Menyebut
nama Nabi Adam Alaihissalam (AS),
maka akan terlintas dalam benak pikiran manusia, sosok manusia pertama cerdas
(berakal) yang diciptakan Allah SWT. kisah penciptaan Adam terdapat dalam surah
Al-Baqarah [2] ayat 30.
“Ingatlah ketika Tuhamu berfirman
kepada para Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi.” Mereka berkata: “mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang-orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?”
Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 30)
Selain ayat di atas, masih banyak lagi ayat-ayat AlQuran yang menceritakan tentang kisah penciptaan Nabi Adam AS. Dalam AlQuran, nama Adam disebut sebanyak 25 kali, dan kisahnya antara lain dipaparkan dalam surah Al-Baqarah [2]: 30-39, Al-A’raf [7]: 11-25, Al-Hijr [15]: 26-38, Al-Isra’ [17]: 61-65, Thaha [20]: 115-127, dan Shad [38]: 71-78.
Secara
umum disebutkan, Adam adalah salah satu makhluk Allah, Ia bersama Hawa
(istrinya) menjalani kehidupan di surga, kemudian Allah menurunkannya ke bumi
untuk menjadi khalifah (pengelola bumi). Bersama istri dan keturunannya, Adam
menjadi penghuni dan pengelola bumi. Kisah diturunkannya Adam ke bumi diawali
saat Adam dan Hawa memakan buah Khuldi di surga. Allah melarang keduanya untuk
memakan buah Khuldi.
“Dan Kami berfirman:
“Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah
makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja kamu sukai, dan janganlah
kamu dekati pohon ini (khuldi), yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang
zhalim.” (QS Al-Baqarah [2]:
35).
“Kemudian syaitan
membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: “Hai Adam, maukah saya
tunjukkan kepada kamu pohon khuldi (kekekalan) dan kerajaan yang tidak akan
binasa?” (QS Thaha [20]: 120)
Keduanya pun terbujuk dengan rayuan iblis, hingga mereka memakan
buah khuldi tersebut.
“Maka keduanya memakan
buah tersebut, lalu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah
keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam
kepada tuhan dan sesatlah dia.” (QS Thaha [20]: 121)
Menurut
Ibnul Atsir, Adam AS awalnya menolak mengikuti bujukan iblis, namun desakan
Siti Hawa yang begitu kuat, akhirnya membuat Adam ikut memakan buah tersebut.
Lihat An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits,
karya Ibnul Atsir jilid 3 hlm. 158.
Keduanya
lalu bertobat dan memohon ampun kepada Allah dan Allah menerima tobat mereka
dan memilih Adam sebagai Rasul-Nya.
“Kemudian Tuhannya
memilihnya (menjadi Rasul), maka Dia menerima tobatnya dan memberinya
petunjuk.” (QS Thaha [20]: 122)
Kendati
Allah SWT telah menerima tobat Adam dan Hawa, namun sebagaimana kehendak Allah
untuk menjadikannya sebagai khalifah di bumi, maka Adam dan Hawa lalu
diturunkan ke bumi.
“turunlah kamu! Sebagian
kamu menjadi musuh bagi yang lain. Dan bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan
di bumi sampai waktu yang ditentukan.” (QS al-Baqarah [2]: 36)
“Turunlah kamu semua
dari surga! Kemudian jika benar-benar datang petunjuk-Ku kepadamu, maka
barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka
tidak bersedih hati.” (QS al-Baqarah [2]: 38)
Di
bumi, Adam dan Hawa bertempat tinggal serta mengembangkan keturunannya. Lihat
firman Allah SWT dalam surah Al-A’raf [7]: 24-25.
“Turunlah kamu! Kamu
akan saling bermusuhan satu sama lain. Bumi adalah tempat kediaman dan kesenangan
sampai waktu yang telah ditentukan. Di sana kamu hidup, disana kamu mati dan
dari sana (pula) kamu akan dibangkitkan.” (QS Al-A’raf [7]: 24-25)
Selain
Adam dan Hawa, Allah juga menurunkan Iblis dan ular ke bumi. Sebelumnya, iblis
lebih dahulu diusir dari surga karena tidak mau sujud kepada Adam. Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari RA dalam
tafsirnya ketika menerangkan ayat ke-36 surah Al-Baqarah [2], membawakan sebuah
riwayat dengan sanad bersambung kepada para sahabat Nabi SAW seperti Ibnu
Abbas, Ibnu Mas’ud, dan lainnya
“Ketika Allah memerintahkan kepada
Adam dan Hawa untuk tinggal di surga dan melarang keduanya memakan buah khuldi,
iblis memiliki kesempatan untuk menggoda Adam dan Hawa, namun, ketika akan
memasuki surga, iblis dihalangi oleh malaikat. Dengan tipu muslihatnya, iblis
kemudian mendatangi seekor ular, yang waktu itu ia adalah hewan yang mempunyai
empat kaki seperti unta, dan ia adalah hewan yang paling bagus bentuknya.
Setelah berbasa-basi, iblis lalu masuk ke mulut ular dan ular itu pun masuk ke
surga sehingga iblis lolos dari pengawasan malaikat.” (Tafsir At-Thabari)
Gunung Tertinggi
Lalu,
setelah dikeluarkan dari surga, dimanakah Adam dan Hawa diturunkan? Para ulama
berselisih pendapat mengenai hal ini. Mayoritas ulama sepakat bahwa keduanya
diturunkan secara terpisah dan kemudian bertemu di Jabal Rahmah, di Arafah.
Mengenai
tempat diturunkannya inilah yang menjadi perselisihan pendapat di kalangan
ulama. Al-Imam At-Thabari dalam Tarikh Thabari (jilid 1 hlm 121-126),
menyatakan, Mujahid meriwayatkan keterangan dari Abdullah bin Abbas bin Abdul
Muthalib yang mengatakan: “Adam
diturunkan dari surga ke bumi di negeri India.” Keterangan ini juga
diriwayatkan oleh Thabrani dan Abu Nu’aim di dalam kitab al-Hilyah, dan Ibnu Asakir dari Abu Hurairah RA.
Thabrani
meriwayatkan dari Abdullah bin Umar :
“Ketika Allah menurunkan Adam, Dia
menurunkannya di tanah India. Kemudian dia mendatangi Makkah, untuk berhaji
kemudian pergi menuju Syam (Syria) dan meninggal di sana.” (HR. Thabrani)
Abu
Shaleh meriwayatkan juga dari Ibnu Abbas yang menerangkan bahwa Hawa diturunkan
di Jeddah (Arab: nenek perempuan)
yang merupakan bagian dari Makkah. Kemudian dalam riwayat lain At-Thabari
meriwayatkan lagi bahwa Iblis diturunkan di negeri Maisan, yaitu negeri yang
terletak antara Basrah dengan Wasith, sedangkan ular diturunkan di negeri
Asbahan (Iran).
Riwayat
lain menyebutkan, Adam diturunkan di bukit Shafa
dan Siti Hawa di bukit Marwah.
Sedangkan riwayat lain menyebutkan Adam AS diturunkan diantara Makkah dan
Thaif. Ada pula yang berpendapat Adam diturunkan di daerah India sementara Hawa
di Irak.
AlQuran
sendiri tidak menerangkan secara jelas di mana Adam dan Hawa diturunkan.
AlQuran hanya menjelaskan tentang proses
diturunkannya Adam dan Hawa ke bumi. Lihat Al-Baqarah [2]: 30-39 dan Al-A’raf
[7]: 11-25.
Sementara
itu, menurut legenda agama Kristen, setelah diusir dari Taman eden (Surga),
Adam pertama kali menjejakan kakinya di muka bumi di sebuah gunung yang dikenal
sebagai Puncak Adam atau Al-Rohun
yang terdapat di Sri Langka.
Menurut
At-Thabari, tempat Adam diturunkan adalah di puncak gunung tertinggi di dunia.
Keterangan At-Thabari ini kemudian diikuti oleh para ahli geografi modern, dan
merupakan pendapat yang paling kuat dasarnya.
Pendapat
ini juga diikuti oleh Syauqi Abu Khalil dalam bukunya Atlas Al-Qur’an, dan Sami bin Abdullah Al-Maghluts dalam Atlas Sejarah Nabi dan Rasul. Para ahli
geologi telah melakukan berbagai penelitian mengenai gunung tertinggi di dunia,
mulai dari dartan Asia, Eropa, Afrika, Amerika, hingga Australia. Dan dari
penelitian itu disepakati bahwa gunung tertinggi di dunia adalah Gunung Everest
(Mount Everest) yang ada di daerah
Himalaya, mencapau 8.848 meter dari permukaan laut (dpl). Dari sinilah para
ahli meyakini bahwa Adam memang diturunkan di daerah ini, yaitu di puncak
tertinggi di dunia (Mount Everest).
Diturunkan untuk Menjadi Khalifah
Dalam
berbagai riwayat, termasuk dalam kepercayaan orang-orang non-muslim sebagaimana
keterangan kitab-kitab mereka, Adam dan Hawa diturunkan ke bumi akibat
perbuatan mereka yang melanggar larangan Allah SWT. larangan tersebut adalah
memakan buah khuldi, karena tergoda oleh rayuan dan bujukan Iblis. Sebagian
umat islam juga mempercayai hal ini, yaitu mereka (Adam dan Hawa) diturunkan ke
bumi ini akibat melanggar larangan Allah yaitu memakan buah khuldi.
Tentu
saja, anggapan ini keliru dan sangat berbahaya bagi akidah umat islam. Sebab,
dengan meyakini diturunkannya Adam dan Hawa karena perbuatan mereka memakan
buah khuldi, berarti umat manusia saat ini menanggung dosa (warisan)
sebagaimana kepercayaan dalam agama lain. Hal inilah yang ditolak oleh islam.
Dalam ajaran islam, tidak ada istilah dosa warisan. Setiap orang yang berbuat
keburukan, maka dialah yang menanggung dosanya dan tidak ada dosa bagi orang
lain yang tidak mengikutinya.
Dalam
tafsirnya, Ibnu Katsir menerangkan, andai dosa Adam itu ditanggung pula oleh
umat manusia, hal itu bertentangan dengan keterangan AlQuran yang menyatakan
bahwa manusia tidak akan memikul dosa orang lain.
“(Yaitu) bahwasanya, seseorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
(QS An-Najm [53]: 38). Keterangan serupa juga terdapat dalam surah An-An’am
[6]: 164, Al-Isra’ [17]: 15, Fathir [35]: 18, Az-Zumar [39]: 7.
Ibnu
Katsir menjelaskan, diturunkannya Adam AS ke bumi ini memang direncanakan dan
sesuai dengan skenario Allah SWT untuk menjadikannya sebagai khalifah yakni
mengelola bumi dan seisinya (QS [2]: 30).
Karena itulah, Allah mengejarkan (ilmu) tentang nama-nama setiap benda kepada
Adam, dan tidak diajarkan kepada malaikat, termasuk iblis
(QS [2]: 31-37). Dengan ilmu itu agar nantinya anak-cucu Adam di bumi
bisa mengetahui dan mengelolanya dengan baik untuk kehidupan mereka di
masa-masa berikutnya.
Dengan
penguasaan ilmu itu, maka Allah memerintahkan kepada malaikat dan iblis untuk
bersujud kepada Adam. Malaikat melaksanakan perintah Allah dan bersujud,
sedangkan iblis menolaknya. Dan atas penolakan iblis itu, maka Allah pun
mengutuk dan mengusirnya dari surga.
Keterangan
inilah yang akhirnya membuat seorang peneliti bidang matematika dari
Universitas Kansas, Amerika Serikat, Prof. Dr. Jeffrey Lang, untuk memeluk
islam. “Adam diturunkan ke bumi bukan karena dosa yang diperbuatnya, melainkan
karena Allah SWT menginginkan seorang khalifah di bumi untuk mengatur dan
mensejahterakan alam.” Ujarnya. Lang mengatakan, ia benar-benar berupaya keras
memahami ayat 30-39 surah Al-Baqarah [2] yang
menjelaskan tentang penciptaan Adam hingga ia diturunkan ke bumi. Ia
membandingkannya dengan ajaran agama yang dianutnya terdahulu didalam berbagai
literatur dan kitab suci. Namun, ia kecewa dengan hasilnya. Maka ia berusaha
untuk terus mencari hingga akhirnya menemukan jawabannya di dalam AlQuran.
Penjelasan
terperinci Jeffrey Lang mengenai hal ini dan pergulatannya dalam memahami
islam, ia kemukakan dalam bukunya Losing
My Religion: A Call for Help.
Adam bukan Makhluk Pertama
Nabi
Adam AS adalah manusia cerdas pertama yang diciptakan Allah SWT. ia diberikan
akal pikiran dan dapat mengetahui segala sesuatu, termasuk yang menciptakannya,
Allah SWT. dan Adam diciptakan oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah di muka
bumi, yakni mengelola, merawat dan melestarikannya untuk anak cucunya kelak.
(QS Al-Baqarah [2]: 30-39).
Banyak
pendapat yang mengatakan, Adam bukanlah manusia pertama. Pendapat ini terekam dalam berbagai buku. Bahkan
beberapa diantaranya ditulis oleh penulis muslim. Menurut mereka maknanya bukan
menciptakan (khalaqa), melainkan
menjadikan (ja’ala). Sebagaimana
diketahui, Adam AS memang bukan makhluk pertama yang diciptakan Allah. Sebab,
masih ada makhluk lain yang lebih dahulu diciptakan-Nya, seperti Malaikat dan
Iblis.
Pendapat
yang menyatakan bahwa Adam bukan manusia pertama, salah satunya dikemukakan ole
Dr. Abdul Shabur Syahin. Dalam bukunya Ar-Rawafid
al-Saqafiyah (Adam Bukan Manusia Pertama? Mitos atau Realita), Syahin
mengatakan, Adam adalah Abul Insan,
bukan Abul Basyar. Keduanya bermakna sama, yakni bapak (nenek moyang) manusia.
Abdul
Shabur Syahin membedakan makna antara al-Insan
dan al-Basyar. Karena perbedaan itu,
Syahin menegaskan, Adam bukanlah manusia pertama. Menurutnya, Adam bukan
diciptakan, melainkan dilahirkan. Makna dari dilahirkan berarti ada
orangtuanya. Ia membedakan antara kata ja’ala
(menjadikan) dan khalaqa
(menciptakan). Menurutnya, dalam surah Al-Baqarah [2]: 30, An-Naml [27]:62,
Fathir [35]: 39, kata ‘menjadikan khalifah’ bukanlah menciptakan manusia baru,
tetapi meneruskan cara kerja manusia yang sudah ada sebelumnya. Karenanya, kata
dia, Adam bukanlah manusia pertama.
Pendapat
ini dibantah oleh Syekh Abdul Mun’im Ibrahim. Menurutnya, pendapat yang
diutarakan oleh Abdul Shabur Syahin tentang Adam dilahirkan, sangat
bertentangan dengan sejumlah ayat AlQuran maupun beberapa hadits Nabi Muhammad
SAW yang menyebutkan awal mula penciptaan Adam dari tanah. “Pendapat Abdul
Shabur Syahin bahwa Adam dilahirkan oleh kedua orangtuanya, mengingatkan kita
pada teori evolusi yang dikemukan Charles Darwin, seorang Yahudi picik yang
menulis dalam bukunya Ashl al-Anwa’
(Asal Mula Penciptaan). Darwin berpendapat, manusia berevolusi dari bentuk
aslinya ke bentuk sekarang,” tegas Syekh Mun’im Ibrahim, dalam bukunya Ma Qabla Khalqi Adam (Adakah Makhluk Sebelum Adam, Menyingkap
Misteri Awal Kehidupan), dan Wafqat
Ma’a Abi Adam.
Syekh
Mun’im setuju bahwa ada makhluk lain sebelum Adam diciptakan. Artinya, Adam
bukan makhluk pertama. Namun demikian, ia sangat yakin bahwa Adam adalah
manusia pertama yang berakal yang diciptakan Allah SWT. Pendapat senada dengan
penjelasan Syekh Mun’im ini, juga terdapat dalam buku Al-Jamharah karya Abu Darid, At-Tahzib
karya Al-Azhari, Diwan al-Adab karya
al-FArabi, Mu’jam Maqayis al-Lughah
karya Ibnu Faris, Lisanu al-Arab
karya Ibnu al-Manzhur Al-Ifriqi, lalu As-Shahhah
karya Al-Jauhari, dan al-Mukhtar
karya Ar-Razi.
Sejumlah
pihak mengatakan, bahwa sebelumnya telah ada makhluk lain yang disebut manusia
(Nisnas) dan mengelola bumi ini. Namun, mereka bukanlah manusia (Nisnas) yang
berakal sehingga dalam pengelolaannya makhluk itu banyak melakukan kerusakan
dan kehancuran. Itulah, menurut berbagai pendapat, sehingga malaikat berkata
kepada Allah, bahwa makhluk yang diciptakannya untuk mengelola bumi itu akan
melakukan kerusakan, sebagaimana pendahulunya. Wa Allahu A’lam.
Makhluk Pertama
Lalu,
apa atau siapa makhluk yang pertama kali diciptakan Allah SWT? menurut Syekh Mun’im, makhluk yang
pertama kali diciptakan adalah qalam(pena).
Dari Ubadah bin As-Shamit, ia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Awal makhluk yang Allah SWT ciptakan adalah
pena, lalu Dia berkata kepada pena, ‘Tulislah.’ Pena berkata, ‘Apa yang aku
tulis?’ Allah berkata, ‘Tulislah apa yang akan terjadi dan apa yang telah
terjadi hingga hari Kiamat.”
Imam
Ahmad RA meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda: “Bahwa makhluk yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena, lalu Dia
berkata kepada pena tersebut, ‘Tulislah.’ Maka pada saat itu berlakulah segala
apa yang ditetapkan hingga akhir kiamat.” (Lihat Musnad Ahmad RA).
Dalam
riwayat lain, ada yang mengatakan, makhluk yang pertama diciptakan adalah dawat (tinta), lalu pena. Ada pula yang
menyebutkan, air pertama kali diciptakan.
Menurut
Syekh Mun’im, pena adalah makhluk pertama yang diciptakan. Pendapat ini telah
di-tarjih dan dikuatkan oleh Ibnu
jarir dan Nashiruddin al-Albani RA. Setelah Allah menciptakan qalam, maka kemudian dilanjutkan dengan
penciptaan tinta (dawat). Selanjutnya, Allah menciptakan air, kemudian arasy (singgasana), kursi, lauh al-mahfuzh, langit dan bumi
(semesta), malaikat, surga, neraka, jin dan iblis (syaitan), dan Adam AS.