Agama Islam memerintahkan para pemeluknya untuk
mengikuti dalil dan tidak memperkenankan seorang untuk bertaklid (baca:
mengekor/membeo) kecuali dalam keadaan darurat (mendesak), yaitu
tatkala seorang tidak mampu mengetahui dan mengenal dalil dengan pasti.
Hal ini berlaku dalam seluruh permasalahan agama, baik yang terkait dengan
akidah maupun hukum (fikih).
Oleh karena itu, seorang yang mampu berijtihad
dalam permasalahan fikih, misalnya, tidak diperkenankan untuk bertaklid.
Demikian pula seorang yang mampu untuk meneliti berbagai nash-nash syari’at
yang terkait dengan permasalahan akidah, tidak diperbolehkan untuk bertaklid.
Agama ini tidak memperkenankan seorang untuk
bertaklid pada suatu pendapat tanpa memperhatikan dalilnya. Hal ini dikarenakan
beberapa alasan sebagai berikut:
Pertama: Allah ta’alla
memerintahkan para hamba-Nya untuk memikirkan (bertafakkur) dan merenungi
(bertadabbur) ayat-ayat-Nya. Allah ta’alla berfirman, “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191).
Kedua: Allah ta’alla
mencela taklid dan kaum musyrikin jahiliyah yang mengekor perbuatan nenek
moyang mereka tanpa didasari ilmu. Allah ta’alla berfirman, “Mereka
berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama,
dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti)
jejak mereka.” (QS. Az Zukhruf: 22).
Allah ta’alla juga berfirman, “Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah
dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya
disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah:
31).
Ayat ini turun terkait dengan orang-orang Yahudi
yang mempertuhankan para ulama dan rahib mereka dalam hal ketaatan dan
ketundukan. Hal ini dikarenakan mereka mematuhi ajaran-ajaran ulama dan rahib
tersebut dengan membabi buta, walaupun para ulama dan rahib tersebut
memerintahkan kemaksiatan dengan mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram [lihat hadits riwayat. At-Tirmidzi no. 3096 dari sahabat 'Ady bin Hatim].
Ketiga: Taklid hanya
menghasilkan zhan (prasangka) semata dan Allah telah melarang untuk
mengikuti prasangka. Allah ta’alla berfirman, “Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta
(terhadap Allah). (QS. Al-An’am: 116).
Namun, yang patut diperhatikan adalah zhan
yang tercela dalam agama ini adalah praduga yang tidak dilandasi ilmu. Adapun zhan
yang berlandaskan pengetahuan, maka ini tergolong sebagai ilmu yang membuahkan
keyakinan sebagaimana firman Allah, “(yaitu) orang-orang yang meyakini,
bahwa mereka akan menemui Rabb-nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”
(QS. Al-Baqarah: 46).
Inilah beberapa ayat al-Quran yang menerangkan
bahwa taklid buta tidak semestinya dilakukan oleh seorang muslim dan kewajiban
yang mesti dilakukan oleh seorang muslim adalah mengikuti dalil.
Perkataan Para Imam tentang Taklid
Para imam juga menegaskan kepada para pengikutnya
untuk mengikuti dalil, dan tidak bertaklid. Berikut perkataan mereka:
Pertama: Imam Abu Hanifah rahimahullah
Beliau mengatakan, “Tidak boleh bagi
seorangpun berpendapat dengan pendapat kami hingga dia mengetahui dalil bagi
pendapat tersebut.”
Diriwayatkan juga bahwa beliau mengatakan, “Haram
bagi seorang berfatwa dengan pendapatku sedang dia tidak mengetahui dalilnya.”
Kedua: Imam Malik bin Anas rahimahullah
Beliau mengatakan, “Aku hanyalah seorang
manusia, terkadang benar dan salah. Maka, telitilah pendapatku. Setiap pendapat
yang sesuai dengan al-Quran dan sunnah nabi, maka ambillah. Dan jika tidak
sesuai dengan keduanya, maka tinggalkanlah.” (Jami’ Bayan al-’Ilmi wa
Fadhlih 2/32).
Beliau juga mengatakan, “Setiap orang sesudah
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat diambil dan ditinggalkan perkataannya,
kecuali perkataan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jami’ Bayan
al-’Ilmi wa Fadhlih 2/91).
Ketiga: Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
Beliau mengatakan, “Apabila kalian menemukan
pendapat di dalam kitabku yang berseberangan dengan sunnah rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah sunnah tersebut dan tinggalkan
pendapatku.” (Al-Majmu’ 1/63).
Keempat: Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah
Beliau mengatakan, “Janganlah kalian taklid
kepadaku, jangan pula bertaklid kepada Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i, tapi
ikutilah dalil.” (I’lam al-Muwaqqi’in 2/201;Asy-Syamilah,).
Beberapa Pertanyaan Seputar Taklid
Mungkin ada yang bertanya, “Sesungguhnya Allah
hanya mencela taklid kepada orang-orang kafir dan nenek moyang mereka yang
tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak pula berada di atas petunjuk. Allah
tidak mencela taqlid orang yang taklid kepada ulama yang memperoleh petunjuk.
Bahkan, Allah memerintahkan untuk bertanya kepada ahlu adz-dzikr, yaitu ulama. Ini
taklid dan disinyalir Allah dalam firman-Nya, “Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS.
An-Nahl: 43).
Jawaban pertanyaan ini dikemukakan oleh imam Ibnu
al-Qayyim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya Allah
ta’alla mencela orang-orang yang berpaling dari apa yang diturunkan oleh Allah
kemudian bertaklid kepada perbuatan nenek moyang. Taklid semacam inilah yang
dicela dan diharamkan menurut kesepakatan para ulama salaf dan imam yang empat
(Abu Hanifah, Malik, Ays-Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal). Adapun taklid yang
dilakukan oleh orang yang sudah mengerahkan segenap upaya untuk mengikuti apa
yang diturunkan oleh Allah (dalil), namun sebagian permasalahan luput dari
pengetahuannya, kemudian dia pun bertaklid kepada seseorang yang lebih alim
dari dirinya, maka taklid semacam ini terpuji, tidak dicela, diberi pahala dan
tidak berdosa.” (I’lam al-Muwaqqi’in 2/188;Asy-Syamilah,).
Beliau juga pernah menjawab suatu pertanyaan yang
redaksinya sebagai berikut, “Sesungguhnya yang dicela adalah orang yang
bertaklid kepada seorang yang menyesatkan dari jalan yang lurus,
sedangkan bertaklid kepada seorang yang menunjukkan jalan yang lurus,
dimana letak celaan Allah kepada orang tersebut?”
Maka beliau pun menjawab, “Jawabannya
terdapat pada pertanyaan itu sendiri. Seorang hamba tidak akan memperoleh
petunjuk sampai dia mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya
(dalil). Orang yang bertaklid (muqallid) ini, apabila dia mengetahui dalil
(dari pendapat orang yang diikutinya), maka dia telah memperoleh petunjuk dan
(hakekatnya) dia bukanlah seorang muqallid. Jika dia tidak mengetahui dalil
(pendapat orang yang diikutinya), maka dia adalah seorang yang jahil (bodoh)
dan tersesat dengan tindakannya yang menerapkan taklid bagi dirinya. Bagaimana
bisa dia mengetahui bahwa dirinya berada di atas petunjuk dalam tindakan
taklidnya tersebut? Inilah jawaban untuk seluruh persoalan yang terdapat dalam
bab ini (yaitu bab taklid). Mereka itu hanya (diperintahkan) untuk bertaklid
kepada orang yang berada di atas petunjuk, sehingga taklid mereka pun berada di
atas petunjuk.” (I’lam al-Muwaqqi’in 2/189;Asy-Syamilah,).
Mengikuti Ustadz pun Harus Berdalil!
Dari
pemaparan di atas, seorang yang mengikuti pendapat seorang imam, seyogyanya dia
mengetahui dalil yang dijadikan sandaran oleh imam tersebut. Sehingga, meski
tindakannya tersebut termasuk ke dalam taklid, namun taklid yang dilakukannya
adalah taklid yang terpuji. Taklid jenis ini, seperti yang dikatakan oleh para
ulama, tetap tergolong sebagai ittiba’ (mengikuti dalil).
Oleh karenanya, setiap muslim meskipun dia
mengikuti pendapat seorang imam, kyai, ustadz, ataupun da’i, betapa pun
tingginya kedudukan orang tersebut, dia tetap berkewajiban untuk mengetahui
dalil dari al-Quran dan sunnah yang menjadi landasan orang yang diikutinya
tersebut. Inilah kewajiban yang mesti dilaksanakannya. Terakhir, kami kutip
perkataan Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah yang penulis harap bisa menjelaskan
kewajiban kita dalam permasalahan ini. Beliau berkata,
“Oleh karena itu, para ulama berkonsensus,
apabila seorang mengetahui kebenaran, dia tidak boleh bertaklid kepada pendapat
seorang yang berseberangan (dengan kebenaran yang telah diketahuinya). Para
ulama hanya berbeda pendapat mengenai legitimasi taklid yang dilakukan oleh
seorang yang mampu untuk berisitidlal (mencari dan membahas dalil).
Apabila orang tersebut tidak mampu untuk
menampakkan kebenaran yang telah diketahuinya, maka kondisinya layaknya seorang
yang mengetahui agama Islam itu adalah agama yang benar, namun dia hidup di
lingkungan kaum Nasrani. Apabila orang ini melaksanakan kebenaran sebatas
kemampuannya, maka dia tidak disiksa atas kebenaran yang belum sanggup untuk
dikerjakannya. Kondisinya seperti Najasyi dan semisalnya.
Adapun jika dia mengikuti seorang mujtahid
dan dia tidak mampu mengetahui kebenaran secara terperinci serta dirinya
setelah dirinya berusaha dengan sungguh-sungguh, maka dirinya tidaklah disiksa
(berdosa), meski ternyata pendapat mujtahid tadi keliru.
Namun, apabila seorang mengikuti
(pendapat) suatu individu (ustadz, kyai, dan semisalnya) tanpa mempertimbangkan
(pendapat) orang lain (yang semisal dengan individu tadi), semata-mata karena
hawa nafsu dan dia membelanya dengan lisan serta tangannya tanpa mempertimbangkan
bahwa individu tersebut berada dalam kebenaran atau tidak, maka orang ini
tergolong ke dalam kalangan jahiliyah. Meskipun (pendapat) individu yang
diikutinya tersebut benar, amalan yang dikerjakannya tetap tidak terhitung
sebagai amalan yang shalih. Apabila ternyata yang diikutinya keliru, maka orang
(yang bertaklid) tadi berdosa.” (Majmu’ al-Fatawa 7/71;Asy-Syamilah).