin yang
wafat 4 Maret 1193, tidak lama setelah merebut kota suci, telah meninggalkan
keteladanan yang sangat berkesan dalam ingatan umat Islam. Ia melambangkan
seorang panglima yang penyayang, sederhana, dan memperlakukan non-Muslim dengan
perlakuan yang manusiawi. Tidaklah heran jika ia tidak hanya menjadi panutan
muslim, melainkan ia pun disegani oleh balatentara dari eropa, bahkan sampai
kini Sultan Salahuddin tetap menjadi panutan mereka. Jamil Ahmad mengutip
pernyataan Philip K. Hitti, seorang ilmuwan Eropa: “Sikap terpuji Sultan
Salahudin telah menyentuh imajinasi penulis-penulis kisah berbahasa Inggris,
para penulis novelis modern dan ia juga selalu dikenang sebagai suri
teladan bagi kesopanan dan kekesatriaan.”