Wacana Pluralisme dan temen-temennya ini tak pernah habis menghantui dan merusak kaum Muslim. Walaupun MUI telah mengeluarkan fatwa haramnya
paham sekularisme, liberalisme dan pluralisme pada tahun 2005, tetap
saja pluralisme melenggang kangkung diusung media.
Walhasil, umat Islam pun menjadi
bingung, semua yang pro dan kontra dengan sepilis
(sekulerisme-pluralisme-liberalisme) ini semua mengatasnamakan Islam,
mana yang harus dipercaya, yang mana yang harus diikuti menjadi samar.
Banyak diantara kaum muslim akhirnya yang memilih untuk tidak perduli.
Oleh karena itu tulisan ini bertujuan untuk meletakkan sebuah pemahaman
yang benar tentang faham Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme.
Secularism means:
• in philosophy, the belief that life can be best lived by applying ethics, and the universe best understood, by processes of reasoning, without reference to a god or gods or other supernatural concepts.
• in society, any of a range of situations where a society less automatically assumes religious beliefs to be either widely shared or a basis for conflict in various forms, than in recent generations of the same society.
• in government, a policy of avoiding entanglement between government and religion (ranging from reducing ties to a state church to promoting secularism in society), of non-discrimination among religions (providing they don’t deny primacy of civil laws), and of guaranteeing human rights of all citizens, regardless of the creed (and, if conflicting with certain religious rules, by imposing priority of the universal human rights).
Secularism can also mean the practice of working to promote any of those three forms of secularism.
Retrieved from “http://en.wikipedia.org/wiki/Secularism“•
Secara filosofi, pandangan yang menganggap bahwa kehidupan dapat dijalani paling baik dengan menggunakan etika, dan pengertian paling baik dari alam semesta, melalui proses argumentatif, tanpa merujuk kepada tuhan atau (banyak) tuhan atau konsep supernatural.
• in philosophy, the belief that life can be best lived by applying ethics, and the universe best understood, by processes of reasoning, without reference to a god or gods or other supernatural concepts.
• in society, any of a range of situations where a society less automatically assumes religious beliefs to be either widely shared or a basis for conflict in various forms, than in recent generations of the same society.
• in government, a policy of avoiding entanglement between government and religion (ranging from reducing ties to a state church to promoting secularism in society), of non-discrimination among religions (providing they don’t deny primacy of civil laws), and of guaranteeing human rights of all citizens, regardless of the creed (and, if conflicting with certain religious rules, by imposing priority of the universal human rights).
Secularism can also mean the practice of working to promote any of those three forms of secularism.
Retrieved from “http://en.wikipedia.org/wiki/Secularism“•
Secara filosofi, pandangan yang menganggap bahwa kehidupan dapat dijalani paling baik dengan menggunakan etika, dan pengertian paling baik dari alam semesta, melalui proses argumentatif, tanpa merujuk kepada tuhan atau (banyak) tuhan atau konsep supernatural.
• Pada masyarakat, semua dari kisaran situasi dimana suatu masyarakat
lebih sedikit yang secara otomatis mengasumsikan kepercayaan agama
sebagai andil besar atau dasar daripada masalah dalam berbagai bentuk
daripada generasi belakangan di masyarakat yang sama.
• Pada pemerintahan, kebijaksanaan yang menghindari keterkaitan antara pemerintahan dan agama (berkisar dari mengurangi keterikatan pada negara-gereja sampai mempromosikan sekularisme pada masyarakat), non-diskriminasi pada agama (memaksa mereka untuk tidak mengingkari keutamaan dari hukum sipil), dan menjamin HAM semua warganegara (dan, bila bermasalah dengan aturan agama tertentu, dengan memprioritaskan hukum hak asasi universal)
Sekularisme juga bisa berarti mempraktekan atau berusaha untuk mempromosikan/menyebarkan salah satu dari tiga bentuk sekularisme diatas.
Liberalism is a political current embracing several historical
and present-day ideologies that claim defense of individual liberty and
private property as the purpose of government. It typically favors the
right to dissent from orthodox tenets or established authorities in
political or religious matters. In this respect, it is sometimes held in
contrast to conservatism. Since liberalism also focuses on the ability
of individuals to structure their own society, it is almost always
opposed to totalitarianism and collectivist ideologies, particularly
communism.
Retrieved from “http://en.wikipedia.org/wiki/Liberalism“
Liberalisme adalah gerakan politik mencakup pandangan kuno dan modern
yang menjamin kebebasan individual dan kepemilikan privat sebagai
tujuan dari pemerintahan. Cirinya melindungi hak untuk bertentangan dari
dalil/pengajaran agama atau menetapkan kewenangan dalam masalah politik
atau agama. Dalam pembahasan ini, liberalisme terkadang kontras dengan
konservatisme. Karena liberalisme memfokuskan kepada kemampuan
individual dalam membentuk struktur masyarakat, maka hampir selalu
bertentangan dengan totaliterisme dan ideologi kolektif (sosialis),
khususnya komunisme
In the social sciences, pluralism is a framework of interaction
in which groups show sufficient respect and tolerance of each other,
that they fruitfully coexist and interact without conflict or
assimilation
Pluralism also implies the right of individuals to determine universal truths for themselves.
Retrieved from “http://en.wikipedia.org/wiki/Pluralism“
Retrieved from “http://en.wikipedia.org/wiki/Pluralism“
Pada ilmu sosial, pluralisme adalah kerangka aktivitas interaksi
dimana suatu kelompok menunjukkan rasa hormat yang baik dan toleransi
satu samalain, mereka saling mengakui dan berinteraksi tanpa konflik
atau asimilasi.
Pluralisme juga bahwa individu-individu mempunyai hak untuk memutuskan “kebenaran universal” untuk mereka.
Dari pemaparan diatas telah sangat jelas sekali bahwa sesungguhnya
sekularisme adalah cara memandang kehidupan tanpa agama (outside the
religion), dalam definisi modern juga bisa dikatakan memisahkan agama
dari kehidupan publik (negara). Awal munculnya pandangan ini adalah
ketika terjadi konflik antara agama katolik dan para cendekiawan di
eropa yang berlangsung pada abad pencerahan (enlightment ages) sekitar
abad 16 sampai abad 17, yang sebelumnya dilalui oleh abad gelap (dark
ages) yaitu sekitar abad ke 5 sampai dengan abad ke 15. Penyebutan abad
gelap ini adalah karena begitu tak teraturnya masyarakat eropa pasca
runtuhnya kekaisaran romawi (roman empire) pada tahun 410.
Keruntuhan romawi ini mengakibatkan banyak sekali tuan-tuan tanah
(landlords) yang mempunyai wilayah memisahkan diri menjadi suatu
masyarakat tertentu, yaitu masyarakat feodal dengan feodalisme sebagai
pandangan hidupnya. Disini strata masyarakat biasanya terbagi 6 yaitu
bangsawan (landlords), ksatria (knights), rahib (clerics), prajurit
(troops) cendekiawan (scholars) dan rakyat (people). Abad gelap ini juga
sering disebut abad agama (age of faith) dikarenakan katolik yang
dilegalkan menjadi agama negara pada tahun 391 sebelum romawi
runtuh.Dikatakan abad agama juga karena besarnya peranan rohaniwan dalam
negara, termasuk melegalisir para tuan tanah untuk mengeksploitasi
rakyatnya, dan anggapan tuan tanah adalah wakil dari tuhan adalah umum
dalam masa ini. Gereja membentuk doktrin untuk terus melanggengkan
hubungan antara penguasa-rohaniwan ini, misalnya St. Augustine seorang
uskup di kota Hippo (sekarang Annaba, Algeria) dalam bukunya City of God
(413-426) menyatakan bahwa “seharusnya umat kristiani tidak perlu
peduli dengan kejadian di duia tetapi fokus kepada penyelamatan
(salvation) dan hidup setelah mati di dalam kota surgawi” (Rosenwain,
2005). Doktrin-doktrin semacamnya juga diberlakukan pada sains, misalnya
teori geosentris yang dikemukakan oleh gereja yang ditentang oleh
Nicolaus Copernicus dengan teori heliosentrisnya akhirnya berujung pada
dianiayanya cendekiawan ini, begitu pula yang terjadi pada Galileo
Galilei dengan teori bumi bulatnya. Dalam kemasyarakatan doktrin gereja
berhak menentukan ajaran mana yang sesat (heretics) dan ajaran mana yang
baik menurut mereka sendiri sehingga kejadian ini menimbulkan banyak
sekali protes bagi rakyat sipil dan para cendekiawan. Keadaan ini terus
berlanjut hingga abad ke 16.
Pada abad ke 17 dan 18 terjadi abad pencerahan (enlightment age) yang
diawali oleh banyaknya pemikir dan cendekiawan yang melihat bahwa
alasan terjadinya abad gelap adalah karena campur tangannya agama
(katolik) dalam urusan negara, karena mereka memandang justru kemunduran
yang sangat besar terjadi pada masa pemerintahan agama ini. Para kaum
protestan pun menulis bahwa periode abad gelap adalah periode katolik
yang terkorupsi sehingga tidaklah murni lagi. Puncaknya terjadi pada
masa renaissance (kelahiran kembali) dimana para pemikiran para
cendekiawan dan rakyat biasa melawan kepada tuan tanah dan rahib, karena
dinilai selama abad gelap agama dengan hak suci mereka (divine rights)
telah menjadi sesuatu yang melegitimasi eksploitasi terhadap mereka oleh
tuan tanah, dan menuntut agar agama tidak lagi dihubungkan dengan
negara (sekular). Disinilah sekularisme lahir.
Setelah itu, para pemikir kemudian mengganti nilai-nilai serta
standar-standar yang ada pada masyarakat agar jangan sampai mengambil
kembali agama untuk diterapkan dalam masyarakat. Ide-ide derivat
sekularisme inilah yang akhirnya mengejewantah dalam pemikiran yang lain
yaitu liberalisme, pluralisme, kapitalisme dan akhirnya demokrasi.
Sama seperti Liberalisme, pemikiran ini pun dibangun atas dasar
pemisahan agama dari negara. Para pemikir seperti John Locke
(1632-1704)dan Baron de Montesquieu menyerukan hak dasar manusia yaitu
“life, liberty and property” sebagai suatu yang sangat diperlukan dalam
menciptakan suatu pemerintahan dan hidup yang stabil, sehingga tidak
terjadi lagi eksploitasi manusia oleh manusia yang lain, raja bukanlah
figur suci yang mempunyai hak yang lebih di mata hukum dan lain-lain,
serta dan pemikir seperti Voltaire dan Immanuel Kant yang sangat vokal
terhadap pengekangan kebebasan atas nama tuhan oleh agama. Inilah yang
akhirnya mendasari demokrasi, yaitu sistem pemerintahan yang
berkedaulatan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Mereka
memilih sendiri pemerintahan mereka, membuat sendiri hukum untuk mereka
taati sendiri. Kedua pandangan ini (liberalisme dan demokrasi) oleh Adam
Smith dan David Ricardo dituangkan dalam bentuk kebebasan ekonomi
dimana keuntungan terbesar akan diperoleh apabila setiap individu
dijamin haknya secara penuh oleh pemerintah untuk memiliki sesuatu,
tanpa atau dengan campur tangan yang seminimal mungkin dari pemerintah
yang saat ini kita kenal dengan sistem ekonomi kapitalisme. Didalam
sistem pergaulan nilai-nilai ini akhirnya menyamar menjadi budaya
individualisme serta hedonisme. Di dalam sistem politik berubah menjadi
opportunisme dan didalam pendidikan menjadi materialisme. Intinya adalah
bahwa setiap orang dilahirkan bebas (liberty) dan hanya ia yang berhak
menentukan jalan hidupnya tanpa campur tangan atau dipengaruhi orang
lain.
Dalam hal kehidupan beragama, pluralisme atau sinkretisme adalah
turunan dari sekularisme, dimana pandangan ini menyatakan pluralitas
(beragamnya) manusia, pendapat atau agama adalah suatu fakta yang tidak
dapat ditawar-tawar lagi sehingga agar tidak menimbulkan konflik dan
masalah di dalam kehidupan bermasyarakat, maka tidak boleh ada
manipulasi nilai-nilai kebenaran oleh suatu kelompok, agama atau
individu manapun. Kebenaran itu relatif dari mana kita memandang. Dengan
kata lain semua agama adalah sama.
Walhasil, dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya kemunculan
sekularisme ini sendiri adalah dikarenakan oleh pemikir dan cendekiawan
serta rakyat jelata yang dikecewakan oleh sistem pemerintahan agama
(katolik), dan pemikiran derivatnya yaitu liberalisme dan pluralisme,
termasuk kapitalisme dan demokrasi adalah produk yang sengaja disiapkan
untuk menjadi tameng agar masyarakat eropa tidak lagi terjerumus pada
trauma masa lalu, bersatunya negara dan agama.
Berbeda dengan Islam, sejarah telah membuktikan bahwa kejayaan islam
justru tercapai ketika Islam tidak hanya diposisikan sebagai agama
ritual tetapi juga sebagai aturan hidup yang mengatur seluruh aspek
dalam kehidupan. Menarik bila mengutip pernyataan Michael H. Hart, dalam
kata pengantar bukunya yang berjudul 100 Tokoh paling Berpengaruh di
Dunia, bahwa dia menempatkan Muhammad Rasulullah saw. menjadi tokoh
nomor satu adalah karena Muhammad mempunyai kekuasaan spritual dan
politis yang tidak dipisahkan satu sama lain. Sejarah tidak bisa
berbohong bahwa abad keemasan umat muslim (Islamic golden age) pada saat
kekhilafahan abbasiyyah dan awal kekhilafahan utsmaniyyah (750 M – 1500
M) telah menyatukan lebih dari 1/3 dunia, kekuasaan membentang dari
sebagian eropa (andalusia/spanyol) hingga dataran balkan yang kekuatan
laut maupun daratnya ditakuti di dunia. Juga tertulis dengan tinta emas
dalam sejarah peradaban manusia karya besar pemikir dan saintis muslim
seperti al-Khawarizmi dengan teori matematikanya, al-Kindi dengan
pemikirannya, Ibnu Sina dengan ilmu kedokteran dan kesusasteraannya yang
telah menulis Asas Pengobatan (Canons of Medicine) serta ilmu optik,
Ibnu Khaldun dengan sejarahnya dan Ibnu Rusyd dengan fikihnya. Pada
pendidikan pun tak kalah hebatnya Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan
sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota
Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin
Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1
dinar = 4,25 gram emas) (sekitar 5 juta rupiah dengan kurs sekarang).
Atau pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dimana tidaka ada warga negara
yang miskin sehingga zakat bagi orang miskin tidak dibagikan.
Semua gambaran tersebut adalah fakta yang terjadi ketika Islam dan
kehidupan tidak dipisahkan. Ini karena Islam adalah sebuah sistem hidup,
sebuah ideologi yang tidak bisa diterapkan secara sebagian. Ia juga
tidak bisa dicangkokkan dengan ideologi lain semacam sekularisme dan
sosialisme, dikarenakan Islam adalah metode hidup yang khas. Dan untuk
menerapkan Islam yang kaaffah maka sesungguhnya diperlukan suatu
institusi yang harus ada untuk menjamin terlaksananya semua
aturan-aturan Islam, institusi inipun haruslah khas yang terpancar dari
Islam, tidak yang lain, yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah.
Oleh karena itu, sebagai seorang yang berusaha untuk melaksanakan
semua aturan yang telah dibebankan oleh Allah SWT kepada kita, hendaknya
kita tidak mengambil pandangan-pandangan yang tidak berasal dari Islam
maupun memperjuangkannya, apalagi pandangan itu telah terbukti
mudharatnya bagi kehidupan kita, agar kita dapat mempertanggungjawabkan
perbuatan kita di akhirat nanti.
Barangsiapa mencari agama (diin) selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi (TQS ali-Imran [3]: 85)
Aturan-aturan Islam dalam masalah publik (negara) sejatinya justru
harus dikembalikan lagi kepada umat muslim, semua muslim di dunia ini
harus faham bahwa sesunggunya akar permasalahan yang menyebabkan
bangkitnya barat dan terpuruknya Islam adalah satu: sekular (memisahkan
agama dari negara).
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah
yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maaidah [5]: 50)
Akhirul kalam, kita harus benar-benar waspada terhadap pemikiran
orang-orang yang bertujuan ingin menjauhkan kita dari Islam, sunnah
rasul-Nya dan aturan-aturan (syari’at-Nya), meskipun terkadang penganut
sekularisme ini ”kelihatan” berdalil ataupun rasional, namun akhirnya
kita diajak untuk mengikuti kepada nilai-nilai kufur. Semoga Allah SWT
melindungi kita dari hal-hal yang seperti itu.
wallahua’lam bi ash-shawab.