Pendahuluan
Nama
|
Ayub
(Ayyub) bin Amush
|
Garis
Keturunan
|
Adam
as ⇒
Syits ⇒ Anusy ⇒ Qainan ⇒ Mahlail ⇒ Yarid ⇒ Idris as ⇒ Mutawasylah ⇒ Lamak ⇒ Nuh as ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyadz ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra'u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Azar ⇒ Ibrahim as ⇒ Ishaq as ⇒ al-'Aish ⇒ Rum ⇒ Tawakh ⇒ Amush ⇒ Ayub as
|
Usia
|
120
tahun
|
Periode
sejarah
|
1540
- 1420 SM
|
Tempat
diutus (lokasi)
|
Dataran
Hauran
|
Jumlah
keturunannya (anak)
|
26
anak
|
Tempat
wafat
|
Dataran
Hauran
|
Sebutan
kaumnya
|
Bangsa
Arami dan Amori, di daerah Syria dan Yordania
|
di
Al-Quran namanya disebutkan sebanyak
|
4
kali
|
Ayub adalah seorang nabi sangat
sabar, bahkan bisa dikatakan bahwa beliau berada di puncak kesabaran. Ayub
menjadi simbol kesabaran dan cermin kesabaran atau teladan kesabaran. Allah
telah memujinya dalam kitab-Nya yang berbunyi: "Sesungguhnya Kami dapati dia
(Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaih-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat
(kepada Tuhannya)." [QS. Shad [38]: 44]
Kisah
Ayub dalam Al-Qur'an
Di dalam Al-Quran, nama Ayyub as,
disebutkan sebanyak 5 kali, yaitu :
Surat
An-Nisaa' (An-Nisa') [4] : ayat 163
Surat
Al-An'aam (Al-An'am) [6] : ayat 84
Surat
Al-Anbiyaa' (Al-Anbiya') [21] : ayat 83 dan 84
Surat
Shaad (Sad) [38] : ayat 41 dan 44
Pada Surat Al-Anbiyaa' (Al-Anbiya')
[21] : ayat 83 dan 84,
Firman Allah SWT :
(Ingatlah kisah) Ayub, ketika ia
menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit
dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang".
Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada
padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan
bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi
peringatan bagi semua yang menyembah Allah.
Pada Surat Shaad (Sad) [38] : ayat
41-44, Firman Allah SWT :
Ingatlah akan hamba Kami Ayyub
ketika ia menyeru Tuhan-nya: "Sesungguhnya aku diganggu setan dengan
kepayahan dan siksaan". (Allah berfirman): "Hantamkanlah kakimu;
inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum". Dan Kami anugerahi dia
(dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka
sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang
yang mempunyai fikiran. Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka
pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami
dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya
dia amat taat (kepada Tuhan-nya).
Pada Surat An-Nisaa' (An-Nisa') [4]
: ayat 163, Firman Allah SWT :
Sesungguhnya Kami telah memberikan
wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi
yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim,
Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, 'Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman.
Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.
Pada Surat Al-An'aam (Al-An'am) [6]
: ayat 84, Firman Allah SWT :
Kami telah menganugerahkan Ishak dan
Yakub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan
kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian
dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun.
Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Ringkasan
Kisah Ayyub
Nabi Ayub adalah salah seorang
manusia pilihan dari sejumlah manusia pilihan yang mulia. Allah telah
menceritakan dalam kitab-Nya dan memujinya dengan berbagai sifat yang terpuji
secara umum dan sifat sabar atas ujian secara khusus. Allah telah mengujinya
dengan anaknya, keluarganya dan hartanya, kemudian dengan tubuhnya. Allah telah
mengujinya dengan ujian yang tidak pernah ditimpakan kepada siapa pun, tetapi
ia tetap sabar dalam menunaikan perintah Allah dan terus-menerus bertaubat
kepada-Nya.
Setelah Nabi Ayub menderita penyakit
kronis dalam jangka waktu yang cukup lama, dimana sahabat dan keluarganya telah
melupakannya, maka ia menyeru Rabbnya, "(Ya Rabbku), sesungguhnya aku
telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang di antara semua
penyayang." (Al-Anbiya’: 83). Dikatakan kepadanya, "Hantamkanlah kakimu;
inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum." (Shad: 42). Nabi Ayub AS
menghantamkan kakinya, maka memancarlah mata air yang dingin karena hantaman
kakinya tersebut. Dikatakan kepadanya, "Minumlah darinya serta
mandilah." Nabi Ayub AS melakukannya, maka Allah Ta'ala menghilangkan
penyakit yang menimpa bathinnya dan lahirnya.
Kemudian Allah mengembalikan
kepadanya; keluarganya, hartanya, sejumlah ni’mat serta kebaikan yang
dikaruniakan kepadanya dalam jumlah yang banyak. Dengan kesabarannya itu maka
ia merupakan suri teladan bagi orang-orang yang sabar, penghibur bagi
orang-orang yang mendapat ujian atau ditimpa musibah serta pelajaran berharga
bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran.
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Anas bin Malik ra dari Nabi saw, beliau bersabda,
“Sesungguhnya Nabi Ayub as diuji dengan musibah tersebut selama delapan belas
tahun, dimana keluarga dekat serta keluarga yang jauh telah menolaknya dan
mengusirnya kecuali dua orang laki-laki dari saudara-saudaranya. Dimana
keduanya telah memberinya makan dan mengunjunginya. Kemudian pada suatu hari
salah seorang dari kedua saudaranya itu berkata kepada saudaranya yang satu,
"Demi Allah, perlu diketahui, bahwa Ayub telah melakukan suatu dosa yang
belum pernah dilakukan siapa pun di dunia ini." Sahabatnya itu bertanya,
"Dosa apakah itu?." Saudaranya tadi berkata, "Selama delapan
belas tahun Allah tidak merahmatinya, sehingga menyembuhkannya dari penyakit
yang dideritanya." Ketika keduanya mengunjungi Ayub maka salah seorang
dari kedua saudaranya itu tidak dapat menahan kesabarannya, sehingga ia
menyampaikan pembicaraan tersebut kepadanya. Ayub menjawab, "Aku tidak
mengetahui apa yang kamu berdua bicarakan, kecuali Allah Ta'ala telah
memberitahukan; bahwa aku diperintah untuk mendatangi dua orang laki-laki yang
berselisih supaya keduanya mengingat Allah. Sedang aku akan kembali ke rumahku
dan menutup diri dari keduanya, karena merasa benci mengingat Allah, kecuali
dalam kebanaran.â€
Ketika Ayub sakit, maka ia menemukan
kepingan uang milik istrinya yang diperoleh dari hasil pekerjaannya melakukan
sesuatu, sehingga ia bersumpah akan mencambuknya seratus kali cambukan.
Kemudian Allah meringankannya dari Nabi Ayub dan istrinya, seraya dikatakan
kepadanya: "Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah
dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah." (Shad [38]: 43). Yakni
melanggar sumpahmu.
Dalam ayat di atas terdapat dalil
bahwa kifarat sumpah tidak disyari’atkan kepada seseorang sebelum syari’at
kita, serta kedudukan sumpah di hadapan mereka adalah sama dengan nazdar, yang
mesti dipenuhi.
Juga dalam ayat tersebut terdapat
dalil, bahwa bagi orang yang tidak mungkin dilaksanakan hukuman had atasnya
karena kondisinya yang lemah atau alasan lainnya, hendaklah diberlakukan kepadanya
hukuman yang disebut dengan hukuman tersebut, karena tujuan dari pemberlakuan
hukuman itu ialah pemberian rasa jera, bukan perusakkan atau penghancuran.
Nabi saw bersabda, "Ketika Ayub
pergi menunaikan hajatnya maka istrinya memegang tangannya hingga selesai.
Suatu hari istrinya datang terlambat dan Ayub menerima wahyu, Hantamkanlah
kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum. (Shad [38]: 42) Ketika
istrinya datang dan bermaksud menemuinya, maka ia melayangkan pandangannya
dalam keadaan tertegun, dan Ayub menyambutnya dalam rupa dimana Allah telah
menyembuhkan penyakit yang dideritanya, dan rupanya sangat tampan seperti
semula. Ketika istrinya melihatnya, seraya bertanya, "Semoga Allah
memberkatimu, apakah engkau melihat nabi Allah yang sedang diuji? Demi Allah,
bahwa aku melihatnya mirip denganmu saat ia sehat." Ayub menjawab,
"Sesungguhnya aku ini adalah dia." Ketika itu di hadapannya terdapat
dua buah gundukan yaitu gundukan gandum dan jewawut. Kemudian Allah mengirim
dua buah awan, dimana ketika salah satunya menaungi gundukan gandum, maka
tercurah padanya emas hingga penuh, sedangkan pada gundukan jewawut tercurah
mata uang hingga penuh." (HR. Abu Ya’la, 3617, yang dishahihkan al-Hakim
(2/581-582) dan Ibnu Hibban (2091) serta al-Albani dalam kitab Shahîh-nya no.
17).